Satu

381 7 4
                                    

Aku tidak tahu apa-apa. Yang kuingat adalah pagi itu, Mom masih mengecup pipiku sebelum berangkat ke kantor. Lalu, ketika aku memutar kenop pintu dan melangkah, semuanya gelap.

Tidak. Aku tidak pingsan atau semacamnya, seperti di cerita-cerita novel pada umumnya. Entah mengapa, aku menemukan diriku di atas tempat tidur, lengkap dengan piyama bermotif kelinci kesayanganku. Oke, katakan aku kekanakan atau bagaimana, tapi aku masih menyukai motif kelinci sampai umur tujuh belas tahun.

Kembali ke cerita. Padahal, yang kuingat lagi pagi itu adalah bahwa aku sudah mengenakan seragamku lengkap, siap untuk melangkah ke sekolah. Ketika itulah lamunanku buyar tatkala sesuatu berdering sangat nyaring di dekat telingaku. Nyaris saja aku merasa gendang telingaku hampir pecah. Sungguh sangat berisik sekali.

Dengan gerakan cepat, kepalaku menoleh ke arah kanan dan mendapati jam weker yang berbunyi nyaring, nyaris jatuh dari meja kecil di samping tempat tidurku itu. Tanganku bergerak malas, meraih weker itu dan memasukkannya ke dalam laci. Dalam sekejap, hening meliputi kala weker tersebut berhenti.

Hening.

Seolah saja teringat sesuatu, aku buru-buru bangkit dari posisi tidurku yang nyaman dan kembali membuka laci, meraih wekerku dan menatapnya lekat-lekat dengan tatapan horror.

Pukul 06.45. Bagus. Sesuatu yang sangat sempurna untuk mengawali pagi yang sangat indah. Aku pasti akan telat, batinku pasrah. Pun demikian, aku mengerahkan kemampuan mandi secepat kilatku dan segera meraih seragamku dari balik lemari.

"Mom?" Aku berseru pelan, masih terfokus untuk merapikan dasiku dengan satu tangan, sementara tangan yang lain sibuk mengunci pintu kamarku. Sejenak kemudian, barulah aku mendapati Mom dengan raut kusut dan tergesa-gesa, seperti pakaian yang belum disetrika berhari-hari lamanya. Aku mengerutkan kening seraya setengah menyeret diriku mendekati Mom, yang tampak tengah memasukan berbundel pakaian ke dalam sebuah koper.

Namun, reaksi Mom ketika kupanggil adalah di luar dugaanku. Wanita paruh baya itu malah balik menatap diriku sebelum berdecak kesal. "Rebecca!" Ia menyerukan namaku, nampak sekali nada gusar dibalik satu patah kata tersebut. Mom kembali memasukkan pakaian ke dalam koper kecil tersebut seraya mengoceh, "Bukankah sudah kubilang tadi bahwa sekolah diliburkan?"

"Apa?!" Dengan nada (sok) terkejut, padahal aku bersorak senang (atau bahkan terlalu senang) di dalam hati. Entah ada gerangan apa yang terjadi pada otak Sir Thumpkins (beliau adalah kepala sekolahku yang sangat galak dan menyebalkan) sampai-sampai sekolah diliburkan hari ini. Ini adalah sebuah keuntungan besar bagiku, karena kuis fisika di jam pertamaku akan hilang tergantikan oleh libur.

"Memang kau tidak mendengarkanku tadi? Astaga, aku merasa seperti berbicara dengan tembok." Mom masih terus berkomentar, sementara jemariku sudah menyambar dan melahap roti panggang dalam diam. Tiba-tiba saja, Mom menatapku dengan wajah serius ini, yang tidak akan pernah bisa kudeskripsikan dengan detail. Intinya, Mom mencengkram bahuku erat dan berdesis,

"Kota diserang, Rebecca. Mereka bangkit lagi. Kita harus mengungsi, sekarang juga."

Sejenak, otakku yang agak lamban memproses apa yang dikatakan Mom beberapa detik yang lalu. Entah hal apa yang terjadi, namun tampaknya otakku bekerja cukup cepat lantaran tawaku mulai meledak mengisi ruangan sempit itu sesaat setelah Mom selesai berbicara. "Mom," Aku menyeka air mataku yang meleleh turun akibat terlalu banyak tertawa dan menatap Mom dengan senyuman yang tersungging di wajah, "Kurasa Mom terlalu banyak menonton film fantasi. Mom harus membatasinya."

"Aku serius, Rebecca. Sekolahmu--"

"Mom. Tidak ada yang diserang, oke? Kota aman-aman saja." Aku berujar cepat, melepaskan cengkraman jemari Mom yang (terlalu) kuat di bahuku seraya melenggang pergi. Aku melangkah menuju sofa, meraih tas kecil dan ponselku. "Karena hari ini libur, aku akan pergi shopping." Senyuman puas terpampang di wajahku. "Aku tidak akan kembali sebelum pukul enam. Bye."

Aku memutar kenop pintu rumahku dan melangkah keluar, persis seperti apa yang terjadi sekitar setengah jam yang lalu, ketika aku hendak keluar dan melangkah menuju sekolah. Namun, yang pasti terjadi bukanlah sesuatu seperti kegelapan yang meliputiku, melainkan sesuatu yang berada di luar ambang imajinasiku.

"Rebecca! Awas!"

SlimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang