BAGIAN 1

226 11 0
                                    

Pasar di kota Jatibarang selalu ramai sepanjang hari. Antara pedagang dan pembeli membaur menjadi satu. Sehingga suasana tampak sibuk. Di tengah-tengah kesibukan berjual beli itu....
"Tangkap! Jangan biarkan pencopet itu meloloskan diri!"
Terdengar teriakan-teriakan memerintah dari mulut seorang laki-laki berbadan tegap berbaju hitam. Seketika suasana pasar yang sudah ramai, makin hiruk-pikuk saja. Sambil berteriak-teriak, laki-laki itu mengejar seorang pemuda berpakaian penuh tambalan yang berlari kencang, sekitar sepuluh batang tombak di depan.
Lari pemuda tegap yang sesungguhnya tampan ini cepat bukan main. Namun baru beberapa puluh tombak pemuda itu menghentikan larinya, ketika seorang laki-laki menghadang di depannya dengan sebuah bentakan menggelegar. Laki-laki berkumis tebal yang menghadang juga berpakaian serba hitam. Dan dia langsung membabatkan golok besarnya penuh kegeraman ke arah pemuda berbaju tambal-tambalan.
"Uts...!" Namun dengan gesit pemuda berpakaian tambalan menghindari tebasan golok dengan memiringkan tubuh ke kiri, sehingga serangan itu hanya menyambar angin kosong. Dan seketika tubuhnya melesat sekencang-kencangnya.
Tetapi para pengejar semakin bertambah banyak. Selain kedua laki-laki berbaju hitam, para pedagang dan pembeli di pasar bahu-membahu ikut membantu.
"Bunuh! Bunuh...!"
Kembali terdengar teriakan-teriakan membahana. Sehingga di sekitar pasar berubah hiruk-pikuk. Pemuda berpakaian putih penuh tambal-tambalan ini tentu tidak sudi dirinya tertangkap, lalu dicincang menjadi serpihan daging. Maka dengan cepat, dia terus berlari mencari jalan selamat.
Para pengejar semakin dekat saja. Bahkan kedua laki-laki berbaju hitam dan bersenjata golok telah hampir mendekat. Tanpa perasaan salah seorang langsung menebaskan golok.
Bret!
"Aaagkh...!" Pemuda berpakaian penuh tambalan itu langsung menjerit keras. Sambaran golok yang cukup keras membuat larinya jadi terhuyung-huyung. Masih untung tubuhnya tidak terjungkal, walaupun bahunya telah mengucurkan darah.
"Kau tidak mungkin dapat meloloskan diri dari tangan kami!" dengus kedua laki-laki berpakaian hitam. Kembali golok di tangan salah seorang meluncur deras ke bagian leher.
Tampaknya kali ini pemuda berpakaian tambal-tambalan itu tidak mungkin dapat meloloskan diri. Walaupun tetap berlari, tetapi jaraknya sudah terlalu dekat. Namun pada saat-saat yang sangat mengkhawatirkannya, tiba-tiba berkelebat satu bayangan merah ke arah pemuda itu. Dengan cepat tangannya menyambar. Di lain waktu, pemuda berbaju tambal-tambalan itu telah lenyap dari pandangan para pengejarnya.
"Heh?!" Kedua laki-laki berpakaian hitam ini terkejut bukan main. Wajah mereka berubah gusar. Berarti, untuk yang kesekian kalinya buruannya berhasil meloloskan diri. Padahal tadi mereka sudah hampir berhasil meringkusnya.
"Sial betul! Semestinya sudah kucincang dia sejak tadi!" dengus laki-laki yang memiliki kumis melintang.
"Sudahlah, Pancaka. Sebaiknya kita kembali ke pasar. Keamanan di sana menjadi tanggung jawab kita," ujar laki-laki satunya mencoba bersikap lebih sabar.
"Benar, Garda. Tapi pencopet tengik itu benar-benar membuatku tidak bisa tidur dan tidak dapat makan sepanjang hari!" gerutu laki-laki berkumis melintang yang dipanggil Pancaka, bersungut-sungut.
"Mungkin nasibnya kali ini lagi mujur. Lain kali kalau tertangkap, kita habisi dia," sahut laki-laki yang dipanggil Garda.
"Tetapi siapa bayangan merah tadi?" tanya Pancaka.
"Aku tidak tahu, Pancaka. Nanti saja kita selidiki. Mari kita ke sana!" ajak Garda sambil menarik tangan kanannya.
Para pedagang dan pembeli yang ikut melakukan pengejaran, sekarang sudah membubarkan diri. Dan dengan hati kesal, Pancaka terpaksa mengikuti Garda menuju ke tengah keramaian pasar. Para pedagang lainnya yang melihat penjaga keamanan ini kembali tanpa hasil, tampak mencibirkan mulut.

***

Sosok bayangan merah segera menghentikan lesatan tubuhnya ketika tidak ada lagi orang yang mengejarnya. Kemudian diturunkannya pemuda yang dipanggulnya sejak dari pasar tadi.
"Uhhh...!" Pemuda berpakaian tambal-tambalan itu merintih kesakitan.
Untung sambil berlari tadi, sosok bayangan merah yang ternyata seorang laki-laki tua berpakaian merah ini sempat menotok jalan darahnya. Sehingga pendarahan di tubuh pemuda itu tidak sempat terjadi.
"Aduh.... Apakah aku sekarang masih hidup? Atau sudah sampai di surga?" rintih pemuda berpakaian tambal-tambalan sambil meringis kesakitan. Dia bangkit dari berbaringnya, dan duduk berselonjor.
"Hmm...,"gumam laki-laki tua berjenggot putih itu tidak jelas. "Lukamu tidak begitu parah. Mengapa kau merintih-rintih seperti orang mau mati?" tanya laki-laki tua berpakaian serba merah.
"Oh...! Jadi aku belum mati? Siapa pun kau, aku telah berhutang nyawa padamu. Terima kasih banyak...!" ucap pemuda itu, seraya membungkukkan badannya dalam-dalam.
Ternyata pemuda tampan ini cukup lucu. Sehingga laki-laki tua berbaju merah dapat menarik kesimpulan kalau pemuda tukang copet ini sesungguhnya seorang pemuda berwatak baik.
"Siapa namamu?" tanya laki-laki tua berbaju merah.
"Aradya. Kau sendiri siapa?" jawab pemuda berpakaian tambalan seraya bertanya.
"Hahaha...! Sebenarnya aku tidak ingin mengatakannya padamu. Apalagi mengingat kau adalah pencopet," sahut laki-laki tua baju merah, seenaknya. Segera dibalut luka di bahu Aradya dengan sobekan kain baju pemuda itu sendiri.
"Karena aku seorang pencopet? Begitu berartikah namamu?" tanya Aradya, mencibir.
"Namaku tidak berarti bagimu. Tapi mungkin, cukup punya arti bagi orang yang mengutusku. Ah...,sudahlah! Aku sebenarnya heran. Anggota badanmu lengkap. Tetapi mengapa kau mencopet? Apakah kau tidak merasa dirimu begitu hina?" sindir laki-laki tua berbaju merah.
"Sebutkan dulu namamu, baru kujawab pertanyaan itu!" sergah Aradya.
"Heh?! Rupanya kau tetap ngotot juga? Baiklah.... Aku bisa dipanggil Ki Rimbang, dari Padepokan Welut Perak," jelas laki-laki tua berbaju merah yang mengaku bernama Ki Rimbang.
"Padepokan Welut Perak? Aku pernah mendengar padepokan itu. Kalau tidak salah, Padepokan Welut Perak terkenal dengan murid-muridnya yang hampir semuanya wanita cantik," tebak Aradya.
"Kau tahu. Tetapi kukira itu tidak penting. Sekarang kau coba katakan, mengapa kedua laki-laki di pasar tadi mengejarmu?"
"Mereka adalah orang-orangnya Pendeta Rabangsa. Pasar itu berada dalam pengawasan Pendeta Rabangsa. Siapa pun tidak boleh membuat keributan di sana. Sebab upeti-upeti yang terkumpul di pasar disumbangkan untuk pengembangan agama. Pengikut pendeta itu cukup banyak. Menurut yang kudengar, pendeta itu melindungi kaum lemah dan suka menolong siapa saja. Hanya terkadang, pengikut-pengikut kepercayaannya mendapat gangguan dari satu kelompok yang paling berkuasa di daerah Jatibarang."
"Lalu kau sendiri, kalau sudah tahu dua orang tadi adalah anggota keamanan di situ, mengapa mencopet?" tanya Ki Rimbang, merasa tertarik.
Aradya tersenyum. Betapa senyumannya sulit diartikan. Matanya menerawang jauh ke depan, seakan mencoba menepis bayang-bayang masa lalu keluarganya yang kelam.
"Hidup ini terus berlalu, Ki. Banyak hal yang kuperjuangkan di sini. Aku harus menghidupi lebih dari lima puluh kepala. Sedangkan mereka sudah tidak punya daya apa-apa. Tidak ada pekerjaan yang mudah dan cepat menghasilkan uang, terkecuali mencopet."
"Aku tidak mengerti ucapanmu?" tukas Ki Rimbang.
"Maksudku...,aku ini pimpinan pencopet. Hasil pekerjaanku dan beberapa orang kawan, bukan untuk kepentinganku. Melainkan kepentingan orang lain yang membutuhkan pertolongan. Mereka adalah orang-orang cacat dan terlunta-lunta. Juga anak-anak kecil yang orang tuanya yang tidak bertanggung jawab, dan kupungut di pinggir jalan. Mereka perlu makan dan pakaian. Itu alasanku, mengapa aku melakukan pekerjaan hina," jelas Aradya dengan wajah tertunduk.
"Lalu, ke mana perginya orang tua bayi-bayi yang kau pungut itu? Mengapa mereka tidak bertanggung jawab atas anaknya sendiri?" kejar Ki Rimbang, penuh rasa heran.
"Orang tuanya aku tidak tahu. Anak-anak itu adalah hasil hubungan gelap atau menjual diri, karena terdesak kebutuhan sesuatu yang sangat memabukkan," sahut Aradya.
"Kalau kau mau tinggal di Jatibarang ini untuk beberapa waktu lamanya, maka akan terlihat bagaimana kehidupan yang mengerikan itu."
"Eeeh.... Menurutmu tadi, Pendeta Rabangsa adalah orang yang bijaksana dan suka menolong siapa saja. Mengapa kau tidak minta bantuannya untuk membesarkan anak-anak yang tidak berdosa itu?" tukas Ki Rimbang.
"Percuma, Ki," sahut Aradya. "Kehidupan ini, menurutku hanyalah untuk kalangan orang-orang kaya dan terhormat. Sedangkan orang sengsara dan tidak jelas asal usulnya, tidak usah ditolong. Paling tidak, begitulah menurut penglihatanku. Terhadap pendeta itu. Ah...! Sudahlah, Ki. Lebih baik kau ikut bersamaku. Di Pondok Kaum Nestapa nanti, kita bisa bertukar pikiran. Aku ingin menjamumu kecil-kecilan sebagai rasa terima kasihku, karena kau telah menolongku."
"Baiklah. Mari kita pergi!" ajak Ki Rimbang.
Aradya segera membawa Ki Rimbang menelusuri jalan pintas. Sementara saat itu matahari telah berada tepat di atas kepala.

193. Pendekar Rajawali Sakti : Dewa SesatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang