Pada suatu masa, ketika keemasan sang surya perlahan menghangat. Aktvitas keseharian para manusia bermula dengan begitu menawan. Para pembuat roti, merayu indera penciuman ini dengan kehangatan roti bercita rasa olesan mentega. Coklat hangat sebagai sahabat, memberikan semangat sebelum hari bermula.
Para manusia mulai saling bersosialisai satu sama-lain dengan percakapan ramah yang saling merangkul. Semangat dalam kedisiplinan hati mulai mengebu-gebu seiringan dengan tumbukan padi para petani. Para pelayan, tengah menyibukkan diri memikul keranjang yang dipenuhi dengan sayuran Segar.
Memikul ember dari mata air sebagai pemenuh tampungan bak mandi hangat untuk Tuannya. Kendaraan bermesin uap dengan ratusan tenaga kuda, tengah sibuk berlalu lalang melakukan pengiriman barang pesanan. Sebagai syarat terpenuhinya target pasar.
Namun, seluruh kesibukan tersebut tidak lantas memanjakan mata pedih ini. Tidak lantas mampu mempengaruhi lenyapnya keinginan diriku untuk beranjak, dan lebih memilih membekukan diri. Ketimbang menghangat oleh rangkulan ramah tamah para manusia. Karena sudah sejak 3 hari yang lalu. Tidak ada satupun suatu aktivitas yang mampu mewarnai hariku yang mulai berdebu.
Selain menyenderkan diri di tembok dingin, dan membiarkan kesunyian merantai jiwaku. Keheningan tersebut, mengijinkan diriku untuk menyaksikan pemandang terindah. Yakni, potret kedua orang Tuaku. Beserta wangian tubuh mereka yang teresap dalam pakaian terakhir. Yang dikenakan sebelum insiden mengerikan serta kelam terjadi. Sebuah keyakinan yang senan tiasa kuanggap, bahwa hal tersebut adalah malapetaka dari tangan Tuhan.
Sebagai ujian dan hukuman atas kepatuhan diri ini. Segala perintah maupun kehendak Beliau, diriku selalu memenuhinya tanpa adanya sebuah kekeliruan. Ketika sebuah pekerjaan membebani tubuh penat mereka, aku selalu menghiburnya dengan candaan.
Merubah penat dari wajah menjadi paras cerah penuh tawa. Ketika amarah membakar hatinya, satu kalipun suaraku tidak pernah lebih keras. Dan ketika tengah bosan merindu akan kehadiran kedua orangtuaku, selalu terobati dengan sapaan. “Kami pulang.”
Namun, disaat hatiku kembali merindu akan kehadiran kedua orang tuaku. Untuk pertama kalinya mereka tidak menyapa pulang terhadap jiwa bosan ini. Melainkan berpulang diri menuju surga, kembali kedalam pelukan Tuhan. Sedangkan jasadnya, berpulang diri kembali kedalam kediaman rumah kami.
Dalam sebuah moril pakaian terakhir beserta dengan foto terbaru disaat dikenakan pakaian rapi nan elegan dalam peti mati. Saking penatnya diri ini, hati ini bergumam dengan begitu pedih.
“Aku menyerah! Aku menyerah atas segalanya...!” Ucapanku yang mulai lelah untuk mengucap pinta maupun mengharapkan suatu hal.
Ketika diriku tengah layu tanpa jamahan matahari. Kenok pintu terputar secara perlahan, bersamaan dengan langkah anggun tanpa keriuhan dari seorang wanita. Ketika dirinya melihat tubuhku yang telah mengering serta kurus.
Lubuk hatinya terasa disiksa oleh perasaan takut serta cemas. Ia mendekati diriku, lantas mendekapku dengan pelukan hangat penuh ketulusan. Mencoba meraih hancurnya diriku dengan tutur kata yang menawan.
“Hentikanlah tangismu. Lantas, berikanlah asupan bergizi dalam perut kosongmu. Beranjaklah dari kubangan kesedihan, agar mampu menghirup udara perubahan.” Tutur katanya yang lembut terhadap kelunturan hidupku dengan kasih sayang.
Sebagai tempat persembunyian perasaan cemasnya terhadap sosok payahku. Akan tetapi, tanpa suatu alasan yang jelas. Emosi ini seketika meledak dengan hebat menjadi tempra mental.
“Tiada satupun hal! Yang mampu membuat beku diri ini untuk beranjak! Tidak akan pernah kuijinkan siapapun yang segan menyeret jiwa ini menuju kemeriahan pengisi lubang di hati,” seruan jeritan kegilaanku. Dalam ambangan penderitaan yang terbakar oleh keputus-asaan.
Kata penghunus hati kembali terucap dari mulut kotor ini dengan tangisan pilu. “Namun, akan kuijinkan dewi kematian menyeret jiwa pudar ini. Menuju suramnya hati dalam kegelapan abadi.”
Seakan rangkulan romantis dalam pelukku, bukanlah ketulusan hati pengobat guncangan kegilaan. Melainkan adalah sang dewi kematian yang tengah mendekap nyawaku. Keinginan bijak sang wanita seakan pupus, tetapi enggan untuk pudar.
Karena dirinya seoranglah yang mampu menyadarkan trauma penuh depresi ini. Dalam tangis, Ia bersenandung dalam siksaan batin. Perasaannya yang lemah dan lembut seakan terkejut bukan kepalang. Atas ledakan emosiku tanpa kendali.
Namun, lisan bergetarnya tetap bersikeras untuk mengucapkan kata demi diri payah ini.
Dalam tangis lisannya terucap seraya memberi segelas kopi hangat. “Lampiaskan?! Lampiaskanlah segalanya kepada diriku seorang, bukan terhadap orang baik di luar sana. Diri ini akan tenang bak permukaan air. Sedangakan batinmu mampu mengeras bagaikan batu yang mampu membuat riyak dalam ketenangan batinku. Hingga jiwamu mampu kembali melunak dengan kehangatan kopi ini.”
Setelah mendengar lisan lembut yang bergetar dari sang wanita. Hati ini terasa sesak. Membuat perutku mual lantas membara hingga otakku mendidih. Jika dewi kematian dalam pelukku, mengurungkan niatannya untuk menjeput ajalku. Dengan lonjakan darah yang membeku di otakku. Secara paksa aku merebut secangkir kopi panas dari jemarinya. Lantas menyiramkannya terhadap diriku sendiri.
Berharap tindak laku lancangku terhadapnya mampu membuat dewi kematian marah besar. Sehingga memeluk diriku lebih erat lagi hingga kehabisan oksigen.
“Singkirkanlah sampah ini dari wajahku!” Ujaran kebencianku dengan nada suara yang mengerikan. Ketika dihadapkan dengan minuman sampah yang segan Ia berikan kepadaku.
Pyar!
Aku memecahkan cangkir kopi tersebut menjadi serpihan tajam.
Menggenggam salah satu serpihan tajam tersebut, untuk menusukkannya berkali-kali ke dalam hatiku hingga mati dengan tragis. Sang wanita menyadari tindak tanduk bodohku yang konyol. Lantas segera merebut paksa serpihan tersebut dari jemariku.
“Lepaskanlah jemari kotormu!” Bentakku dengan arogan.
Sembari merebut serpihan dari jemari Ia berkata “Hentikanlah.”
Setelah jemari sang wanita berdarah hingga mengalirkan darah segar dengan aroma amis yang menyerbak. Serpihan tersebut, mampu direbut olehnya dari jemariku. Sang wanita latas membuangnya jauh dariku. Ia kembali memandang parasku yang terlihat bak zombie. Senandungan sang Wanita, kini merintih.
Hatinya seakan di iris tipis-tipis saat pemberiannya dianggap sebagai sampah najis. Kebajikannya yang tulus dan suci, seakan dikhianati oleh sifatku yang munafik penuh dengan dosa. Rintihan tangis ketidak tahuan membuat dirinya semakin bersedih. Akan tetapi, Ia tetap bersikeras mengobati kejiwaanku yang mulai membusuk.
Dalam rintihan sang wanita, Ia mengucapkan pinta terakhir terhadap diriku. “Tenanglah… Tenangkanlah dirimu, ijinkanlah aroma tersebut terhirup ke dalam indera penciumanmu.”
Disaat indera perasa di lidahku telah mati rasa, aroma yang selalu membuat tubuhku tremor kembali terhirup kedalam otakku yang membeku. Seketika meneteskan air mata kerinduan.
Saat kenangan indah bersama kedua orang tua yang selalu aku kasihi kembali teringat. Melukiskan warna cerah dalam jiwa busuk ini dengan ketulusan cinta. Pedihnya, aku tidak mampu untuk meminumnya. Aku selalu menolak kehangatan cinta kedua orang tuaku yang mengalir dalam kopi tersebut. Jauh hari sebelum kehadiran mereka masih berada dalam sisiku.
Tragisnya, itulah cangkir pertama serta terakhir kalinya sebelum kedua orang tuaku meninggal. Disaat penenang pikiran kembali terhirup dari secangkir kopi. Jutaan sel-sel di otaku bergetar. Memukul diri hancur ini dengan kesadaran. Ironisnya, yang pertama kali kembali terlihat olehku.
Adalah pemandangan sadis dari hati sang wanita yang tengah bersedih histeris. Sahabat terkasihku kini tengah menerima luka abadi hingga melinagkan tangisan darah. Seketika tangisan darah ikut menetes dari mataku, dan semakin melukai pandangan ini disaat tangis wanita tidak mampu terhenti.
Tercengang menyaksikan wajahnya yang telah memucat hingga tak mampu lagi menerima perasaan takut. Dari sosok diriku yang jauh berbeda dari ingatannya. Dalam sujudku dihadapannya, meminta permohonan maaf yang tulus kepadanya.
“Aku benar-benar memohon dari lubuk hatiku. Kumohon maafkanlah diriku duhai sahabat terkasihku.” Pinta munafikku terhadapnya, yang mengaharap sebuah pengampunan diri.
Bagiku, permintaan maaf yang terucap dengan kebohongan ketika amarahku meredam. Tidaklah cukup untuk mengobati luka fisik kejutnya, maupun jiwanya yang berdarah. Karena jemari kotor ini tengah aku gunakan untuk menyembunyikan keselahanku sebagai pendosa.
Namun, ketika aku kembali memandang parasnya yang pucat. Sahabat terkasihku malah memberikan senyuman tulus terhadapku.
Ia tidak berbalik marah terhadapku, tidak lantas menginjak leherku dengan brutal hingga mati lemas. Maupun tidak lantas menampar wajahku hingga mengeluarkan darah segar.
Melainkan Ia mengecup bibir kotorku yang telah mongering dengan kehangatan kecupan penuh kelembutan yang tulus dari hatinya.
Tanpa merasa mual dengan aroma yang telah menyatu dalam canduan kafein. Setelah beberapa saat, perasaan sejatinya terungkap disaat meluruskan kejiwaanku. Ia mengatakan perkataan mutiara terindah, yang tidak akan pernah kulupakan dari ingatanku.
“Tetaplah hidup, walaupun tidaklah berguna.” Ujarnya dalam sebuah quotes penyemangat hidup.
Setelah mendengar ucapannya yang kembali mengisi hatiku. Sekuat tenaga aku bangkit dari kubangan penderitaanku, tanpa mendramatisir lemas serta sakitnya tubuh ini.
Sang wanita seketika sigap untuk merangkul tubuhku yang tehuyung lemas. Seakan angin mampu menghempas tubuh ini.
“Astaga Elan, apa yang ingin kamu lakukan?” Tanya keheranan dirinya atas tindakan mendadak dariku. Namun, keras kepala ini memaksa batinku untuk kembali hidup. Daripada mementingkan kebutuhan serta kesehatan yang tubuh ini.
“Aku mohon kepadamu Annabeth, ijinkan diri ini untuk kembali merasakan kehidupan” Perkataanku kepadanya dengan sifat memaksa, bermaksud merasakan kembali sesuatu yang telah menghilang dariku. Karena diriku tidak menginginkan ramah tamah ini lenyap dariku.
“Tentu saja, dengan senang hati aku akan menunjukkannya. Namun, apakah kamu tidak ingin mengisi kosongnya perutmu ataupun mengistirahatkan tubuhmu. Terlebih dahulu?” Tutur kata perhatiannya agar aku mampu merangkul hatiku dengan kondisi prima.
“Kumohon Annabeth!” Pinta tulus atas keinginan sesungguhnya dariku.
“Baiklah jika dirimu memaksa. Silahkan, setelah kau.” Ujar pahamnya.
Seraya dirinya merangkul diriku, aku memimpin jalannya. Agar dirinya mampu kembali menunjukkan kehidupan manusia yang sebenarnya. Meninggalkan kehidupan suram yang menyiksa kehidupanku secara perlahan. Menuju kemeriahan hidup menawan manusia. Para perangkul kesendirianku.
Krek!
Suara kenok pintu yang terputar secara perlahan.
Membuka pemisah ruang aman serta nyamanku, dengan pancaran kehidupan pemisah privasi. Pancaran sang surya yang telah terbit, Menyinari alam atas aktivitas para manusia yang telah bersinar. Membuat pandanganku yang telah terang benderang, terpesona oleh keunikan mereka yang menawan.
“Selamat pagi.” Sapaan ramah setiap orang yang telah lama menunggu diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indera perasa yang kembali hidup
RomanceHidupku dulu indah, seindah pesona pergaulan sosialisasi dunia luar. Namun, semua itu berubah ketika orang terkasih meninggal. Meninggalkan trauma mendalam akan gilanya kesepian. Hingga suatu saat berubah ketika keanggunan nan kelembutan sang wanit...