"Menangislah! Tubuhmu sudah terlalu banyak menampung beban."
____________
"Seperti bunga dandelion, aku ingin menjadi perempuan tangguh. Perempuan yang berani melepas apa-apa yang memang sudah ditakdirkan tidak selalu bersama. Perempuan yang tetap...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Bang Biiim," teriak gadis berusia 18 tahun. Suaranya melengking ke penjuru kamar Bima.
Bima yang sedang berdiri di depan rak buku tidak mengindahkan panggilan adiknya.
Putri geram, ia langsung mengapit lengan milik abangnya. "Kita ke pantai, yuk, Bang! Adek kangeeeen banget vibes-nya pantai," rengek Putri sambil memasang puppy eyes. Siapa pun yang melihat tatapan itu, pasti akan meleleh. Namun, tidak untuk Bima Putra Wijaya. Dirinya memasang muka datar dan dingin. Tidak ada senyum untuk menyambut tatapan sang adik.
Bima mendengkus, menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengurutkan buku-buku sesuai dengan terbitannya. "Lepas!" titahya tanpa menoleh.
"Enggak! Enggak mauuu. Sebelum Bang Bima mengiyakan permintaan Adek," tekad Putri sambil memeluk lengan abangnya dengan erat.
Bima membuang napas kasar, lalu memandang adiknya yang tidak mau melepas pelukan itu. Kepala adiknya menunduk, seperti mencari kenyamanan di sana. "Gue bilang lepas!" suaranya naik satu oktaf.
Hal itu membuat tubuh Putri bergetar, tetapi ia malah semakin mengencangkan pelukannya. "Enggak!" lantangnya sambil memejamkan mata dengan rapat.
Rahang Bima mengeras mendengar penolakan sang adik. Napasnya pun menderu, diikuti dengan tangannya yang dikepalkan kuat-kuat. Dengan sekali dorongan, adiknya jatuh tersungkur.
Spontan Putri memekik kesakitan karena bokongnya mendarat cukup keras di lantai. Binar tatapannya telah redup dan berganti dengan pandangan nelangsa. Bola kristal kecil di pelupuk matanya sudah bersiap untuk jatuh, tetapi Putri menahannya. Ia memberanikan diri mendongak. Menatap lekat netra abangnya yang malah memberikan tatapan tajam, bagai elang yang ingin menerkam mangsanya.
Putri berdiri, memperhatikan abangnya sekali lagi sebelum akhirnya berlari ke kamar. Kamarnya hanya berjarak satu ruangan dari milik Bima. Putri pun langsung menjatuhkan daksanya ke kasur, kemudian meraih bantal di sebelahnya guna menutup wajah. Air mata yang sejak tadi tertahan mulai berjatuhan dengan deras.
Semakin keras tangisannya, semakin dalam pula ia menekan bantal ke wajahnya. Putri tidak ingin jika suara tangisnya terdengar oleh siapa pun. Biarlah hanya isi kamarnya saja yang melihat dirinya menangis. Tidak untuk orang lain. Putri tidak mau dibilang cengeng ataupun lemah. Kejadian ini memang sudah sering Putri alami. Diabaikan, dibentak, dimusuhi, tidak dipedulikan sama sekali dan bahkan paling parah adalah didorong atau diseret. Sungguh Putri kecewa dengan semua itu.
Dengan perlahan, tangan kanan Putri turun ke dada bagian kiri-- sesak. Dadanya seakan diremas kuat. Ia pun mencengkeram kuat kausnya. Bahunya pun semakin bergerak naik-turun tidak beraturan. Sekali lagi, ia menekan bantal untuk meredam suara tangisnya.
Membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk meluapkan kesedihannya. Putri merasa pengap karena sejak tadi menangis di balik bantal. Ia pun mendudukkan badannya, bersila dan diam termenung menatap pintu balkon yang gordennya tersibak.