1.

7 2 2
                                    

Mata kelabunya memancarkan pandangan khawatir. Sorotnya lurus ke hadapan wanita yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit—ibu kesayangannya. Gadis berambut hitam legam memegangi telapak tangan ibunya, sembari berdoa pada Tuhan agar ibunya bisa sembuh. Ia pandangi wajah ibunya yang mungkin tak lama lagi ia hanya bisa melihatnya melalui potret.

Satu sungai menyapa pipi putihnya. “Mama, cepat sembuh, ya?”

Ia elus tangan ibunya. Setetes air jatuh dari matanya. “Nanti, kalau Mama sembuh, kita main ke taman lagi, seperti dulu lagi, bersama papa.”

Otaknya memutar kaset yang isinya saat di mana ia berpiknik di taman bersama ayah ibunya. Di bawah pohon yang meneduhkan, ditemani angin sepoi, dan disuguhkan pada pemandangan sungai Han. Menyantap nasi goreng buatan Hyejin, smoothie stroberi pisang buatan Edward, ditutup dengan puding rasa cokelat kesukaan Jovanka.

Air terjun menderas. “Mama...”

Tatapannya penuh rasa melas, khawatir, dan rindu. Ia kasihan terhadap ibunya yang tengah berjuang melawan penyakit. Ia juga merasa khawatir bilamana Tuhan mengambil salah satu kesayangannya darinya. Hatinya jua merasa rindu akan senyum, peluk, bahkan ocehan ibunya.

“Mama, aku mohon cepatlah sembuh, ya? Aku rindu Mama, rindu terhadap kegiatan-kegiatan yang melibatkan aku dan Mama, juga masakan Mama.” Ia mengungkap apa yang dirasanya.

Manik milik gadis bermarga Kim itu masih mengucurkan air mata. “Besok akan jadi kompetisi keduaku setelah Mama sakit. Doakan aku agar bisa menang, ya Ma? Doakan aku agar masuk peringkat tiga besar,” pinta Jovanka seraya mengelus tangan ibunya lembut, “Terima kasih untuk doanya, Mama.”

“Mama, apa Mama tahu? Aku rindu di saat Mama berdiri menontonku dari barisan penonton paling depan dan meneriakkan namaku,” ujarnya jujur.

Jelas sekali ia merindu pada wanita yang melahirkannya. Bagaimana tidak? Ini sudah delapan bulan sejak ibunya tergeletak di atas ranjang rumah sakit. Maksudku, anak mana yang tidak merindukan ibunya ketika tidak bisa bertemu dan mengobrol? Aku yakin mayoritas anak pernah merindu pada wanita spesial ini. Bahkan penjahat pun pernah kangen pada ibunya, setidaknya sekali.

Ting! Bunyi yang memberitahu bahwa ada pesan yang masuk. Perhatian gadis bernama Jovanka teralih. Ia menghapus jejak air matanya, lantas mengecek ponselnya. “Papa lembur lagi,” begitu katanya setelah ia membaca pesan dari Edward.

Kali ini ia memikirkan ayahnya, yang mana menyebabkan rasa kasihan di lubuknya. Ayahnya bekerja lebih keras sejak ibunya tinggal di rumah sakit. Pria kuat itu bahkan sering melembur demi mendapatkan beberapa lembar uang untuk membayar rumah sakit. Ayahnya juga mengerjakan pekerjaan sampingan walaupun hasilnya tak seberapa.

Air matanya mengucur lagi. Ia menjatuhkan beberapa tetes di layar ponsel yang masih menyala mempertontonkan pesan singkat dari ayahnya. Lantas ia menarik napas, berusaha menenangkan diri. Bekas air matanya ia hapus dan duduknya ia tegakkan.

Fokusnya ia hadapkan pada layar ponselnya. Ia mengetik kalimat ‘ya, hati-hati saat pulang’ lalu mengetuk salah satu ikon agar pesan terkirim. Tak lama setelahnya, ia keluar dari aplikasi yang berfungsi mengirim dan menerima pesan singkat. Pandangannya digantikan oleh layar utama ponsel yang berisikan jam dan beberapa aplikasi dasar.

“Sudah pukul tujuh,” responsnya selepas mengetahui bahwa sudah pukul tujuh malam. Ia memandang ibunya, lantas berpamit, “Mama, aku pulang dulu ya? Besok aku akan ke sini lagi. Cepat sembuh, Ma.”

***

Tangannya tengah menggandeng tangan putrinya dengan paksa. Kakinya berjalan cepat, menyebabkan suara ketuk sepatunya terdengar seperti ketukan dalam sebuah lagu. Mata berisi kemarahan menyertai wajahnya. Rahangnya mengeras sebagai tanda ia ikut andil dalam kemarahan.

Si anak sedang mengeluarkan rentetan ocehan. Terus mengoceh, tanpa memedulikan ayahnya yang tengah menggandengnya. Ia menyemburkan kalimat-kalimat yang ia anggap bisa meyakinkan ayahnya. Namun, nyatanya tidak.

Tiba di tempat sepi, kaki keduanya berhenti melangkah. Sang ayah menghadap anak satu-satunya, lantas melepas kasar genggamannya pada tangan kecil milik anaknya. Si anak terdiam setelah ayahnya berbuat seperti itu, seakan tersihir oleh ayahnya. Sang kepala keluarga berkacak pinggang lalu menunduk. Helaan napas berat ia keluarkan setelahnya. Usai itu, ia mendongak dengan pikiran yang dikuasai kemarahan.

“Kau kalah, maka kau harus keluar dari dunia panahan.” Ucap seorang pria jangkung berusia empat puluh tahunan.

***

tbc

Halo! Ini cerita pertama yang kupublikasikan. Mohon dukungannya ya! Boleh berupa reaksi saat membaca cerita ini (komentar) dan saran. Terima kasih!

Salam Kotak!

Sisi Lain yang Tak TerlihatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang