33 - Ancaman

2.6K 336 60
                                    

Lingka keluar dari ruang guru, setelah tadi mengurus tentang buku paket yang sempat tertunda, tapi anehnya saat Lingka bertanya soal itu Bu Wati bilang kalau bukunya sudah lunas lalu sekarang ia tengah keberatan membawa bertumpuk buku paket di tangan.

Kata Bu Wati, Lingka dapat bantuan. Hah, Lingka lega mendengar itu. Setidaknya beban hidupnya berkurang satu. Fokusnya cuma bisa lulus dengan nilai memuaskan dan langkah selanjutnya, Lingka tak yakin. Apakah ia harus kuliah atau bekerja. Disatu sisi ia ingin kuliah. Namun, keadaan ekonomi membuat Lingka berpikir ulang.

Daripada untuk kembali bersekolah, lebih baik ia bekerja membantu keuangan Ibu. Toh, lulusan SMA tak selamanya buruk, tapi jauh dilubuk hati Lingka ia ingin kuliah.

Sudahlah, itu masalah nanti. Perempuan berambut panjang sebatas punggung itu berjalan sedikit kesusahan, buku di tangannya terlalu banyak. Maklum harga tujuan ratus ribu tebalnya bisa buat nimpuk maling.

"Cantik, perlu Mas bantuin enggak?" Suara itu tiba-tiba saja muncul. Sosok Samudera dengan tampilan jauh dari kata layak muncul di samping Lingka.

Tangannya mengambil alih tumpukan buku di tangan Lingka. "Makasih," ucap Lingka.

Samudera tertawa. Lingka pernah bilang belum, kalau tawa Samudera itu terdengar menyenangkan di telinga. Seolah punya magnet tersendiri bagi siapa saja, mungkin itu juga salah satu daya tarik yang Samudera memiliki, terlepas dari wajahnya yang tidak bisa dibilang biasa saja.

Iya, Lingka mengakui kalau Samudera itu ganteng dengan tinggi menjulang. Tipe mas-mas ganteng macam di tok tok, tapi sayang Samudera tidak berminat main begituan.

"Baru beli bukunya sekarang?" tanya Samudera seraya melirik buku di tangannya.

"Iya, alhamdulillah dapat bantuan makannya bisa kebeli." Padahal Lingka sudah pasrah, pikirnya ia akan meminjam saja milik Samudera. Mungkin.

Samudera mengangguk. Keduanya berjalan bersama diiringi ocehan serta tatapan heran setiap orang yang melihat keduanya. Lingka risih, jelas saja. Meskipun sering bersama Samudera, tapi tetap saja ada rasa tak nyaman saat dirinya tersorot begini.

"Enggak usah tegang gitu mukanya." Samudera terkekeh pelan, Lingka layaknya tahanan yang sebentar lagi akan di eksekusi mati.

"Siapa yang tegang," balas Lingka lirih. Senyum Samudera mengembang begitu saja.

"Kemarin, Wira ngomong apa sama lo?" Pertanyaan Samudera membuat Lingka berhenti melangkah. Jadi, kemarin Samudera melihatnya berbicara dengan Wira.

Lingka sedikit gugup menjawab, "enggak papa kok."

"Kalian pernah ada hubungan?" Kedua mata Samudera memincing mencari jawaban. Beberapa minggu ini ia sedikit merasakan hal aneh pada Wira, bagaimana sahabatnya itu seperti ngotot sekali menentang hubungannya dengan Lingka sejak awal lalu peringatan-peringatan bernada aneh. Seolah Wira benar-benar tahu bagaimana kehidupan Lingka.

"Enggak." Lingka menjawab terlalu cepat semakin menyulut kecurigaan Samudera.

"Lo bohong, kalian pernah pacaran?" Lingka menganga mendengar tuduhan itu, dengan cepat ia menggeleng.

"Enggak, lagipula Wira mana mau sama aku."

Ucapan Lingka membuat Samudera menghembuskan napas lega. Otaknya sudah berpikir hal tidak-tidak kalau memang tuduhannya benar.

"Terus?" Lingka melirik Samudera bingung.

"Apanya?"

"Lo enggak ada rasa sama Wira kan?" Samudera menatap Lingka waspada. Menunggu jawaban gadis itu, keduanya berhenti ditengah koridor. Beruntung keadaan sepi.

"Enggak Sam."

"Bagus, karena itu cuma boleh buat gue." Lingka terbatuk beberapa kali, mendadak jadi salah tingkah.

Kenapa disaat seperti ini Samudera bisa bersikap biasa saja sedangkan Lingka justru sebaliknya. Perempuan itu sulit sekali mengendalikan diri.

Samudera tersenyum kemudian kembali melanjutkan langkah sampai di kelas, ia langsung membanting buku milik Lingka ke atas meja. Lumayan juga buku paket membuat tangannya pegal. Lingka lebih dulu duduk di kursi diikuti Samudera.

"Pulang nanti sama gue ya." Samudera bergumam. Cowok berambut acak-acakan itu menopang kepalanya dengan sebelah tangan, menatap Lingka penuh minat.

Lingka mengangguk saja. Menolak pun rasanya percuma, Samudera akan tetap memaksanya. "Tapi, sampai depan gang aja ya."

Samudera bergumam. Tengah hari begini matanya enggan diajak bekerja sama, seperti ada beban berton-ton yang menggelayut membuat Samudera telungkup memejamkan mata.

Tanpa Samudera tahu, Lingka tersenyum melihat segala tingkah Samudera.

****

"Kamu masih berhubungan sama laki-laki itu?" Lingk ia terkejut bukan main melihat Ayahnya yang duduk dikursi ruang tamu. Sebatang rokok terjepit di anatara jemarinya juga kepulan asap yang mengudara.

Lingka baru saja pulang, diantar Samudera tentu saja, tapi cowok itu hanya mengantarkannya di depan gang.

"Kenapa emangnya Pak?" Suara Lingka seperti tenggelam. Meskipun terkadang memberontak, tapi Lingka tetaplah anak perempuan yang akan takut jika di tatap penuh intimidasi oleh Ayahnya sendiri.

Hardi mencondongkan tubuhnya. Mematikan rokoknya di dalam asbak lantas kembali menatap Lingka.

"Bapak udah pernah bilang, jauhin dia dan kenapa kamu itu enggak ngerti soal jangan pernah ajak teman mu ke sini!" Suara Hardi terdengar lebih keras membuat Lingka memejamkan kedua mata.

Ia tahu, Ayahnya pernah memberikannya peringatan. Apa batasan soal lingkup pertemanan Lingka, tidak ada ajakan berkunjung ke rumah sudah menjadi hal mutlak bagi Hardi demi dirinya selalu merasa aman, tapi semuanya musnah saat Lingka berteman dengan Samudera.

Hardi tahu, Samudera bisa saja jadi ancaman untuknya, remaja SMA itu sudah kepalang tahu kebusukannya. Tentu saja Hardi tak suka akan hal itu dan satu-satunya cara agar ia aman, adalah menjauhkan Samudera dari Lingka. Namun, anaknya itu kelewat bebal masih saja berhubungan dengan Samudera bahkan keduanya terlihat bahagia.

"Lingka enggak bisa Pak. Harusnya Bapak yang sadar, ubah kelakuan Bapak. Lingka juga pingin punya kehidupan normal. Berhenti perlakuin Lingka sama Ibu semena-mena."

Tangan Hardi terkepal. Ia tak suka mendengar anaknya membangkang. Pria setengah abad itu berdiri membuat Lingka reflek memundurkan langkah ketakutan.

"Enggak usah ngebantah kamu! Enggak usah ngatur, tugas kamu cukup jauhi temen laki-laki kamu itu!"

Lingka menggeleng, tidak akan. Sampai kapanpun ia tak akan menjauhi Samudera. Ia tak akan bisa. Melihat penolakan Lingka kian menyulut emosi Hardi.

Pria itu maju, mencengkram kuat tangan Lingka. Satu tamparan keras mendarat di pipi Lingka. Rasa sakit langsung menjalar tak hanya di pipi namun, juga kepalanya rasanya berdenging.

Hardi sama sekali tak peduli. Tangannya ganti mencengkram wajah Lingka agar menghadap padanya. "Kamu masih mau membangkang? Ini belum seberapa, kalau kamu enggak jauhin temen kamu itu, bapak bisa kasih lebih dari ini buat kamu atau temen kamu itu."

Lingka jatuh terduduk setelah Hardi menghempas tubuhnya. Perempuan itu menangis keras bersamaan dengan suara bantingan pintu. Kenapa hidupnya seburuk ini, ia hanya ingin bahagia, tapi kenapa rasanya sulit sekali.

****

Kesel enggak sih sama Bapaknya Lingka?

Udah kejawab, weh kemarin siapa yang bilang Wira sama Lingka adalah sepasang mantan, bukan weh.

Maaf pendek. Ini tanganku aja dah sakit pegangan HP. Semoga suka, maaf banyak typo.

Salam, istrinya Jaemin.

Hei, Lingka! [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang