Gue nggak tega melihat Gladys terpuruk sendirian di hari berkabungnya Tante Hera.
Di dalam rumah semi permanen yang dindingnya telah terkelupas itu ternyata rumah baru Gladys. Gue beneran kaget, karena yang gue tahu dulu Gladys dan keluarganya tinggal di sebuah rumah minimalis berlantai dua dengan arsitektur modern bahkan ada seorang satpam yang menjaga rumahnya. Kehidupan memang seperti roda, dan sekarang gue benar-benar menyadari konsep pemberian Tuhan itu.
Gladys berlari setelah turun dari atas motor yang gue kendarai. Langit telah menggelap seiring dengan angin menerpa rambut para pelayat yang datang secara bergantian. Hujan kayaknya bakal turun sebentar lagi karena gemuruh kecil udah mulai terdengar. Gue mengekori langkah Gladys karena satu-satunya hal yang harus gue lakukan sekarang yaitu menenangkan Gladys—cewek bertubuh mungil, beraroma lemon dan segenap masalah tanpa henti di hidupnya.
Dari bisik-bisik omongan para tetangga yang mengunjungi, terdengar bahwa Tante Hera ternyata mengidap penyakit kanker payudara. Sejak setahun yang lalu dia dirawat di salah satu rumah sakit Australia. Rambutnya telah botak seluruhnya karena kanker telah membakar habis payudaranya sehingga beliau terlihat seperti seonggok tulang yang terbujur kaku di dalam peti.
Gue nggak berani lihat, karena gue sendiri tipe orang yang takut dengan kematian sejak Ning menyelamatkan gue di toilet dulu. Takut membuat sedih orang-orang yang gue tinggalkan. Bagi gue, kematian seperti kutukan yang harus setiap orang terima, datang secara misterius lalu melenyapkan tawa orang-orang sekitar dalam satu kedipan mata. Jadilah gue cuma memangku kedua tangan, menyender di salah satu dinding dengan masih memakai seragam sekolah, menyaksikan Gladys histeris yang berusaha dihentikan oleh keluarganya. Di saat melihat Gladys nggak menyurutkan teriakan barang sedetikpun, gue akhirnya mendekatinya.
Air mata mulai menggenangi pelupuk mata hingga gue yakin, satu kerjapan aja bisa langsung menetes ke pipi.
"Glad," bisik gue pelan sambil mengusap bahunya. "Lo harus tenang, ya? Nyokap lo pasti bakal sedih kalau lihat lo nangis terus."
"Tapi Mommy bukan orang yang lemah, Jay. Mommy saya nggak begitu orangnya!" Napasnya tersengal, isaknya semakin riak.
Gue mengusap kasar air mata pakai telunjuk dengan cepat. "Udah saatnya, Glad. Lo harus ikhlas, karena setiap orang punya jatah hidup masing-masing."
Seketika Gladys tumbang ke dada gue. Matanya terpejam. Seketika otak gue berkelindan cemas. Tapi untung, Om Hansel, ayah Gladys muncul dari belakang dengan tepukan pelan di bahu gue. "Jangan khawatir. Gladys hanya lelah saja, Jay. Apalagi dia sedang diet ketat, katanya untuk bikin tubuhnya proporsional. Sekarang lebih baik bawa dia ke kamar belakang. Dan terima kasih karena selalu ada buat anak saya, ya?"
Gue mengangguk. "Sama-sama, Om. Tapi, apa boleh saya membopongnya dan bawa dia ke kamar sendirian?"
"Silakan."
Gue segara menggendong Gladys menggunakan kedua tangan gue ke kamar yang ditunjuk Om Hansel. Ada di ujung rumah, dekat dengan dapur. Gue menghidu aroma nggak enak dan ternyata tumpukan piring kotor memenuhi wastafel. Lantainya juga seperti berhari-hari tidak dibersihkan. Gue segera masuk ke kamar lalu merebahkan Gladys ke tempat tidur. Dalam pingsannya sekarang, gue bisa melihat kerapuhan dari wajah Gladys. Cewek ini sungguh sangat kasihan. Nggak terpungkiri perasaan bersalah gue merayap, menciptakan sakit di dada gue.
Di atas meja belajar yang berdiri dekat jendela, tampak seonggok majalah model saat gue sedang mencari minyak angin di sana. Gue terpekur juga saat melihat banyaknya foto gue dan Gladys dulu, masih tertempel di karton merah muda meski di beberapa sudut lembarnya telah menguning karena dimakan waktu. Itu berarti, sebelum kami benar-benar bertemu, Gladys mungkin udah tau siapa sosok cowok bersamanya dari penjelasan orangtuanya atau mungkin sedang bertanya-tanya, apa hubungan kami sebelum dia didiagnosa amnesia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Sebelum Pagi
Teen Fiction🔞(YOUNGADULT - ROMANCE) Jatuh cinta padamu adalah harap yang selama ini kudamba; berada di dasar hati; diselimuti oleh imajinasi liar yang semakin membara. Kita tahu, seharusnya kita saling mencinta dalam diam saja, tapi ternyata kita tak semudah...