Sorak antusiasme dapat terdengar dari bunyi notifikasi twitternya yang tak berhenti berkicau. Sang pemilik ponsel tak tertarik untuk bangun dan memilih untuk memejamkan matanya ㅡmenutup kepala dengan bantal empuk yang membuatnya semakin tenggelam.
Kalau dipikir-pikir ini tak salah meskipun matahari sudah menantinya bangun sejak berjam-jam lalu.
Sania, gadis dibalik selimut putih tebal itu sudah lama terlelap jauh dari masa mentari menggantikan shift sang bulan. Bagian bawah matanya sudah belipat-lipat bahkan mungkin koin bisa masuk ke dalam sana.
Jadwal tidurnya sudah kacau sejak dahulu. Namun dalam selusin tahun Ia juga masih kesulitan memperbaikinya. Akhir-akhir ini Sania selalu berjaga sepanjang hari. Pernah sekali Ia tak tidur dalam dua puluh empat jam lalu mengalami drop hingga harus menginap di rumah sakit.
Ia dikejar deadline. Writer's block tak jarang Ia alami membuat jemarinya menganggur tak dipekerjakan untuk mengetik karena otaknya sendiri mampet ㅡtak mampu memikirkan sepatah katapun.
Sudah lebih dari seminggu setelah menyelesaikan proses penulisan hingga percetakan sibuk lima bulan lamanya. Akhirnya Ia bisa tidur nyenyak tanpa harus memikirkan laptop dan lebih dari tiga ratus halaman di dalamnya.
Kabar bahwa Sania akan merilis buku lagi sudah tersebar. Harinya dimulai kembali
Alarm-nya kembali berteriak memukul gendang telinga Sania. Lengannya berusaha menggapai dan mengusap layar ponselnya sebelum pengingatnya memulai keributan lagi. Sania bangkit dari tempat tidurnya. Meregangkan tubuhnya yang rasanya remuk padahal Ia tak pernah kerja berat. Tidur terlalu lama juga membuat kepalanya nyeri.
Jam tidurnya yang lalu kurang, kini kelebihan. Sania tak bisa mengimbanginya.
Adalah keinginannya sejak lama untuk melekat di tempat tidur empuk miliknya. Meski baunya sedikit apek karena Ia tak pernah sempat membersihkannya dulu dan terlalu malas untuk melakukannya sekarang.Sania menarik sembarang kain yang melapisi kasurnya. Memasukkan potongan fabrik besar itu ke dalam plastik putih dan ditinggalkan di depan Apartemennya agar dijemput pemilik laundry langganan.
Baginya tak butuh waktu lama untuk berendam dalam bak karena jemarinya mudah mengkerut di dalam sana. Namun juga tak sedikit waktu yang diambilnya untuk bersiap mengurus dan menutupi warna hitam di bawah matanya.
"Menyeramkan," Ujarnya sambil mendekat ke cermin memandangi mata pandanya.
Tujuannya adalah toko buku yang berada di Mall pusat kota. Tidak mengejutkan bahwa Sania cukup sukses menjadi penulis di usia hampir seperempat abad ㅡIa selalu mengungkit-ungkit bahwa Ia belum dua puluh lima tahun, masih punya waktu beberapa bukan lagi sebelum Desember. Singkatnya Ia menolak disebut tua.
Sudah lima tahun sejak Sania berani mempublikasikan tulisannya. Dimulai dengan menceritakan kisah pendek di platform online yang kemudian mulai mendapat atensi. Sepanjang karirnya, Sania telah merilis tujuh cerita yang di antaranya dipublikasikan secara online dan empat lainnya diterbitkan.
Jerih payah kerja kerasnya tak berhenti di situ. Tidur malamnya selalu Ia pertaruhkan ㅡdan juga kuliahnya, Sania cukup sering terlambatㅡ terbayarkan dengan baik. Dua dari bukunya diangkat menjadi sebuah series dan film. Dengan popularitasnya, Sania juga terbayarkan dengan spotlight yang Ia dapat dalam perilisan kali ini.
Menjadi kali pertama baginya untuk mengadakan acara tanda tangan dan interview. Rangkaian acara akan diadakan setelah lima jam perilisan.
Rasanya setengah gugup setengah excited. Sania sangat bersemangat dan tak sabar untuk masuk ke sana. Melihat apakah ada sedikit kerumunan yang mengelilingi rak section novel sekitarnya. Tapi juga ada rasa gugup menggerogotinya. Muncul ketakutan bagi Sania untuk menatap ke sana. Ia takut tak seorangpun tengah memunggungi jalan berdiri di depan rak.
Akhirnya Ia terdiam di depan dinding kaca toko. Menarik napas pelan dan menatap dirinya dari pantulan. Kadang Sania sedikit berjinjit berusaha mengintip mencari bagian novel meski pemandangannya diblokir oleh papan gantung berisi promosi buku filsafat yang berada di rak terdepan ㅡtepat di seberangnya di balik dinding kaca.
Sania terdiam meski dan sedetik kemudian atensinya diambil dan dipaku oleh jemari yang memegang cover biru yang jelas Ia kenali.
Serene Blue| Jeon Wonwoo
The-iris, 29 Juli 2021
⚠face claim
Sania Maheswari
KAMU SEDANG MEMBACA
Serene Blue
Romance𝖨 𝗐𝗈𝗇𝖽𝖾𝗋 𝗂𝖿 𝗌𝖾𝗋𝖾𝗇𝖾 𝗂𝗌 𝖺𝖻𝗅𝖾 𝗍𝗈 𝗉𝖺𝗂𝗇𝗍 𝖻𝗅𝗎𝖾, 𝖽𝗈𝖾𝗌 𝗍𝗋𝖺𝗇𝗊𝗎𝗂𝗅 𝗁𝖺𝗌 𝖺𝗇 𝗎𝗇𝗍𝗋𝗈𝗎𝖻𝗅𝖾𝖽 𝗌𝖺𝖽𝗇𝖾𝗌𝗌 𝗍𝗈𝗈? 𝖳𝗁𝖾-𝗂𝗋𝗂𝗌, 𝟤𝟫 𝖩𝗎𝗅𝗂 𝟤𝟢𝟤𝟣