Lampu diruang gelap itu menyala tepat diatas wajahnya. Sebuah kamera mikro tampak mendekat dengan dua orang di sisi lain kursi yang ia duduki. Tak ada yang berbicara dan tak ada yang bergerak. Ini tiga kalinya dirinya dan orangtuanya menemui pria paruh baya ini.
"Kita hanya bisa berharap pada keajaiban nyonya. Yang bisa anda lakukan adalah selalu mendukung dan memberinya support." Pria paruh baya di hadapannya berucap sembari melepas kacamatanya. Memandang sepasang orang tua-anak dihadapannya dengan tatapan menyemangati namun tersirat rasa prihatin di dalamnya.
"Terimakasih, meskipun saya berharap banyak akan adanya pendonor yang cocok. Kalau begitu kami pamit." Si orang tua membungkuk hormat. Sang anak hanya diam tak bergeming dan memutar tubuhnya mencari jalan keluar.
"Aku ke toilet sebentar, pergilah mengurus administrasi, eomma." Ucapnya tanpa melihat sang ibu. Tangannya sibuk meraba dinding di sisinya sedang tangan yang lain sibuk mengayun tongkatnya mencari jalan.
Sang ibu hanya diam mengikuti anaknya dari jarak yang tak cukup jauh namun cukup dekat untuk menghampiri anaknya bila terjadi suatu hal.
"Kubilang pergilah eomma, tak perlu menjagaku, aku bisa mengurus diriku sendiri!" Dirinya terus mengoceh mengusir sang ibu setelah beberapa menit dirinya berjalan, merasakan kehadiran sang ibu dibelakangnya.
"Maaf nona, aku bukan ibumu. Tolong jalan lebih cepat dan jangan mengomel." Ucap orang dibelakangnya. Ia sedikit tersentak kaget karena suara yang cukup asing baginya.
"Jika ingin cepat maka jalan saja lewati aku!" Dirinya bersungut kesal dan malu. Ayunan tongkat dan uluran tangannya semakin tak beraturan dan cepat. Ia akan membuktikan bahwa dirinya tak menyusahkan.
Perjalanan menuju toilet dirasanya cukup lancar, bahkan ia tak menabrak barang sedikitpun. Lima belas menit dihabiskannya di dalam toilet hanya untuk memandang cermin.
Merasa semua sia-sia, ia memutuskan pergi ke arah rooftop bangunan yang disinggahinya saat ini,
"Tolong lewati saja aku jika anda buru-buru. Aku bahkan sudah mengambil jalan terpinggir agar tak menghalangi kalian." Kembali dirasanya ada yang mengikuti dibelakang saat ia keluar dari toilet.
"Tolong lewati saja aku."
"Kau ingin kemana nona?" Suara itu dirasanya sedikit familiar, seperti pernah mendengarnya entah dimana, "Kau lupa padaku? Hei, bahkan kita baru saja bertemu, jahat sekali."
"Maaf tapi kita bukan teman, jadi untuk apa aku mengingatmu?" Gadis itu kembali cuek dan berjalan lebih cepat. Si pemilik suara hanya terkekeh melihat tingkah gadis didepannya.
"Kau ingin ke rooftop ya? Iya kan aku benar kan?? Hei disana bukan arah ke rooftop!" Sontak langkah gadis itu terhenti, tubuhnya di putar dan melangkah cepat sedikit kesal.
Setelah berkelana mengitari gedung besar itu, ia menemukan pagar pembatas. Diraihnya pagar besi itu dengan satu tangan. Wajahnya menatap lurus dengan pandangan kosong. Tangannya yang lain masih menggenggam erat tongkatnya. Tak lama tongkat itu ia lempar asal menghasilkan bunyi gemeletak beberapa kali.
"Eomma, mianhae.. tapi aku tak ingin hidup seperti ini." Dirinya mulai menaiki pagar pembatas, beralih ke sisi luar dengan tubuh menghadap pagar. Mata bulatnya terpejam merasakan hembusan angin menerpa rambutnya, ia jadi sedikit ragu. Tapi ia sudah bertekat tadi. Oksigen sekali lagi ditarik hingga memenuhi rongga paru-parunya kemudian ia hembuskan, "Eomma, Jeongmal mianhae." Pegangan eratnya dilepaskan begitu saja, siap menemui apapun yang akan terjadi padanya. Ia siap mati.
Sekian menit ia tak merasa bertemu dasar bangunan. Mengapa ia masih melayang?
"Drama yang bagus nona, tapi jika ingin bunuh diri cari tempat yang lebih tinggi."