Cinta

4 0 0
                                    

"Kebahagiaan palsu tidak akan membuatmu bahagia. Kamu harus tahu yang mana pilihan yang benar, yang mana pilihan yang salah. Buatlah keputusan dengan penuh tanggung jawab"

-Kulacino-
Chapter 2

"Nunggu gue, ya?"

Seseorang berbicara di belakangku yang membuatku sontak langsung menoleh.

"Eh, Astra! Kaget gue," Aku mengelus dada sangking terkejutnya. Kukira Biyan yang datang. Ternyata bukan.

Astra membawa dua es kopi yang biasa aku dan Biyan beli. Satu di tangan kirinya dan satunya lagi di tangan kanannya. Aku terheran-heran. Untuk apa itu?

"Ya maaf,"

"Nunggu siapa, Ra?" Astra yang masih mengenakan seragam sekolah dengan beberapa buku di pelukannya. Ia menaikkan sebelah alisnya dan sedikit memiringkan kepalanya, bertanya kepadaku.

"Bi--"

"Biyan ya?" Belum juga aku melanjutkan kata-kataku, Astra sudah berhasil menebaknya.

Aku memperhatikannya dengan seksama.

Astra melangkahkan kakinya menuju meja tua tersebut. Ia menarik kursi--menggunakan kaki--, lalu duduk disana.

"Duduk," Katanya sambil menepuk kursi di sebelahnya setelah menaruh buku dan kedua es kopi di meja.

Aku berjalan ke arahnya, lalu duduk di sana.

Kami sama-sama menikmati pemandangan kota Bandung yang terlihat persis di depan kita.

Bentuk meja persegi panjang yang kita tempati, tidak menganggu sama sekali. Justru, disini malah terasa sejuk dan damai. Oh, tenang maksudku.

"Biyan udah pergi, tadi dia disini" Katanya tanpa mengalihkan pandangan dari pemandangan kota Bandung.

"Kok?" Aku menatap lelaki disebelahku dengan terheran-heran. Bagaimana ia bisa tahu?

Astra menyeruput es kopi di depannya itu, "ini buat lo aja" Katanya sambil menggeser segelas es kopi yang satunya lagi ke depanku.

"E-eh? Beneran?"

"Kalo gitu, makasih" Balasku lalu langsung menyeruput segelas es kopi tersebut.

Suasana kembali hening ketika kami sama-sama menikmati pemandangan senja pada hari ini.

Tiba-tiba saja, momen yang aku dan Biyan pernah lewati, terlintas begitu saja di kepalaku.

Lagi-lagi, perasaan rindu menyelimuti hatiku. Rasanya ingin ku teriak dengan kencang, kalau bisa, disamping telinga Biyan seperti 'Aku suka sama kamu!'. Tapi itu bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan.

"Kasih tau perasaan lo ke Biyan, gih" Ujar Astra secara tiba-tiba yang berhasil membuatku membulatkan mata sempurna.

Bagaimana bisa ia tahu kalau aku menyukai Biyan?! Apakah itu terlihat begitu jelas?

"Hah?" Aku mengerutkan keningku, berusaha terlihat seperti tidak mengetahui apapun.

"Gue tau kok, lo suka sama Biyan" Pekiknya.

Astra menoleh ke arahku, lalu ia menatap mataku dalam-dalam.

"Rasa yang dipendam itu sakit. Lebih baik lo confess ke dia, kasih tau perasaan apa yang lo pendam selama ini. Gue jamin, lo akan ngerasa lega" Lanjutnya dengan senyuman yang terlihat seperti dipaksakan.

Aku tidak mengerti maksudnya.

Astra membuang napas kasar. Ia mengalihkan pandangannya entah kemana. Ia terlihat seperti tidak ingin menatapku.

"Gue kasih tahu, ya. Mencintai sepihak itu sulit. Sakit."

"Tapi kalau lo belum confess, lo nggak akan tahu perasaan dia juga, kan? Kecuali dia juga udah confess ke lo. Itu beda lagi ceritanya"

"Lo kenapa dah tiba-tiba--" Lagi-lagi, perkataanku terpotong.

"Tara" Astra memanggil namaku. Sedari tadi, aku tidak berpaling dari menatap matanya lekat-lekat.

Apa yang kamu maksud, Astra?

"Kalau lo nggak kasih tahu perasaan lo ke orang yang lo suka, orang tersebut nggak akan tahu seberapa dalam rasa cinta atau kasih sayang yang lo beri. Dan kalau ternyata kalian saling suka satu sama lain, kalian bisa menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman"

"Itu berakhir dengan indah"

Aku terkekeh mendengar perkataan Astra barusan.

"Lo lagi patah hati atau gimana deh? Emangnya lo udah confess ke cewe yang lo suka?" Aku menyeruput kopi didepanku sambil menatap pemandangan di depan.

"Belum"

"Lah, kalau begitu kenapa lo suruh gue confess?"

Lagi-lagi, Astra membuang napas kasar. "Kisah gue beda cerita, Ra. Cewe yang gue suka, sukanya sama orang lain dan gue nggak akan bisa ngerubah itu"

"Bisa, kok. Siapa bilang nggak bisa?"

"Ya, nggak bisa pokoknya. Kalau gue confess ke cewe itu sekarang, semuanya bakalan jadi rusak. Jadi lebih baik nggak usah"

Aku hanya menganggukkan kepalaku, tanda mengerti.

"Biyan juga suka sama lo, Ra" Astra memiringkan posisi duduknya lalu menatapku.

"Hah? Dia kan punya banyak mantan. Pasti sekarang dia juga udah suka sama orang lain, kali" Aku mengaduk-aduk kopi di depanku.

"Lagipula kalau ternyata dia suka sama gue, kita tetep nggak bisa pacaran. Udah gue bilang, semesta tidak merestui hubungan kita" Lanjutku sambil tersenyum pahit.

Ya, memang. Aku rasa ini tidak tepat. Sedalam-dalamnya aku mencintai seorang Biyan Dirgantara, aku tetap tidak akan bisa merubah status hubungan kita.

Mengapa?

Aku sudah nyaman dengan hubungan yang sekarang. Aku tidak ingin hubungan kami berubah atau bahkan rusak.

Walau seringkali aku selalu ingin mendapatkannya. Tetapi, aku merasa ada yang mengganjal.

Setiap kali aku bertanya pada Tuhan, bagaimana kalau aku menjalin hubungan dengannya? Apakah itu keputusan yang tepat?

Tetapi entah bagaimana, aku seperti mendengar suara Tuhan berbicara kepadaku, 'Kalau bisa jangan dulu, nak. Sepertinya ini bukan keputusan yang tepat. Aku tahu yang terbaik untukmu'.

"Lo menyia-nyiakan kesempatan,"

"Bukan gitu. Gue berpikir, pacaran bukan hubungan bercandaan. Ketika gue udah punya pacar, tanggung jawab gue akan bertambah" Aku memberi tahu sisi pandangku.

"Hmm.. Iya juga, sih" Astra mengangguk tanda mengerti.

"Cinta itu memang sulit, Ra. Berlibet, ribet, bahkan terkadang bikin sakit. Tetapi entah kenapa, kita bahagia saat merasakannya"

"Cinta itu nggak bisa dimengerti. Momen yang lalu hanya akan menjadi sebuah kenangan yang tak akan terlupakan. Dari cinta, kita bisa belajar banyak" Aku melengkapi.

"Makasih ya, Ra" Kata Astra tiba-tiba.

"Untuk?"

"Everything"

-To Be Continued-

KulacinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang