Wajahnya berseri-seri, berjalan sambil bernyanyi tipis-tipis. Senja memegang fomulir pendaftaran untuk mengikuti Club Piano di sekolahnya. Senja telah memantapkan hati untuk bergabung ke sana. Menjemput impiannya, berkeliling dunia dengan kemampuan yang ia miliki.
"Letakkan di sini, terima kasih." Satu per satu murid memberikan formulirnya.
Mereka mengantri untuk mendapat giliran. Sangat banyak yang mendaftar, tiap jenjang kelas ada padahal Club Piano merupakan kegiatan pertama kali yang diresmikan oleh sekolah di tahun ini.
Giliran Senja menyerahkan dokumennya. "Ini, Bu," ucapnya.
Wanita cantik mengangguk. "Baik. Terima kasih, sangat lengkap."
Senja balas tersenyum. "Maaf sebelumnya, Bu. Saya tadi dengar kalau kelas pianonya gak secara cuma-cuma nerima murid?" tanya Senja penasaran.
Wanita tersebut mengangguk. "Kamu betul dan nanti ada tahap penyeleksian. Pihak kami akan mengabari seluruh calon pendaftar yang ingin bergabung."
"Oke, Ibu. Terima kasih banyak." Senja sedikit menunduk.
Pantas saja sepanjang dia berdiri menunggu gilirannya, Senja mendengar banyak versi cerita kalau kelak siapa yang diterima di Club Piano akan beruntung. Katanya akan diajarkan langsung oleh orang yang berbakat, seorang pianis.
"Duta Langit!" Senja mengejutkan Langit yang tengah berada di taman. Buku bacaan menjadi teman sejatinya.
Langit mendengus. "Udah?"
Senja mengangguk. "Ayo! Masuk." Lalu memegang gagang kursi roda, mendorong pelan.
"Kamu suka main piano?"
"Ya, mau dengarin aku main piano?" tanya Senja antusias.
Langit menggeleng tanpa segan-segan. "Malas."
Senja melotot, berhenti tiba-tiba. "Malas? Emang kamu keluarkan keringat waktu dengar aku mainkan piano? Heh! Kamu cuma perlu telinga, udah itu doang."
"Buset dah," sahut Senja menggeleng-geleng kepala.
"Ya gitu," jawab Langit. Senja menggerutu, mengutuk manusia di depannya.
Senja melirik jam sekilas. Dia menyerahkan satu kantong plastik berisikan roti dan juga susu. Langit belum sarapan dan Bunda tidak memasak tadi pagi karena pergi ke luar kota mengecek toko.
"Dimakan. Aku tau kamu belum sarapan." Senja membenarkan kursi roda menjadi lebih baik. "Aku ke kelas. Semangat, Langit."
"Masalah yang kamu dapati hari ini akan terganti dengan kebahagian esok hari." Senja berkata demikian.
Memaksa Langit untuk bercerita bukan pilihan yang baik. Senja juga bukan ahli membaca pikiran. Dia hanya bisa menunggu atau mencari tahu lebih dulu. Dua pilihan yang belum diputuskannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seul, Love & Youth
General FictionSeul, Love & Youth oleh Bila March| Bercerita tentang seorang gadis remaja bernama Senja Ulanni. Gadis remaja yang menghabiskan masa mudanya bersama orang-orang tersayang. Senja bertemu dengan seorang cowok bernama Duta Langit R, sosok yang memiliki...