Tidak terasa matahari sudah menyambut pagi yang indah ini. Jam menunjukkan angka delapan, tetapi si Nona Muda enggan untuk beranjak dari kasur. Keempukan ini sungguh membuat gadis berusia dua puluh tiga tahun itu tenggelam sedalam-dalamnya. Rasanya Carissa bisa tiduran disini sampai esok hari.
Ketenangan itu tidak berlangsung lama ketika Bi Asih mengetuk pintu kamar. Carissa diingatkan untuk mandi dan sarapan. Namun, ia hanya mengiyakan dan kembali terlelap.
Lima belas menit kemudian, Bi Asih kembali datang dan memanggil Carissa. Akhirnya ia menyerah dan beranjak ke kamar mandi. Carissa sebenarnya ingin mencoba bathtub yang tampak comfy, tapi cacing di perutnya sudah bernyanyi. Ya sudah, nanti sore saja ia bersantai di bathtub.
Tidak butuh waktu yang lama, Carissa sudah siap dan turun menuju ruang makan. Ia melihat ada Bi Asih dan dua ART lainnya yang tidak diketahui namanya.
"Pagi, Bi, Mbak," sapanya sambil duduk manis.
"Pagi, Non," sahut Bi Asih, sedangkan dua ART lainnya menatap bingung satu sama lain. Tumben Carissa mau menyapa mereka.
"Sarapan apa nih, Bi? Ada ayam, gak?" Mata Carissa berbinar-binar. Makanan favoritnya adalah ayam. Terserah ayamnya mau dimasak bagaimana, yang penting ayam.
"Maaf Non, tapi biasanya sarapan Nona roti dan susu,"
Sontak Carissa menganga, orang Indonesia macam apa yang cuma sarapan roti dan susu? Orang Indonesia itu harusnya makan dan mencintai nasi! Gila, ya, gimana caranya hidup tanpa nasi?! Ucap gadis itu. Mentalnya terguncang mendengar fakta bahwa ada manusia yang tidak mengangungkan nasi.
"Bi, saya kan, baru sadar dari koma. Makan saya harus penuh gizi dan bernutrisi, lagian orang bodoh dan sok elit macam apa yang sarapan kayak gi—" Carissa menutup mulutnya, ia keceplosan mencela tubuh ini.
Bi Asih dan dua ART lainnya hanya menatap Carissa bingung. Padahal dulu mau ia sakit parah atau ringan, gempa, tsunami, bahkan khiamat, gadis itu tidak pernah mau menyentuh nasi. Carissa selalu marah pada ART jika ia melihat ada nasi di hadapannya. Tidak jarang ia merepet dan mengatakan nasi terlalu berlemak bagi tubuhnya.
Merasa suasana nenjadi awkward, Carissa berdeham, "Intinya, pagi ini saya mau sarapan nasi."
"Kalau begitu, Nona mau mencoba nasi uduk? Di dekat sini ada yang jualan, rasanya enak, Non,"
"Ohh, nasi uduk! Boleh, boleh!" Apa aja jadi, yang penting perut terisi. Salah satu ART yang tidak Carissa ketahui namanya diutus Bi Asih untuk membeli nasi uduk.
"Mbak, nama Mbak siapa?" tanya Carissa pada ART di samping Bi Asih.
Gadis itu jelas menangkap ekspresi terkejut di wajah ART tersebut, namun tak lama kemudian terdengar jawaban, "Nama Mbak Rita, Non."
"Kalau yang beli nasi uduk namanya Mbak Inem," papar Bi Asih seakan bisa memprediksi pertanyaan yang akan Carissa ajukan.
Carissa manggut-manggut mendengar hal tersebut. Ia ingat masih ada ART lainnya, kalau tidak salah tiga orang lagi. Nanti saja Carissa tanyakan pada Bi Asih.
Agar perutnya tidak terlalu lama menunggu, ia memakan roti yang tadi sudah disiapkan ART. Tidak lupa Carissa meneguk habis susu di sampingnya. Daripada mubazir, mending disumbangkan ke perutnya.
Tak lama kemudian, Mbak Inem datang dan Carissa menyambutnya dengan penuh sukacita. Tanpa aba-aba, ia langsung melahap nasi uduk tersebut. Hm, betul apa yang dikatakan Bi Asih, rasanya enak!
Bi Asih hanya menatap maklum ke arah majikannya itu, sedangkan Mbak Rita dan Mbak Inem semakin terkejut melihat Carissa yang sangat berbeda. Sejak kapan gadis itu mau memakan makanan seperti itu? Bukannya dulu ia sangat jijik dengan makanan pinggir jalan? Mereka berdua tidak menyangka bahwa kecelakaan bisa mengubah selera makanan seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Life: Between Two Hearts
ФэнтезиBaca novel? Sudah mainstream. Terlempar ke dalam dunia novel? Sudah mainstream. Pindah ke tubuh antagonis? Sudah mainstream. Masalahnya, Zefanya pindah raga ke tokoh antagonis di novel Between Two Hearts tanpa pernah membaca novel itu sama sekali...