Purnama ; 1

4 1 0
                                    

Hai! Sudah kenal denganku, bukan? Ah baiklah, aku akan memperkenalkan diri. Aku Arstella Citraleka! Gadis yang malam ini sedang duduk di pelataran rumah sembari menatap purnama dan bermain dengan percikan hujan.

Bunda pernah bilang, "Stella, namamu itu bukan Bunda apalagi Abah yang kasih."

Abah yang kala itu sedang memetik bunga ikut mengangguk sambil melirik-lirik diriku penuh ejekan. Abah memang mengesalkan.

"Dulu saat kamu lahir, ada seorang puan muda datang yang kami sekeluarga tidak tahu siapakah dirinya. Dia cuma tersenyum simpul lalu berucap syukur dan dua patah kata soal nama. Puan muda itu bilang 'Wahai, Arstella Citraleka"."

Aku yang saat itu sudah cukup penasaran akan cerita bunda, dengan cepat menganggukkan kepala. "Lalu bunda? Bagaimana selanjutnya?" Ucapku tidak sabaran.

Bunda hanya tertawa mendengar pertanyaanku. Bunda mengusap rambutku halus lalu mengecup keningku, setelahnya bunda selalu pergi menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah.

Kalau-kalau aku mencoba bertanya pada abah, abah selalu menatapku dengan raut muka seolah-olah tidak mengenalku.

"Abah! Lanjutkan cerita bunda, yaa??" Aku berucap manja pada abah dengan harapan abah mau menceritakan cerita bunda tentang asal usul namaku.

Abah memalingkan wajah lalu nampak bercanda dengan menutup-nutupi wajahnya menggunakan telapak tangan. Ketika abah melihat wajahku yang kesal dan cemberut, abah lantas tertawa riang lalu memanggilku untuk mendekat.

"Aduh, aduh, putri cantik abah merajuk. Ayo Stella, kemari! Biar abah beri pelajaran yang tadi membuat putri abah ini cemberut." Ucap abah dengan sedikit tawaan.

Dan selalu begitu, bunda tak pernah melanjutkan ceritanya sejak saat itu, juga abah yang masih sering bercanda tiap kali aku menanyakan kelanjutan cerita bunda.

Aduh, mari kita lupakan soal itu!

Malam ini aku sangat senang! Abah memberikanku sebuah buku antologi puisi yang cukup tebal juga sebuah buku catatan dengan sampul biru semi keunguan yang berisikan 300 halaman! Ah, jangan lupakan sebuah pena tinta dengan secarik bulu lembut sebagai hiasannya.

Kebahagiaanku bertambah besar kala aku mendapati hujan telah mengguyur bumi dan purnama terlihat sangat elok dihias awan putih dan bintang.

Aku memutuskan untuk duduk bersila di pelataran rumah sembari membawa buku antologi, buku catatan, juga pena tinta hadiah dari abah.

Tanganku dengan lihai bermain dengan percikan air sembari menunggu otakku yang tengah merangkai banyak kata untuk dijadikan puisi.

Ah! Lihat ini! Sebuah puisi telah tersusun rapi di benakku. Aku menarik tanganku lalu mengeringkannya. Jari-jemariku lihai mengambil pena tinta dan membuka buku catatan untuk segera menjabarkan puisi yang telah dirancang.

Bodohnya diriku, aku tak sadar bahwa aku tidak memiliki tinta di rumah. Bahkan aku juga tak sadar bahwa aku sudah selesai menulis satu rangkaian puisi dengan pena tinta pemberian abah.

.....

–Pena tinta milik Arstella–

[;] Sudah hamba katakan, bukan? Ini bukanlah cerita dengan rangkaian kata yang panjang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[;] Sudah hamba katakan, bukan? Ini bukanlah cerita dengan rangkaian kata yang panjang. Masih berminat untuk membaca?

Kisah Sang MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang