Sehari setelah kejadian dimana Gracia menginap di apartemennya Albern, kini dia sudah harus kembali bersekolah.
Mengingat tentang Gemi, gadis itu sudah meminta maaf perihal kejadian tentang dirinya malam itu, Gemi berkata dia sangat merasa bersalah karena telah meninggalkan Gracia bersama Alex.
Sudahlah. Gracia tidak ingin mempersulit dirinya lagi kali ini, biarkan saja Gemi mau bertingkah, ataupun berkata seperti apa Gracia tidak akan perduli lagi yang terpenting dia sudah memaafkan semuanya. Kalaupun Gracia tidak mempunyai teman lagi tidak jadi masalah. Bukankah dari lahir dirinya memang sudah terbiasa sendiri?
Mungkin sampai kapanpun akan tetap seperti semula.
Hanya saja, saat ini hati gadis itu sedang dalam keadaan menghawatirkan. Gracia benci saat-saat hatinya kembali berharap pada hati manusia yang lain.
Yah! Gracia akui dirinya kembali mengharapkan sesuatu hal yang bodoh.
Bel pulang sudah berbunyi dari lima belas menit yang lalu, namun saat ini dirinya masih belum juga beranjak dari tempat duduknya.
Mungkin saking asiknya dia melamun sampai tak sadar bahwa suasana kelas sudah sangat sepi. Kenapa akhir-akhir ini Gracia merasa dirinya sering sekali melamun? Ah tidak mendadak Gracia lupa, bukankah dirinya memang sudah terbiasa dengan lamunan?
Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan, sedikit menertawakan kebodohannya saat ini.
Di bereskannya buku yang berserakan di atas meja dan memasukkannya kedalam tas setelah dirasa tidak ada yang tertinggal gadis berusia 17 tahun itu beranjak dari duduknya.
Kakinya terus melangkah namun, lagi-lagi pikirannya berkelana jauh kemana-mana. Kali ini Gracia memikirkan tentang papanya. Sudah cukup lama mereka tidak lagi bertegur sapa saat terakhir papanya memberikan pesan bahwa pria paruh baya itu sedang sibuk dengan perusahaannya yang sedang bermasalah.
Sepertinya masalah perusahaan itu cukup serius sampai-sampai papanya harus keluar negeri mengurusnya sendiri.Dan, mengingat tentang Laira, ibunya itu--- "huhh." Gracia menarik nafasnya sesaat. Rasanya sesak sekali bila mengingat wanita yang telah melahirkannya itu. Sampai sini belum juga mengalami perubahan, masih tetap sama, Laura tidak mau menatap wajah Gracia walaupun hanya lirikan.
Gracia merasa miris dengan hidupnya, ibu mana yang enggan menatap wajah anaknya?
Gracia tau, ada konflik di antara wajah nya yang sangat mirip dengan Papanya, Gracia juga tau bahwa ibu kandungnya itu sangat benci dengan bentuk wajah yang mirip ini. Anehnya, sampai sekarang pun tidak ada yang mau menjelaskan apa yang terjadi di antara masa lalu orang tuanya dulu.
Namun, dari beberapa hal yang Laura ucapkan saat dirinya sedang lepas kendali ketika sedang marah, Gracia bisa menyimpulkan bahwa kelahirannya ini hanyalah aib buat keluarga.
Tidak ada yang perlu di salahkan atas kejadian itu, bukankah takdir setiap orang berbeda-beda?
"Gue mau kesepakatan yang dulu gue buat jangan di lanjutin apa susahnya?"
"Ga ada yang sudah sih, itu mudah hanya saja gue yang sekarang susah lepasin dia gimana?"
"Lo gila Albern!"
Langkah Gracia tak sengaja tertahan saat Indra pendengaran nya menangkap percakapan antara dua orang laki-laki yang Gracia yakin salah satunya dia kenal. Albern. Sayangnya lawan bicara Albern saat ini sedang memunggungi Gracia jadilah Gracia tidak dapat melihat wajah orang itu.
Tapi, Sepertinya mereka sedang membicarakan hal yang serius.
Mengapa Gracia menjadi sangat kepo? Daripada ketahuan menguping percakapan orang lain lebih baik Gracia segera pulang. Lagipula untuk saat ini Gracia tidak mau bertemu dengan, Albern guna menjauhi suasana awkward yang mungkin saja akan terjadi.
•••••
Kenapa hari ini rasanya sangat melelahkan? Huh pantas saja Gracia merasa lelah ternyata dia belum makan dari pagi, dan sekarang harus menempuh perjalanan pulang dengan jalan kaki. Manusia mana yang akan mempunyai tenaga sekuat itu?
Kalau saja saat pagi Gracia tidak lupa membawa uang ke sekolah mungkin saat ini dia tidak akan berjalan kaki seperti ini.
Menghela nafas panjang gadis beriris coklat itu berhenti sejenak guna mengistirahatkan badannya yang terasa lemas.
"AWAS!!"
Suara nyaring seorang perempuan mengagetkan Gracia.
Ntah dari mana arah datangnya, tiba-tiba sebuah bola melayang ke arahnya.
Gadis itu memejamkan matanya kuat, mendadak pikirannya blank Gracia hanya bisa membayangkan bagaimana keadaan badannya nanti yang sekarang saja sudah terasa sangat lemas.
Bruk!
Kenapa tidak terasa sakit?
Gracia membuka matanya perlahan.
"Lo ga papa?"
Gracia sedikit membola saat melihat tangan seseorang yang tepat berada di depan wajahnya dengan bola yang terlihat melekat di tangan itu.
Orang itu telah menahan bola yang hampir saja mengenai wajah Gracia!
"Hey, lain kali hati-hati."
"I-iya makasih udah nolongin aku." Gracia merasa takjub sekaligus tak menyangka dengan perempuan yang berada di hadapannya ini. Sungguh Gracia pernah melihat wajahnya! Tapi di mana?
"Kita belum kenalan." Gadis itu mengulurkan tangannya, "kenalin nama gue Milanisti, panggil Mila aja namanya aga strange emang."
Gracia terkekeh kecil mendengarnya. Tak menunggu lama iya juga menjabat uluran tangannya. "Aku, Gracia kamu bisa panggil Grac atau Cia terserah."
"Gue panggil Cia aja ya. Kalo Grac yakin sih udah banyak yang manggil lo gitu."
"Iya hampir semua nya manggil aku gitu."
"Tuh, kan." Gadis bernama Mila itu tertawa.
Tawanya... Seperti.
Ah! Kenapa Gracia baru sadar! Bukankah dia gadis yang waktu itu datang dengan Albern ke pestanya Gemi?!
____Game of destiny____
KAMU SEDANG MEMBACA
Game Of Destiny [END✓]
Teen Fictionselamat datang di kehidupan Gracia, dimana dunianya hanya seperti 'permainan' hari-harinya yang selalu di penuhi dengan harapan, sedangkan kebahagiaannya hanya seperti khayalan. __________________________ "Pah, Gracia sakit. Papa mau kan peluk Graci...