Ga.
Aku ga lupa tentang Gema. Bagaimana bisa?
Tak ada hari di mana aku tak memikirkannya. Setelah empat tahun, aku baru berani mencarinya. Namun rupanya dia sulit ditemukan, Facebooknya sudah tak ada (aku sadar siapa yang masih pakai Facebook sekarang?), sampai suatu hari Dio mengirimi pesan bahwa dia menemukan Instagram Gema. Aku sendiri baru saja membuat akun, jadi aku pikir tak ada salahnya kalau aku mem-follownya dan menanyakan kabar.
Tak difollow back dan tak ada jawaban.
Bahkan sudah berhari-hari, jangankan jawaban dibaca saja tidak. Padahal dia update story di instagramnya. Aku tak bisa salahkan dia, kalau aku jadi dia aku akan membenci diriku dan mengabaikanku sepenuhnya setelah hari itu.
Hari di mana aku meninggalkannya. Dalam tidur.
Aku sengaja bangun sangat pagi saat itu, hanya agar aku punya cukup banyak waktu untuk menatapi wajahnya. Karena kalau dia bangun, aku tak akan bisa melakukan itu. Gema membenamkan sebelah wajahnya diatas bantal dan bibir merah mudanya terbuka mengeluarkan suara dengkur pelan. Ada garis-garis halus melintang sepanjang pipinya, ia pasti tidur sangat lelap. Aku usap pipinya, bergerak ke bibirnya dan kedua mataku mulai merah dan berair. Dia memegang tangnku dengan lemas, mengecupnya dan berbalik lalu kembali tertidur. Aku menahan agar air mataku tak keluar dan agar tak sedikitpun suara aku keluarkan.
Aku bangkit dengan perlahan, satu tangan memakai celana dan tangan lain menutupi mulut karena ternyata air mataku mengkhianatiku. Mereka mengucur deras. Setelah aku berpakaian lengkap, aku kecup keningnya dan buru-buru keluar rumah.
Aku memesan layanan taksi lewat palikasi, dan akhirnya aku terpungkur dipinggir jalan, terduduk di atas trotoar mengatur nafasku secara perlahan agar aku berhenti menangis. Ketika taksi itu datang, aku menaikinya tanpa pikir panjang, tapi ketika pintu taksi itu kututup tak hanya air mataku yang mengkhianatiku, dadaku dan pita suaraku juga. Dadaku sakit dan aku mulai menangis sejadi-jadinya. Supir itu sesekali melirik dengan wajah khawatir, tapi aku tak bisa menahannya lagi. Dia menyerahkan box tissue ke arahku, dan tanpa mengucapkan terima kasih aku terus menangis, sampai dadaku sesak.
Telepon genggamku berdering. Melihat namanya aku mencoba menahan tangisku.
"Kenapa yang?"
"Kamu kemana? Aku nyariin kamu!"
"Dih! Sekarang pake aku-kamu nih?"
"Serah! Lu di mana?"
"Kosan sayang, harus beres-beres. Ga mau bangunin kamu tadi."
"Oh yaudah, ntar gue kesitu!"
"Ga usah, seriusan nanti aku hubungin kamu lagi. Gimana?"
"Iya... Iya..."
"Mandi gih, sarapan! Love you sayang!" Aku langsung menutupnya karena aku tak bisa lagi berbohong padanya. Kosanku sudah aku bereskan jauh-jauh hari sebelum aku menemuinya di kantor kemarin.
"Sudah sampai mas, Bandara Husein ya mas!" Kata si supir. "Mas yakin mas ga apa-apa?"
"Engga, makasih ya mas atas semuanya. Ini semuanya buat mas aja!" Aku menutup pintu mobil itu tanpa menghiraukan si supir yang meneriakan kata terima kasih. Sesampainya di bandara aku check in dan menunggu. Aku buka kartu sim hapeku, membelahnya menjadi dua dan membuangnya ke tempat sampah.
Aku kembali menangis di pesawat, membuat para pramugari dan orang disebelahku khawatir. Terakhir kali aku menangis seperti ini adalah berbulan-bulan lalu setelah ayahku meninggal, tapi mengingatnya dan mengingat kenapa aku harus meninggalkan Gema membuat tangisanku menjadi.
Ketika aku sampai, Ka Dona sudah menungguku. Dia berlari kecil membawa sebuah jaket yang dia berikan padaku.
"Hapus air mata kamu, jangan bikin khawatir. Udah beres urusanmu sama dia?"
Aku mengangguk, berbohong.
"Kenapa mata kamu bengkak gitu?" Tanya ibu.
"Ga, ga apa-apa bu." Dia memelukku, dan mengusap-usap punggungku. "Ibu tau, ibu tau. Maafin ibu, maafin ibu yang terlalu egois." Ibuku melepaskan pelukannya. Aku hanya menunduk. "Sil, Sila! Sini dong! Kalian ini udah mau jadi suami istri tapi ko masih malu-malu sih!"
Wanita itu menghampiriku. Aku tak sanggup memandang wajahnya.
Aku saja masih tak percaya aku akan menikahi wanita yang ayahku "simpan" untukku. Sila memelukku. Dan dibelakang punggungnya, aku kenakan cincin pertunangan yang sengaja aku simpan di saku celanaku selama ini, selama aku menemui Gema dan membisikan kata-kata cinta di telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kintsukuroi
RomanceEmpat tahun lalu, Gema Bimana ditinggalkan oleh cinta pertamanya. Suatu hari dia mendapatkan sebuah pesan dari orang itu. Tanpa sapaan, tanpa menanyakan kabar, tanpa basa-basi, orang itu datang kembali seperti hujan yang tak sama sekali diramalkan...