"Hei!", " Eh,", "Oh"

2 1 3
                                    

Semua orang punya panggilan kesayangan. Misal, namaku Sopian dan teman-temanku biasanya memanggilku di SMA dengan "Sop", atau jika itu adalah orang yang dekat denganku sejak lama, seperti teman waktu kecil atau SD maka mereka biasanya memanggilku dengan sebutan " Ian" atau "Pian".

Aku jujur saja lebih suka dipanggil " Pian", karena terasa beda dan itu juga adalah nama panggilanku semenjak masih kecil.

Ngomong-ngomong soal nama panggilan, aku yakin kalian pasti punya teman yang nama panggilanya sama karena terinspirasi dari nama artis atau hanya ingin terlihat kekinian. Misalkan nama aslinya Hayati namun ingin dipanggil Anya, lalu Panji namun ingin dipanggil dengan sebutan Ipank.

Hal lucu di sekolahku adalah ketika ada beberapa orang siswa yang memiliki nama panggilan sama yaitu "Ijonk".

Ijonk pertama yang akan aku perkenalkan adalah " Ijonk" dari kelasku sendiri. Nama aslinya adalah Juhriansyah namun saat pertama kali melakukan perkenalan di dalam kelas ia mengaku ingin dipanggil Ijonk.

Lalu ada Ijonk dari kelas X (sepuluh)A, nama aslinya Johansyah namun seperti Ijonk dari kelas kami. Maka ia juga ingin dipanggil dengan nama Ijonk.

Kemudian di kelas XI(sebelas), tapi aku lupa kelas XI berapa. Ada juga yang memiliki panggilan "Ijonk", namun kali ini sungguh terasa sangat dipaksakan.

Bila harus dibandingkan Johansyah dan Juhriansyah yang namanya ada hurup "J" walau tetap terasa terpaksa jika harus memanggil namanya dengan Ijonk. Nah, si Ijonk dari kelas XI ini nama aslinya adalah Adiannor.

***

Sudah dua bulan sejak peristiwa bersejarah itu terjadi, yaitu ketika aku dan Nida bersenggolan di depan kantin saat matahari sedang terik-teriknya. Pun, sudah dua bulan dua puluh satu hari ketika Nida meminta aku untuk mengembalikan buku "Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk" kepada Mhyta teman sekelasku.

Jujur perkembangan hubungan kami itu terasa meyakinkan lho, terlebih jika harus mengingat momen pertama kali bertemu. Kala kami bertabrakan dan mata Nida menyorot dengan bengis kepadaku.

Setidaknya, ia sudah tersenyum kepadaku bila sedang berpapasan.

Paling tidak ketika aku tersenyum kepadanya, maka si Nida juga tersenyum kepadaku.

Tapi hanya ada sedikit ganjalan kawan, aku tak yakin si Nida itu tahu namaku. Intensitas pertemuan kami termasuk sering, apalagi kelas kami bersebelahan. Tapi sejauh yang bisa aku ingat dia tak pernah menyebut namaku.

Ketika kami berpapasan atau sekedar berbincang, hanya ada tiga kata yang selalu ia pakai ketika memanggilku.

Tahukah apa itu kawan? Tiga kata itu hanya "hei!", "eh", atau "oh".

Contoh percakapan yang masih bisa aku ingat.

Saat itu, suatu pagi di hari sabtu.

"Eh, makasih ya. Bukunya si Mhyta sudah kamu serahkan," ucap Nida dengan sebuah senyuman.

"Sama-sama Nida," balasku. Padahal aku sudah menyebut namanya, namun dia tetap saja seakan tak terusik.

"Oh... Sama-sama!" Dan ia hanya tersenyum kemudian berlalu.

Lalu di momen yang lain, saat aku yang sebenarnya hanya sedang pura-pura pergi ke toilet dan lewat depan kelasnya Nida.

Aku berjalan pelan, saat itu kelasnya Nida sedang tidak ada guru. Nida dan teman-teman perempuan di kelasnya sedang berkumpul di dekat pintu.

Aku melangkah percaya diri, angin bertiup lumayan kencang dan saat melintas di hadapan Nida rambutku pun tersibak.

"Pagi Nida!" ucapku ramah. Rambutku berkibar seakan ada di iklan sampo.

14 Hari Mengejar Nida (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang