Setelah tersadar dari lamunan panjangnya, Silvie tersentak bagai kesetrum aliran listrik di sekujur tubuhnya.
Silvie termangu menatap bingkai foto setengah berdebu yang terpajang pada dinding ruang keluarga di rumahnya. Foto akad nikah bersama Mas Bimo, suaminya beberapa tahun silam.Kehidupan seorang janda beranak empat bukanlah hal yang gampang. Setahun sudah ia bergelut mengurus perusaan kecil yang ditinggal oleh suaminya. Kehidupan sebagai single parent yang ia jalani membuat ia benar-benar merasakan sangat kehilangan sosok imam dalam kehidupannya.
Wanita itu berusaha tegar. Ia tak ingin menampakkan kelemahannya pada dunia. Ia harus bisa menghadapi segala persoalan yang timbul dalam keluarganya bersama anak-anak yang beranjak dewasa. Ia menyadari kalau hidup menjanda sangat dilematis sekali. Terkadang ia ingin menangis disaat-saat perusahaan peninggalan suaminya menghadapi persoalan rumit.
"Mas Bimo, hidup ini rumit tanpa dirimu." Guman Wanita itu pelan sambil mengusap foto akad nikah mereka.
"Ma, ngapain dengan foto itu?" Suara lembut Biyanka menyapa Silvie. Sekalipun nada suara gadis itu pelan tapi Silvie sempat juga kaget. Ia menoleh dengan senyum datar ke arah Biyanka.
" Mama cuma kangen sama papa kamu, nak!" Jelas Silvie menjawad datar. Entah mengapa hatinya ingin curhat kepada sang anak tercinta."Ma ... Papa sudah tenang di alam sana!" Ujar Biyanka kalem.
Sembari tersenyum, Silvie mengangguk mendengar ucapan Biyanka.
"Mama bangga padamu nak! Kamu sangat dewasa menghadapi kenyataan."
"Nggak seperti itu, Ma, biasa aja. Balas Biyanka."Oh ... ya, Ma, teman Mama yang telpon sewaktu antar aku ke kampus tinggalnya di mana, Ma? Tanya Biyanka tiba-tiba. Degg .. jantung Silvie bergetar halus mendengar pertanyaan Biyanka. Wanita itu berusaha untuk tidak merasa grogi di depan sang anak.
"Oo ... Brian, maksud kamu?" Ia bersikap biasa-biasa saja.
"Iya, Ma. Sering ya, telpon ke Mama?" Kembali Biyanka melempar pertanyaan yang di balas oleh senyum dari sang Mama.
"Nggak juga, sih! Itung-itung baru tiga kali, memang ada apa nak? Tumben kamu bertanya." Silvie tersenyum tak mengharap jawaban.Tret ... Tret, ponsel di depan Silvie berdering. Nama
Brian tertulis pada layar . Silvie tak menggubris panggilan itu.
"Kok nggak di angkat, Ma? Siapa sih yang nelpon jam istirahat gini?" Biyanka kesal, percakapan dengan Mamanya terputus.
"Brian yang nelpon nak! Mama angkat nggak, ya?"
Silvie meminta persetujuan Biyanka. Gadis itu mengangkat kedua bahunya, tanda menyerahkan keputusan pada Mamanya."Halo, Wa'alaikumsalam," balas Silvie.
"Iya, Mas! Terserah Mas Brian aja.."
"Wa'alaikumsalam."
Usai ngomong, Silvie meletakkan ponsel sambil memandang datar ke Biyanka. Ia menunggu pertanyaan berikutnya, tapi Biyanka diam sambil berpura-pura sibuk dengan ponselnya."Nak! ... ragu Silvie menyapa. Om Brian ingin berkunjung ke rumah kita, boleh nggak?"
Biyanka asyik dengan permainan game pada ponselnya tapi gendang telinga dan memorinya masih tetap menyediakan ruang kuota untuk ucapan bibir sang ibu tercinta. Hanya saja ia pura-pura tak mendengar. Silvie merasa sedikit grogi dengan sikap cuek Bayanka tapi ia memposisikan diri sebagai pihak yang membutuhkan.
"Nak ...! Om Brian mau berkunjung ke sini, gimana pendapat kamu? Sekali lagi Silvie meminta pendapat anak gadisnya itu. Ia adalah seorang janda yang harus tetap menjaga imec orang luar sana tentang siapa dia yang menerima seorang pria, sehingga ia merasa harus meminta persetujuan anak tertuanya.
Mendengar ucapan Mamanya, Biyanka mengangkat wajah mengarah ke wanita di depannya. Gadis itu menutup permainan gamenya. Ia menghargai wanita yang telah menghadirkan dirinya ke muka bumi ini 18 tahun silam. Dengan senyum ramah penuh kasih ia memandang Silvie.
"Ma ... Sejak kapan ada aturan dalam rumah ini kalau seseorang ingin bertamu harus terlebih dahulu minta persetujuan dari aku?" Biyanka tersenyum menggoda. Silvie pura-pura tak tahu maksud senyum anaknya. Ia bersikap cuek seakan tak ada pengaruh apa-apa.
"Boleh-boleh aja, Ma, selagi nggak bermaksud ngerampok!" Canda Biyanka dengan tawa kecilnya.
Mendengar tawa gadis cantik itu, ketiga adiknya hadir di hadapan mereka."Ma, ... kakak! Ada apa ya, kok kak Biyan tertawa senang?" Resti nyelutuk tiba-tiba.
"Ini ni! dik, besok malam Minggu, Mama kita mau kedatangan tamu, orangnya cakep." Biyanka menjelaskan
Oo ... suara serentak dari Asti, Resti danJovanka memenuhi ruangan tengah rumah mereka sambil memandang ke arah Silvie memintah ketegasan.Silvie tak dapat mengelak lagi.
"Iya, nak! Betul apa yang kakak ngomong-in ke kalian.
Nggak pa-pa kan, teman Mama berkunjung ke rumah kita?"
Ada anggukan yang samar dari Jovanka, si bungsu. Pandangan Silvie menangkap itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KETIKA CINTA MEMILIH
Narrativa generaleSilvie namanya, 35 tahun, cantik dengan 4 orang anak perempuan yang cantik-cantik seperti ibunya. Anak yang pertama masih duduk di bangku kuliah semester tiga saat ayah mereka meninggal karena serangan jantung. Wanita itu merasa dunianya runtuh sek...