21. Kembali Bersama

761 109 60
                                    

Sialan.

Bisa-bisanya selama ini gue melihara dua curut pecundang. Gue kira mereka sohib gue, tapi ternyata mereka musuh dalam selimut. Mereka diam-diam menginginkan gue koit dengan cara mereka. Gue beneran nggak nyangka ketika gue datang ke markas mereka sendirian, Samuel dan Jake baik-baik aja saat ketemu gue, nggak sesuai dengan apa yang Adi katakan. Kondisi mereka sehat tanpa ada luka sama sekali. Seharusnya gue tahu ada yang nggak beres, tapi gue nurut aja ketika mereka ngajak masuk ke dalam markas sebelum secara membabi-buta menyiksa gue dengan segenap tenaga.

Dua bocah bau matahari cuma menatap gue dari kejauhan. Samuel, yang biasanya ada di pihak gue memilih duduk bersama Adi dengan beberapa botol anggur di atas meja, membiarkan gue jadi bahan tontonan gratis. Sumpah, sejak saat itu gue nggak akan percaya lagi dengan pertemanan. Mereka fake, nggak ada yang benar-benar mau berteman dengan gue. Atau bisa jadi, gue yang terlalu kacau sampai mereka muak berteman dengan gue?

Hahaha... bisa jadi itu alasannya. Bodo amat. Sekarang yang gue butuhkan Bening. Remuk redam ini yang bisa ngobatin cuma Ning. Gue butuh sentuhannya, butuh kasih sayangnya. Gue mendesah, di sekeliling tubuh gue ada banyak peralatan rumah sakit. Sekujur tubuh gue teramat nyeri. Gue mengerang kesakitan saat bergerak untuk mengambil ponsel.

Gue nggak kuat lagi kalau terus jauh-jauhan dengan calon istri gue. Lebih baik gue mengalah, karena sejatinya kalau batu ketemu batu yang ada bakal berbenturan, makin pecah nggak beraturan. Maka, saat Surya datang ke sini, gue meminta dia untuk jemput Ning. Tapi, kenapa Surya lama banget buat jemput Ning? Ke mana dulu mereka? Surya sialan nggak akan ngambil kesempatan dalam kesempitan, kan?

Pintu ruangan tiba-tiba terbuka, ada Langga yang masuk dengan tatapan datar, seakan kejadian tadi nggak menimbulkan kekacauan baik dalam pikirannya atau situasi yang akan dihadapinya.

"Mau tampar aku lagi?" tanya gue sarkas. "Yang tadi belum cukup, ya?"

"Kamu nggak bisa tetap di sini terus." Langga membuka percakapan dengan nada yang santai, tapi justru membuat entakan di dada gue menjadi nggak karuan. "Karena sudah kenaikan kelas, maka saatnya kamu melakukan perubahan."

"Maksud Papa apa?" Jujur, gue nggak ngerti maksudnya apa. Otak gue belum terkoneksi. "Jadi agent of change? Ya itu pasti sih, karena kan aku—"

"Jay, saya serius."

Gue batal berbicara.

"Dengan berat hati, saya akan mengirimmu ke ibumu yang sedang berada di London. Saya menyerah, saya tidak kuat jika harus mendidik seseorang sepertimu lagi." Langga melepas kaca matanya, mengelap, kemudian memasangkannya lagi. "Tidak peduli apa pun kebaikan yang saya berikan padamu, tidak peduli seberapa banyak saya mencoba melindungimu, tidak peduli saya membesarkanmu dengan banyak pengorbanan, kamu akan tetap seperti ibumu: suka kebebasan dan sulit diatur."

Mama. Perasaan rindu meluap begitu saja hanya dengan membayangkan sosoknya. Gue terdiam cukup lama, ternyata Mama sekarang di London bersama suami barunya yang bekerja sebagai CEO perusahaan pengolahan kakao. Satu pertanyaan muncul: apakah dia bahagia di sana?

"Mamamu baru saja cerai bulan kemarin dengan suami barunya." Langga menjelaskan tanpa gue bertanya, seperti kebiasaannya. "Hidupnya luntang-lantung, dia cuma mengandalkan kekuatannya untuk bisa bertahan hidup. Setahu saya, dia sekarang bekerja di restoran cepat saji. Maka, saya berharap kamu bisa menemani ibumu di sana agar hidupnya tidak semakin kacau."

Matahari Sebelum Pagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang