1. Lomba

37 2 0
                                    

Deringan bel istirahat berbunyi. Semua murid bernapas lega. Pelajaran matematika sungguh merepotkan. Semua senang karena waktu istirahat tiba namun mereka terlihat lesu. Hampir semua murid di kelas itu meletakkan kepalanya di atas meja. Bahkan setelah guru matematika keluar kelas, mereka tetap tidak ada yang keluar untuk membeli makanan.

Ulangan matematika habis diadakan tadi, mendadak. Mereka hanya sempat belajar 30 menit dan 1 jam untuk mengerjakan. Itu gila. Semua sudah pasrah akan nilai masing-masing. Tidak peduli, toh kalau remidial, satu kelas pasti remidial karena jawaban mereka semua sama jadi tak masalah. Selagi bersama-sama itu bukan hal yang harus dikhawatirkan.

Setelah menata buku-bukunya, Arta berdiri, menghampiri meja Andera. Lelaki itu terkekeh pelan melihat Andera yang sudah seperti orang sekarat. Tangannya terangkat, mengusap rambut hitam panjang Andera. "Ulangannya udah selesai Dera, ayo makan, kamu udah mirip anjingku waktu ngga dikasih makan."

Kening Andera menyatu dengan meja. Beberapa detik kemudian, Andera mengalihkan kepalanya menghadap Arta. Wajah Andera tertutup oleh rambut sehingga tidak ada celah bagi Arta untuk melihat bagaimana keadaan wajah Andera saat ini. Dia ingin melihatnya, melihat ekspresi Andera yang manis.

Jari telunjuk Arta menyingkirkan seluruh rambut yang tadinya menutupi wajah Andera, menyelipkannya ke telinga gadis itu. Seperti yang Arta duga, Andera terlihat sangat manis. Pipinya yang terlihat kenyal karena tertekan ke meja membuat Arta gemas. Tangan Arta menangkup pipi kanan Andera, mengusap pipinya lembut dengan ibu jari.

"Dera, kamu gapapa?" ucap Arta dengan suara lembut khasnya.

Andera mendengus kasar dengan mata masih terpejam. "Apa-apaan pak kepala botak setengah itu, memangnya dia presiden bisa memutuskan hal seenaknya!" Andera menggertakkan giginya kesal, "Kalau bukan guru udah aku botakin semua kepalanya, mana ada manusia yang potongannya cuma botak tengah, ngga keren. Pak tua sialan."

Arta tertawa. Hal yang paling Arta suka dari Andera adalah saat dia menggerutu seperti ini.

Andera menatap Arta yang menertawainya. Gadis itu semakin kesal, dengan cepat dia mencubit perut Arta, membuat lelaki itu meringis kesakitan disela tawanya. "Kenapa kamu ketawa? Kamu sama aja seperti pak tua itu, menyebalkan!"

Arta memberhentikan tawanya. "Maaf, maaf. Habisnya kamu lucu."

Mata Andera sedikit terbuka. Pipi gadis itu merona. Apa yang salah dengan lelaki itu, selalu saja menggoda gadis seenaknya. Andera lalu berdiri. Menabrak bahu Arta dengan cukup keras. Gadis itu berjalan cepat menuju keluar kelas.

"Dera! Mau kemana?"

"Cari makan!" ucap Andera dengan nada kasar.

"Tunggu aku! aku yang ngajak, aku juga yang ditinggal!" Arta berjalan cepat menyusul Andera yang tak jauh darinya. Bukannya tadi Andera sedang lesu, kenapa sekarang menjadi sangat bersemangat? Gadis aneh.

***

Kaki Andera terhenti di depan kantin. Banyak sekali murid yang berada di sini, tidak seperti biasanya. Jalanan menuju kantin terasa penuh. Matanya melihat murid kelas 12 ada di sini. Andera terkejut. Bukannya setiap angkatan ada kantinnya masing masing? Lalu kenapa ada murid kelas 12?

Matanya menatap sekitar, alisnya semakin mengerut tajam.

Kelas 10 juga ada disini?! Apa yang sebenarnya terjadi?

"Andera!" suara keras yang berasal dari Arta terdengar bersamaan dengan tangannya yang menepuk bahu Andera. Tubuhnya bertumpu pada lutut, napasnya tidak beraturan. Merasa kewalahan menyusul Andera.

the Season of RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang