Hari-hari berikutnya

5 3 2
                                    

Oke, jadi ini masih masa-masa ketika aku dan Nida masih kelas X(sepuluh) di SMA yang sekali lagi kalian tak perlu tahu ada dimana.

Kira-kira seminggu setelah kejadian tabrakan di depan kantin. Waktu itu adalah jeda pergantian jam pelajaran jadi semacam ada sekitar lima menit kelas itu akan kosong dalam arti menunggu datangnya guru berikutnya mengajar di kelas.

Tetiba saja si Nida ada di depan kelas  kelasku, dia berdiri di depan pintu  dan matanya terlihat seakan mencari-cari sesuatu atau entah itu seseorang.

Beberapa kali mata kami bertatapan. Namun, ia segera saja mengalihkan pandangan. Matanya terus-terusan seakan mencari sesuatu, dari sikap tubuhnya sudah jelas apa yang dicari Nida di dalam kelasku tidak ketemu.

Dirinya nampak semakin gelisah, apalagi ketika beberapa siswa laki-laki di kelasku mulai bersiul dan bersuit-suit ke arahnya.

Hingga pada akhirnya ia menyerah. Mata kami pada akhirnya bersitatap kembali, aku bisa melihat dirinya menghela napas dengan pelan. Matanya yang bening tertutup embun yang menempel di kacamatanya.

Pada akhirnya keajaiban itu pun terjadi.

"Hei, kamu!" tetiba saja dirinya memanggil. Suasana di kelas kami saat itu sedang ramai, akibat guru jam pelajaran berikutnya belum datang.

Ketika Nida memanggil seperti itu, tentu saja aku tidak cukup percaya diri, bahwa sesungguhnya yang dirinya panggil saat itu adalah aku.

Maka aku cuek saja, atau lebih tepatnya pura-pura cuek. Walau sorot mata tidak lagi kuarahkan padanya, namun sudut mataku tetap menyisir ke arahnya.

"Hei... Kamu!" lagi ia memanggil, kali ini dengan gerak tubuh berupa telunjuk yang mengarah kepadaku.

Dirinya makin gelisah, karena sepertinya mata pelajaran berikutnya akan segera mulai di kelas X(sepuluh) F.

Aku yang hatinya tetiba terasa berbunga-bunga, pun seakan memasang wajah bingung. Lalu dengan sedikit bahasa tubuh seakan menyiratkan kebingungan yang terus terang saja berbanding terbalik dengan hatiku.

Jadi seperti ini. Ketika si Nida berkata hei dan menunjuk diriku, lalu aku dengan wajah yang sok lugu dan pura-pura bingung pun menunjuk  diriku sendiri dengan jari tanganku.

Lagi, mata kami saling berpandangan. Sinar mata kami masing-masing saling bertabrakan, saling bersirobok yang menyebabkan di detik itu kami tetiba satu frekuensi.

Ketika Nida menunjuk diriku, aku pun menunjuk diriku sendiri. Lalu dalam detik yang beriringan kami berdua pun sama-sama saling mengangguk.

Hatiku berbunga-bunga, lalu dengan langkah kaki yang tak laju pula tak pelan. Tentu saja kawan, aku harus menjaga harga diriku. Bukankah yang ada keperluan si Nida bukan aku, jadi aku harus terkesan biasa saja.

Nampak raut wajah Nida terlihat masam, namun aku cuek saja.

Lalu, lagi ia berkata "hei, kamu. Tahu Mhyta ada di mana gak?" tanya Nida.

"Oh, nyari Mhyta," sahutku biasa-biasa saja, dengan nada datar. Tapi tidak dengan degup jantungku yang berloncatan.

"Kenapa?" sambungku. Kali ini dengan lengan kiri yang kusandarkan di pintu. Aku menatap matanya lurus. Tahukah kalian? Gaya siapa yang sebenarnya aku tiru. Aku sebenarnya sedang menggunakan gaya ala Andy Lau, seorang artis terkenal dari Hong Kong.

Udara dari hidungnya membuat kacamatanya milik Nida sedikit berembun.

"Mhyta sedang ke kantor guru mengantar buku latihan Bahasa Inggris," lanjutku.

"Oh.. Kalau begitu aku nitip novel ini ya!" sahut dan pinta Nida kepadaku.

Tangannya Nida menyerahkan sesuatu kepadaku. Sebuah novel lawas Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, sebuah roman lebih tepatnya. Sebuah kisah klasik dari HAMKA alias Haji Abdul Malik Karim Amrullah.

14 Hari Mengejar Nida (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang