Happy Reading!
***
Tanggal 7 September 2012, itu berarti pertandingan tinggal dua hari lagi. Seperti biasa, Maura berlatih dengan keras supaya dia menjadi urutan pertama.
Memang tidak mudah meluluhkan hati ibunya, namun dia yakin suatu hari, akan ada waktunya senyuman hangat ibunya terukir jelas untuk dirinya.
Gurunya dengan telaten mendampingi anak didiknya yang sedang berlatih. Ada tujuh peserta yang akan mengikuti lomba dengan cabang yang berbeda. Dia memastikan semua persiapan benar-benar matang. Terutama Maura, dia adalah satu di antara tujuh peserta yang nampak berlatih dengan giat dan tanpa mau berhenti sebelum sesuai keinginannya.
Semua yang dilakukan Maura bukan atas tekanan dari gurunya, namun kegigihan Maura sering menjadi pertanyaan dalam hati guru itu. Apa yang ada dipikiran Maura? Dan kenapa? Namun kehidupan pribadi seseorang tetaplah menjadi privasi.
Priiitt ... suara peluit yang ditiup gurunya itu membuat semuanya berhenti. "Anak-anak, ini sudah jam dua belas, kita istirahat untuk makan siang dulu."
Saat enam murid beranjak pergi ke kantin, Maura justru bersiap mengambil ancang-ancang. Perlahan mengatur napas. Tarik napas, dan buang. Keringatnya sudah mengucur di seluruh tubuh.
Tentu saja guru itu masih mengamatinya, namun sebelum Maura sempat berlari, gurunya lebih dulu menghentikan latihan dengan menghampirinya.
"Maura, ayo kita makan dulu," bujuk laki-laki itu.
"Satu putaran lagi Pak," jawabnya tanpa merubah posisi ancang-ancangnya.
"Kecepatanmu akan lebih maksimal kalau kamu mengisi perutmu dulu."
"Satu putaran saja Pak."
"Ayolah, latihanmu sudah bagus. Kamu pasti menang," bujuknya sekali lagi sambil menepuk bahu Maura.
"Baiklah," Maura menghela napas dan mengikuti gurunya ke kantin.
Gurunya itu selalu bisa memberi perhatian untuk Maura. Tak heran jika Maura bisa menurut dengan ucapannya. Meskipun, sifat Maura yang keras kepala sulit dirubah.
***
Suara gaduh bukan karena tawuran melainkan para suporter dari puluhan SMP memadati stadion yang sekaligus tempat pertandingan olahraga berlangsung. Sorakan demi sorakan tak kunjung berhenti seolah mengadu tim sekolah mana yang lebih semangat.
Tidak mau kalah, suara para pedagang asongan juga ikut berteriak untuk menjajakan dagangannya. Sambil mengangkat makanan yang dijualnya, pedagang itu mengeluarkan trik khasnya.
"Cangcimen cangcimen cangcimen ... sepuluh ribu dapat tiga! Mbak, Mas, ayo dibeli."
"Cancimen apaan bang?" celetuk satu anak laki-laki yang sedang memegang banner bertuliskan 'SMP 2 Cakrawala semangat! Kalau menang traktir gue pizza! Karena berbagi itu indah'.
"Mau beli? Ambil aja dek, yang banyak sekalian buat pacarnya."
"Hahaaha, Abang nih suka bercanda," tawanya cekikikan sambil menepuk bahu pedangangnya.
"Cakep aja enggak, gimana mau punya pacar bang? Abang ngeledek saya ya?" sambungnya saat tiba-tiba ekspresinya berubah sedih dan mengusap dada.
"Lah kok nangis?" pedagang itu melihatnya heran.
Rasa solidaritas teman-temannya yang tinggi seketika muncul dengan menepuk bahu anak laki-laki itu. "Sabar bro, sabar."
Semua peserta lomba lari telah dipanggil untuk menempati lintasannya masing-masing. Seperti peserta lainnya, Maura sedang melakukan pemanasan tanpa memperdulikan suara bising disekitarnya. Angka lima tertulis didadanya, sungguh setiap kali mendapat angka ganjil, baginya seperti keberuntungan. Dan semoga dia beruntung hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Can't : Rumah Yang Tak Utuh [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[SUDAH BACA? MINIMAL TINGGALKAN VOTE AND COMMENT!] Maura Deana bercita-cita menjadi atlet lari namun tak pernah mendapat dukungan dari ibunya. Permasalah keluarga lainnya cukup memberatkan setiap langkahnya. Mulai dari tuntutan prestasi akademik, bu...