Percayalah, senja tak akan meninggalkan tempat peraduannya.
***
Nafisa terus melangkahkan kakinya menyusuri setiap sudut rumah. Menghabiskan waktu petang seorang diri. Setelah salat zuhur, Alger berkata akan keluar sebentar. Menemui temannya.
Berjalan menuju pintu yang belum ia ketahui apa kegunaannya. Hingga hamparan rumput dan sebuah pohon rindang tertangkap oleh penglihatannya. Taman belakang rumah. Sungguh menakjubkan.
Kembali berjalan, mendekati pohon yang letaknya paling ujung. Terdapat sebuah ayunan yang menggantung. Dihiasi dahan yang menjalar.
Tangannya terulur menggapai tali besar ayunan yang ditutupi daun menjalar dan bunga. Mencoba untuk duduk dan memejamkan mata menikmati terpaan angin sepoi-sepoi.
Tak lama, kakinya menuntun menuju tempat yang terdapat beberapa jenis bunga. Tak jauh dari pohon dan ayunan tadi. Nafisa mengedarkan matanya, hingga ia melihat benda yang ia cari. Sekop, dan beberapa peralatan berkebun.
Nafisa mengambilnya, kemudian mulai membenahi bunga-bunga. Jika bunganya mati, akan ia ambil dan gantikan dengan yang baru, yang dirasa jaraknya sangat dekat.
Jilbab motif dan gamis navy yang sedikit kotor akibat terkena tanah tak ia pedulikan. Angin sesekali menerbangkan jilbabnya. Dirinya terus melakukan aktivitasnya, hingga dering ponsel mengalihkan perhatiannya.
Nafisa segera melepas sarung tangan yang melekat di tangan kanannya. Mengambil benda yang berada di saku gamisnya. Ada sebuah pesan masuk.
Mas Alger
Pindahkan barang-barang kamu ke kamar saya. Kamar saya tidak dikunci. Cepatlah. Saya pulang sebelum maghrib.
"Sebelum maghrib, berarti masih ada beberapa waktu. Mumpung masih jam empat sore, nanti aja deh. Barang Nafisa juga belum sepenuhnya dikeluarin dari koper," ucapnya pada diri sendiri.
Kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Menit terus berjalan, jam menunjukkan pukul lima sore. Nafisa menghentikan kegiatannya, dan membereskan peralatan yang ia pakai.
"Cukup untuk hari ini." Suara khas seorang laki-laki menginterupsi pendengarannya. Tanpa ia menoleh pun, dirinya sudah tahu siapa orang tersebut.
Dengan perlahan, Nafisa membalikkan badannya. Kemudian tertawa kecil, seakan merutuki kebodohannya.
"Eh, Mas udah pulang?" tanya Nafisa meringis.
Bodoh banget sih, jelas-jelas ada di depan mata, gerutunya dalam hati.
Alger hanya berdehem. Nafisa yang merasakan aura dirinya dalam bahaya, segera meletakkan alat-alat berkebun kembali ke asalnya. Kemudian mencuci tangan, kebetulan ada sebuah slang air. Merapikan bajunya yang sedikit kusut dan agak kotor. Lalu menghampiri suaminya yang terus menatapnya tajam.
"Hehehe, udah natapnya, Mas. Nafisa takut. Nafisa minta maaf deh. Mas mau dibikinin kopi atau teh atau air putih atau—?" tanya Nafisa, dirinya tepat berada di hadapan Alger.
Ya Allah, Nafisa takut, mana belum beresin barang, batinnya.
"Kamu belum melakukan apa yang saya minta?" tanya Alger, tatapannya masih tajam dengan kedua tangan saling menyilang di depan dada.
Tuh kan, mampus! Nafisa kamu dalam bahaya!
"Hehehe." Nafisa tidak bisa berkata apa-apa. Hanya tawa menyedihkan yang keluar dari mulutnya.
Alger melengos, menatap apa saja kecuali mata kecoklatan milik wanita yang sudah sah menjadi istrinya.
Nafisa terbelalak melihat Alger yang memalingkan muka. Buru-buru ia mendekati laki-laki tersebut dan meraih tangan kekar suaminya. Kemeja yang lengannya tergulung hingga ke siku memperlihatkan otot-otot suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Captain! [End]
Novela JuvenilAlmaika Nafisa Putri Almortaza, seorang gadis cantik yang bekerja sebagai Human Resource Department atau lebih dikenal HRD di perusahaan ayahnya, terpaksa menikah dengan seorang kapten pilot yang membuatnya selalu percaya bahwa ini akan menjadi jala...