Dua

200 4 5
                                    

Seumur hidupku, aku belum pernah menyentuh sesuatu yang bernama pistol, pedang, dan kawan-kawan sebangsanya. Aku adalah tipikal orang pecinta damai. Singkat kata, aku anti kekerasan dan semua hal berbau thriller maupun horror.

Namun, siapa yang menyangka bahwa sekarang aku malah harus berhadapan dengan semua itu?

Tepat sedetik sesudah aku membuka pintu, seruan nyaring Mom seolah membuat pendengaranku tuli barang sejenak tatkala sesuatu mencengkramku erat dari belakang. Sesuatu yang kukenali sebagai lengan Mom.

Mataku terbelalak lebar kala mendapati sosok berlendir dan berwarna hijau di ambang pintu rumah. Mom buru-buru membanting pintu dengan nafas memburu. "Tidak ada waktu untuk menarik nafas," Ia berdesis lagi, meraih sebuah pistol yang tergeletak samar di atas meja dengan gerakan cepat. Lalu, Mom memejamkan matanya, menghirup nafas dalam-dalam (aku tahu itu, dadanya bergerak teratur kala ia menarik nafas) dan menghembuskannya--cara khas Mom untuk meredakan rasa gugup dan takut.

"Lakukan atau mati."

Mom memutar tubuhnya dan memegang kenop pintu sebelum memutarnya cepat. Langsung saja teriakan keras dan bising khas monster mengisi rongga telingaku, membuatku tak berdaya dan hanya tersungkur menutupi kedua telingaku, sementara Mom bergerak maju dengan berani.

"Mom! Mom nekat?!" seruku panik. Maju mendekati monster sama saja dengan mati. Irisku menelusuri tubuh monster itu. Tembus pandang, seperti jelly berwarna hijau yang lengket dan berlendir.

"Daripada mati," jawab Mom singkat. Tatapan matanya tajam, sementara suara bising monster itu terus meraung-raung. Mom memutar pistolnya dengan gerakan cepat sebelum akhirnya menembaki monster tersebut secara brutal--aku tidak tahu apakah itu benar-benar keahlian sesungguhnya atau karena ia hanya menembak membabi buta.

Sementara aku hanya bisa berlindung di balik pintu kayu rumah kami yang rapuh, yang siap roboh kapanpun dan menimpa diriku, tak berani maju. Ya, aku memang pengecut, kuakui itu. Tapi, ayolah--memangnya siapa yang tidak takut jika melihat sesuatu seperti monster berlendir, tepat di pagi hari setelah mereka bangun?

"--Itu Slime."

Aku terkesiap. Cepat-cepat kutolehkan kepalaku menuju sumber suara di sebelah kiri. Sebuah--atau seorang? Sesuatu tampak seperti... Peri? Apakah itu pixie?

...Dunia ini sudah gila rupanya.

Rasa takut dan lemas sudah menjalari tubuhku. Dengan segenap kekuatan tersisa, langsung saja jemariku menyambar tubuh mungil sang peri, mengakibatkan suara yang begitu nyaring di seluruh penjuru ruangan.

"Jangan tarik tubuhku!"

"Aduh--!"

Sontak saja pixie itu lepas dari genggamanku setelah ia menggigit kecil kulitku. Dengan wajah geram, ia melotot dan berkacak pinggang.

"Heh, kau! Anak bodoh!" tukasnya memaki-maki diriku, yang langsung saja meningkatkan temperamentalku. Oh, ayolah--aku tidak mempunyai waktu untuk bertengkar dengan makhluk sebodoh ini. Mom perlu diselamatkan sesegera mungkin!

"Tidak ada waktu berurusan denganmu, kerdil." Begitu memang kataku, tapi aku bisa apa tanpa alat tembak dan pedang?

Sementara pixie itu mendecih. "'Tidak ada waktu berurusan denganmu, kerdil,' kata seseorang yang sendirinya tidak bisa melakukan apa-apa tanpa dibantu," celetuknya.

"Berisik. Akan kujadikan kau tumbal untuk menyelamatkan Mom jika kau tidak bisa diam."

Pixie mungil itu melipat tangan kecilnya di depan dada dengan raut wajah sombong. Senyuman puas dan penuh kemenangan terpampang di wajahnya. "Aku akan membantumu, sekaligus berperan sebagai pelindungmu. Namaku Schatz."

SlimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang