Cerita ini ada di KBM APP ya cari aniswiji.
Silakan mampir di ceritaku yang lain.
Selamat Membaca
Dalam benakku menikah itu hal yang penting yang patut dipikirkan beberapa kali sebelum memutuskan. Bahkan aku juga bertanya banyak hal mengenai pernikahan itu kepada Kak Anik, tidak jarang aku bertanya dengan Ibu. Bagiku pengetahuan yang luas membuat pikiranku mampu terbuka menerima atau menolak lamaran ini.
"Bagi Ibu menikah dengan laki-laki yang belum kita kenal dekat itu bagaimana?" Tanyaku sore hari saat Ibu duduk bersantai di teras rumah. Ibu nampak berpikir, "Susah-susah gampang. Dulu Ibu juga kaya gitu dengan Bapak. Kami kenal akibat perjodohan, awalnya susah karena harus beradaptasi dengan kebiasaan Bapak yang Ibu tidak tahu. Tapi lambat laun Ibu bisa karena kami saling terbuka. Kalau Ibu tidak suka sikap Bapak ya bilang, begitu juga Bapak. Meskipun cinta itu belum tumbuh, tapi rasa sayang itu pasti ada karena terbiasa hidup bersama."
"Apa sesederhana itu?"
"Ya jelas tidak, nikah itu kompleks. Menurut kamu baik tapi menurut pasangan kamu tidak, pintar-pintar kita saja." Jawab Ibu dengan mengusap rambutku lembut.
Aku paham, bahwa pernikahan itu tidak sesimpel itu. Tapi aku juga teringat senyuman manis si kembar. Sungguh aku sangat menyayangi mereka meskipun aku bukan ibu kandungnya. Bagiku senyum mereka itu mampu mengubah mood yang tadinya buruk menjadi lebih baik.
"Kamu bahas lamaran Nak Rian ya?" Aku mengangguk, "sudah solat istiqoroh?"
"Sudah tapi belum ada jawaban, hanya senyuman manis si kembar yang ada di kepala." Ibu nampak mengangguk.
"Itu jawabannya Fira, Ibu tahu kamu sangat menyayangi mereka meskipun baru kenal dua bulanan. Ibu mampu melihatnya dari sorot mata kamu. Lagian menurut Abang kamu, Rian orang yang baik dan bertanggungjawab cocok buat jadi suami." Apa iya?
Mengerutkan kening aku menatap Ibu, "kalau bertanggungjawab kenapa dia cerai sama istrinya?"
Ibu balik menatapku, "memang perceraian itu semuanya salah laki-laki? Tidak juga. Banyak diluaran sana yang memang ada kalanya salah pihak istri. Misal dinasihati suami tidak nurut atau yang lain. Lagian kamu belum tahu cerita mereka bukan?"
Aku menyetujui ucapan Ibu, Pak Rian itu orang tertutup. Jadi dia bukan orang yang mudah membicarakan masalah pribadinya ke banyak orang.
"Pikirkan baik-baik, bagi Ibu sosok suami itu orang yang bertanggungjawab, jujur, setia dan mampu membimbing kamu. Kalaupun kamu mau cari yang lain silakan. Ibu tidak akan memaksa juga. Tapi di mata Ibu, kriteria itu ada di diri Rian."
Jika Ibu saja sudah terpikat dengannya hanya bertemu beberapa kali? Lantas jawaban apa yang harus aku jawab?
***
Aku duduk termenung di cafe yang biasa aku kunjungi dengan teman kampus dulu. Otakku membutuhkan sesuatu hal yang baru.
Meneguk capucino aku merasakan pahit manisnya minuman ini. Sungguh aku sangat menyukai kopi ini diantara minuman lainnya. Bagiku rasa yang pas untuk mendeskripsikan diriku sendiri.
Aku melihat sosok pria itu datang dan berjalan mendekat ke meja yang aku pesan. Ya, hari ini batas waktu yang dia inginkan. Dia duduk dihadapanku setelah memesan minuman. Raut wajahnya masih sama, dingin kaku tak tersentuh.
"Bagaimana jawabannya?" Tanyanya, tanpa menanyakan kabar diriku terlebih dahulu.
"Kenapa terburu-buru, masih ada banyak waktu." Jawabku sekenanya. Dia mengangguk seolah tahu apa yang aku inginkan.
"Baiklah, saya akan menunggu. Tapi ingat saya tetap akan menanyakan jawaban kamu hari ini." Katanya penuh penekanan.
"Apa Bapak tidak ada sesuatu yang ingin dikatakan selain hal itu? Maksudku Bapak sedang melamar anak orang, dan Bapak tidak melakukan seperti orang lain lakukan." Tuturku, menilai apa yang dia lakukan. Bahkan ia tidak membawa bunga.
Dia tersenyum seolah mengejek jawabanku. "Kenapa harus seperti itu? Saya bukan lagi anak ABG yang harus bawa cokelat atau bunga kalau itu yang kamu inginkan. Bagi saya keseriusan itu yang penting."
Aku tidak tahu diriku dan dirinya selisih umur berapa? Kenapa aku seperti berbicara dengan orang yang usianya jauh lebih tua.
"Hmm, baiklah. Saya mau jadi istri Bapak." Akhirnya kata itu yang mampu aku ucapkan.
Dia mantapku dan menggenggam tanganku, "Terima kasih, besok saya akan ajak kedua orang tua saya ke rumah kamu. Oh, iya ada yang ingin kamu minta sebagai mas kawin pernikahan?"
Sejauh ini aku tidak berpikiran sampai disitu. Memang apa yang aku inginkan darinya? Tidak ada.
Aku menggelengkan kepala, "tidak ada, saya menerima apa yang akan Bapak berikan. Terserah apa itu."
"Yakin? Saya akan mengusahakan apa yang ingin kamu minta."
"Pak, tidak ada yang saya inginkan. Bagi saya menikah itu ibadah, saya tidak mau menjadi beban buat Bapak. Jadi saya pasrahkan semuanya ke Bapak." Jawabku, aku bukan wanita yang materialis saat disodorkan sebuah barang mahal atau nominal uang yang besar. Meskipun semua itu sangat dibutuhkan dalam hidup.
"Saya tahu kamu akan bilang kaya gitu. Makanya saya menanyakan sesuatu itu."
"Tidak Pak. Saya ikhlas menjalani pernikahan dengan Bapak. Jadi saya tidak akan menuntut. Bagi saya Bapak bertanggungjawab, jujur, setia itu sudah cukup. Apalagi yang saya inginkan?" Dia mengangguk seolah paham apa yang aku inginkan.
"Baiklah, saya paham atas apa yang kamu inginkan. Tapi satu hal yang ingin saya minta saat menikah kelak." Katanya sebelum meneguk minuman yang dia pesan.
"Apa?"
"Saya harap kamu mau keluar dari pekerjaan kamu dan fokus menjadi Ibu rumah tangga. Saya tidak akan membatasi kamu kalau misal mau usaha apapun. Tapi kegiatan itu kamu lakukan di rumah saja. Jangan pergi keluar rumah." Tuturnya halus. Apa lagi ini? Astaga kenapa aku tidak memikirkan ini?
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Shaffira ✔ (KBM & KARYAKARSA)
Aktuelle LiteraturAku menatap lelaki yang duduk di sampingku dengan binar penuh tanya. Kenapa lelaki ini yang ada di sini? Bahkan aku bisa melihat dua anak kecil yang duduk bersama Nenek mereka tak jauh dari tempat duduk kami. Ya Allah apa ini takdirku? Menikah den...