part 10. Makan Siang Bersama

4 1 0
                                    

Sunyi sepi, suasana rumah Silvie. Empat dara buah hatinya lagi sekolah. Wanita itu mencari kesibukan dengan merapikan berkas-berkas pengiriman barang kepada konsumen. Ia sangat bersyukur perusahaan kecil peninggalan Bimo masih berjalan lancar di bawah pimpinan adik iparnya yang cukup pandai dalam pengelolaan manajement dan lainnya. Karyawan yang jumlahnya tidak banyak, semuanya masih loyal terhadap tugas dan tanggung jawab masing-masing.

Hari telah siang, Silvie melirik ke jam dinding yang ada di ruang itu. Pukul 12.00. Ia beranjak dari duduknya. Rasa lapar menganggunya. Ia menghentikan kesibukan dan melangkah ke ruang makan untuk mengabulkan keinginan perutnya. Tiba-tiba ponselnya berdering.
Tak digubrisnya karena ia berada jauh dari benda mungil itu.

Di sebrang sana Brian tak sabar untuk segera mendengar jawaban seseorang.
Belum terjawab. Sekali lagi ia mengulang tombol panggilan.

Silvie yang baru saja menyendok nasi ke piringnya merasa terusik. Wanita itu kembali melangkah ke ruang sumber bunyi ponselnya. Sepasang netranya membaca nama Brian pada layar ponsel itu. Ada desiran yang mengusik hati wanitanya. Seketika bayangan wajah Brian berkelebat di depan. Pertemuan malam minggu kemarin membuat dirinya kembali mengenang masa dua puluh tahun silam. Dalam balutan seragam sekolah. Untuk ketiga kalinya kembali deringan ponsel menembus gendang telinga miliknya.

"Iya, wa'alaikumsalam Mas!"
"Ini, Mas, lagi mau makan ni, udah sendok nasi ke piring."
"Nggak usah, Mas, lain kali aja, ntar anak-anak pulang sekolah, Mamanya nggak ada di rumah." Silvie menjelaskan alasan penolakannya.
"Iya, Mas. Sampai jumpa."

"Mmh ... Mas Brian mengajakku makan siang, katanya ada yang mau di omongin, kira-kira mau ngomong apa ya?" batin wanita itu penasaran.

Selera makan yang menggebu karena  lapar, hilang seketika. Ia menatap onggokkan nasi di piring, di depanya. 
Merasa kasian, wanita itu menambahkan lauk ke piringnya dan dengan perlahan ia menyendokkan ke mulutnya dengan  bayangan Brian yang mengganggunya.

"Mas Brian mau ngomong apa ya? Sekali lagi pertanyaan itu memenuhi benaknya.

Sementara di tempat kerja, Brian merasa sedikit kecewa akan penolakan Silvie untuk diajak makan siang bersama. Tapi  pria itu masih tetap optimis denga kata yang Silvie ucapkan: 'lain kali saja Mas.'
...

Siang yang terik tidak membuat mereka mengurungkan janji untuk makan siang bareng. Saat ini adalah saat yang dinantikan oleh Brian. Mengajak Silvie jalan bersama adalah momen yang paling sulit didapatkan oleh Brian. Sejak pertemuan malam minggu bersama Silvie dan keempat anaknya di rumah Silvie, baru kali ini Brian berhasil mengajak wanita itu keluar makan bersama, setelah beberapa kali mengajukan tawaran.

Izin keempat anak gadisnya adalah syarat utama bagi Silvie untuk jalan bareng dengan pria. Maklum,  ia seorang janda cantik. Wanita itu tak ingin menimbulkan bahan gosip untuk tetangga-tetangga mereka. Ia tak ingin keempat dara cantiknya menanggung malu karena Mamanya digosipkan.

Saat ingin keluar rumah tadi ketika Brian menjemputnya, Silvie mengajak Biyanka untuk ikut bersama karena kebetulan gadis itu janjian dengan teman untuk menyelesaikan tugas kuliah mereka.
Silvie menggunakan momen itu untuk jalan bareng bertiga, setidaknya untuk mengatup mulut tetangga kompleks yang sedikit kepo. Meskipun setelah Biyanka turun di rumah temannya, mereka hanya berdua, tapi setidaknya sudah lepas dari pandangan tetangga.

"Mau pesan apa, Sil?"
Brian menyodorkan daftar menu.
"Aku ikut aja apa yang Mas pesan!"
Sesaat Brian menulis menu pesanan kemudian menyerahkan pada pelayan resto.

Sebelum pesanan mereka tiba, Brian membuka percakapan awal dengan sedikit kaku.
"Sil ... ! senang nggak, kita bisa jumpa lagi setelah sekian lama tak ada kabar masing-masing."
Sejenak hening. Sedikit kaget, Silvie tak dapat menjawab.

"Mmh ... gimana ya, Mas!  nggak tahu Mas." Jawab Silvie dengan senyum manisnya, membuat Brian tak kecewa. Pria itu yakin kalau Silvie juga senang dengan perjumpaan mereka.

Pelayan resto tiba dengan nampan yang terisi penuh. Ikan bakar dan sambal pete dengan minuman  dingin jus lemon.
Silvie tak menyangka kalau pesanan menu Brian adalah menu favorit mereka saat masih duduk di bangku SMA. Seketika Silvie seakan kembali ke masa di mana mereka menghabiskan waktu  yang singkat untuk makan bersama dengan menu yang sama di hadapan mereka. Bedanya, seragam SMA tidak lagi membalut tubuh mereka.

Mereka sangat menikmati kebersamaan siang ini. Suasana hati membuat Brian makan sangat lahap. Sesekali Silvie curi pandang. Ada binar rindu yang terbaca dari pandangan mata indahnya. Brian menangkap binar itu saat pandangan mereka baradu.

"Ayo, Sil ...!  tambah dong! jangan cepat selesai." pintanya sedikit kalem, sehingga gendang telinga Silvie menangkap kemesraan ucapan itu.

"Akh ... sudah full, Mas!"
"Diet ni ye!" cetus Brian meledek.
Silvie tak membalas, hanya tersenyum.
"Oh, ya Mas! Kemarin katanya, Mas mau ngomong. Ngomong dong!"

Ditodong seperti itu, Brian merasa salah tingkah. Sejenak pria itu memandang wanita di depannya. Silvie membuang pandang, tak ingin bersitatap. Ia pura-pura meraih tissu yang ada di pinggiran meja.

"Apa kamu nggak marah kalau kutanya?"
"Tergantung pertanyaannya!"
"Mmh ...!" Brian bergumam menggantung omongannya.  Silvie merasa penasaran tapi wanita itu tak ingin menampakkan rasa itu. 

"Sil ... ! Apa kamu mau menikah denganku? Kalau dulu kesempatan itu tak berpihak pada kita, maka sekaranglah waktunya  kita untuk mewujudkan janji dan impian kita yang dulu tak bisa kita wujudkan."  Aku masih menyimpan rasa itu, Sil ...! Bagaimana dengan dirimu? Kamu masih menyimpan rasa itu juga kan?" Tanya Brian sendu, terbawa perasaan. Pria itu meraih dan menggenggam tangan Silvie.

Bagai terpaku, Silvie diam seribu bahasa. Wanita itu tak menyangka, sejauh itu Brian meminta untuk menikah dengannya. Sejenak hening, mereka bagai terhipnotis dalam ruang nostalgia yang lama tak tersentuh oleh bayangan dan angan mereka. Kini, dihadapan mereka, ruang itu terkuak dan menjerat mereka dalam bentangan waktu yang tak berujung.

"Sil ...!  Aku serius dengan ucapanku." Ujar Brian penuh harap. "Kamu bersedia kan, Sil?"
"Mas, jujur!  bertahun tahun aku menyimpan rasa itu. Mas Bimo dengan kesabaran cintanya menunggu aku berbagi rasa untuknya, dan berhasil. Tapi  aku menyesal, disaat aku belum sepenuhnya mencintainya, ia telah mendahului kami. Rasaku terbawa olehnya, Mas! Kini prioritas hidupku hanya untuk keempat buah hati kami, aku tak lagi memikirkan diriku. Kebahagiaanku adalah melihat mereka berhasil dalam cita-cita mereka."

"Sil, aku tak bermaksud merebut dirimu dari mereka. Aku hanya ingin berbagi denganmu, salahkah ?"
"Salah sih, tidak Mas!" Balas Silvie datar.
"Hanya aku belum siap untuk menikah lagi, rasanya baru kemarin Mas Bimo meninggalkan kami. Lagi pula istri Mas kan, baru 5 bulan yang lalu meninggal, secepat itukah Mas melupakannya?"

"Sampai kapanpun, aku tak bisa melupakannya, Sil!  Zhanas adalah ibu dari kedua anakku. Meratapi kepergiannya berlama-lama tak akan membangunkan dia dari tidur panjangnya. Aku butuh seseorang yang mencintaiku untuk bersama-sama membesarkan kedua anakku yang masih kecil-kecil Sil, aku yakin, kamulah orangnya. Doaku terjawab, Tuhan mempertemukan kita kembali dan aku yakin pula, kamu masih mencintaiku!"

Silvie tersentuh mendengar ungkapan hati Brian. Bagaimanapun, Brian adalah cinta pertamanya. Dulu mereka berpisah bukan karena Brian yang berkhianat tapi karena dirinya tak dapat melawan takdir  dalam perjodohan dengan Bimo oleh kedua orang tuanya.

"Mas ...! Aku butuh waktu, anak-anakku penentunya!" ujar Silvie kalem.
"Iya, aku paham itu, aku harap kamu dapat memberikan pengertian kepada mereka." Balas Brian penuh harap.
Silvie mengangguk dengan senyum yang menghiasi bibirnya.










KETIKA CINTA MEMILIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang