Aku adalah indigo. Mempunyai bakat yang nggak semua orang punya. Namun, rasa kesepian di hari tua membuat aku merasa bakat ini sudah tidak ada gunanya. Hingga akhir hidup pun, tidak ada yang menemani.
Namun, saat ini aku tiba-tiba terbangun di tempat lain. Mencium dinginnya lantai dengan menggenggam sebuah pisau di tangan. Sudut mata-ku tak hentinya terkejut ketika ada sebuah arwah menatap diriku dengan horor.
"Ka-kamu? Siapa?"
Katanya dia adalah pemilik tempat ini. Nasibnya sama sepertiku. "Kita saling terhubung. Saat anda mati, anda memasuki tubuh saya. Saya bisa mengetahui semua ingatan yang anda rasakan di kehidupan sebelumnya. Saya merasa terhormat mati dengan keadaan bisa menjadi pendamping hidup anda."
Aku menopang tubuh. Mengangkat kaki yang lumayan berat ini. Masih terasa lemas, ada luka sayatan di bagian leher yang bisa aku lihat dari cermin di pojok kamar. Kamar yang luas, rapih, namun hanya saja pemilihan warna temboknya tidak aku suka. Merah gelap bagai darah.
Aku berjalan lunglai. Tubuh ini, mata ini, sangat tampan. Kulitnya sangat pucat dilihat dari cermin, rambutnya putih padahal suaranya terasa masih muda. Makhluk apa dia? Apakah seperti makhluk vampir yang diceritakan di dunia itu?
"Saya Asep, kamu siapa? Ini kenapa tubuh saya teh jadi ganteng gini?"
Dia tampak berpikir sejenak. Matanya mengerjap beberapa kali lalu tersenyum sembari membungkukan tubuhnya.
"Saya Elfriden Olivander. Anda sekarang yang akan menempati tubuh saya, eh siapa nama anda tadi?"
Aku menepuk jidat. Apakah nama ini tidak fenomenal di dunia ini? Ini juga bukan Bandung, bukan daerah Sunda, mengerikan. Padahal nama Asep sangat terkenal di dunia itu.
"Asep. Tunggu, ini teh kenapa? Jelasin dulu atuh?"
"Saya.. agak tidak mengerti anda berbicara apa."
"Dah lah."
Aku menyerah. Sangat menyerah. Apa aku terdengar sangat aneh. Padahal hanya memakai logat Sunda dan berbicara Sunda sedikit.
Ah, luka di leher mulai menghilang. Tidak, itu sudah menghilang sempurna. Aku tersenyum senang, tubuh Kang Oliv gila banget bisa regenerasi cepat.
Aku mulai bergaya beberapa pose. Menggoyang tubuh dengan pose menggoda. Tentu saja disertai senyum mesum. Eh aku tidak mesum yah, aku hanya orang tua dengan pemikiran muda.
"Maaf, jangan gunakan tubuh saya de-dengan pose itu. Memalukan sekali."
Dia menutup wajahnya sendiri. Kenapa harus malu? Bukannya harusnya dia bangga kalau bisa berpose bebas begini. Haha, mana mungkin aku bisa melakukan ini saat masih dalam tubuh tua bangka itu. Mengesankan, menyenangkan, aku seperti aktor-aktor Korea. Jiahh, pose menyilangkan ibu jari ini terlihat imut.
"Saranghae! Buset imut banget saya."
Vampir di sebelah-ku melayang dengan wajah semerah tomat. Dia melayang dengan agak merengek menghentikan perbuatan nista yang aku lakukan.
"Saya mohon hentikan, i-itu sangat memalukan."
Ah, benar, aku lupa pose ini. "What is love?! Beuh, kalau saya ngadu joget sama Cha Eun-Woo, pasti saya teh menang. Wajah aja udah setara ini mah."
"Asep! Hentikan perbuatan anda."
Aku menghela napas lelah. Benar, kasihan sekali vampir ini, pasti belum pernah menonton drama Korea. Seandainya dia menonton The Penthouse pasti dia akan jadi gila setengah mati.
Aku menyilangkan lengan depan dada. Vampir itu memojok sambil memeluk lututnya di pojokan. Aku mendekatinya, mengelus kepalanya pelan. Aku masih bisa menyentuh bentuk roh ini, sial aku bisa merasakan betapa kesepiannya dia.
"Umur kamu teh berapa?"
Dia mendongakkan kepala pelan. Melirik jendela yang penuh bercak darah. "Tujuh belas tahun. Hm, saya mulai mengerti bahasa anda sedikit-sedikit."
"Bagus atuh kalau kamu ngerti bahasa Sunda. Nanti saya ajarin bahasa Sunda yah."
Dia agak terperanjat lalu menggeleng cepat. "Untuk apa saya belajar bahasa aneh itu? Saya menolak."
Aku sebenarnya tidak kaget, bahkan wajar saja jika dia menolaknya. Mana ada vampir belajar bahasa Sunda. "Baiklah, jadi jelasin, kamu kenapa bunuh diri? Saya jadi semakin bingung karena tempat ini luas sekali. Apa kamu hidup sendiri?"
Kang Oliv melayang. Menembus dinding dan menghilang. Agak meresahkan jika hantu-hantu atau roh-roh tiba-tiba menghilang begitu saja. Mereka seenaknya dan kadang membuat aku sedikit terkejut dibuatnya.
Sorakan dari luar membuat aku berani keluar. Kang Oliv menunjukkan perkampungan aneh memalui jendela. Aku sentuh pinggiran kayu lapuk ini, kastil miliknya terbilang tua.
"Saya adalah manusia."
"Kamu manusia? Saya kira teh vampir."
Dia menggeleng. "Apa itu vampir? Makhluk di dunia ini diisi manusia juga banyak jenis makhluk lainnya. Hanya saja, saya mempunyai darah pendosa. Rambut putih itu adalah kutukan temurun. Pada umur hampir menginjak tujuh belas tahun, keluarga kami harus berpisah ke seluruh benua. Sangat jauh hingga tidak dapat ditemukan, jika masih dekat, kami akan meledak sampai membunuh ras manusia lainnya."
Aku menggaruk tengkuk. Sedikit tidak paham. Keluarganya rumit. Tapi aku berusaha untuk memahaminya.
"Walau begitu, mata merah kami mempunyai bakat, bisa melihat roh. Dan, tiap-tiap pemilik mata ini, mempunyai kekuatan tidak masuk akal. Aku mempunyainya, di mana dapat menciptakan beragam kehancuran jika aku ingin. Karena itulah, aku dibenci warga desa, tiap saat diberi teror dengan jendela kastil pecah. Aku merasa gila."
Ah, karena itu dia menjadi senekat ini, syukurlah aku tidak pernah dibenci orang-orang.
"Jadi, kamu teh sekarang punya keinginan apa?"
Kang Oliv membeku lama. "Tidak ada."
"Kamu ingin ke akhirat, 'kan?"
Dia menggeleng. "Saya belum mau pergi ke tempat itu. Saya merasa ada yang harus diselesaikan."
Hm, aku tahu, Kang Oliv adalah roh gentayangan dengan fisik tampan. Ya walau tadi agak mengagetkan aku saat melihatnya pertama kali.
Aku menatap lekat-lekat desa itu. Tatapan anak-anak yang tidak menyukainya, warganya, hampir semua orang di sana membenci roh di samping-ku. Aku berdeham sejenak, memfokuskan pandanganku.
"Meledak."
Salah satu anak yang akan melempar batu, dalam sekejap kepalanya meledak. Otaknya berceceran tak beratur di tanah. Anak-anak lainnya yang akan melarikan diri seketika tubuh mereka hancur berkeping-keping ketika aku memfokuskan jarak pandangku.
Mereka harus dimusnahkan. Para warga mulai berhamburan keluar daerah mereka, namun di koridor ini banyak sekali jendela. Aku berjalan ke ujung pintu sembari fokus mengucapkan kata-kata kasar. Aku mengumpat hingga banyak rumah roboh sendirinya. Aku dapat melihatnya, seorang ibu hamil tertindih bangunan hingga isi dalam perutnya muncrat keluar.
Aku menghirup napas, umpatan terakhir adalah "mati", dan semua orang yang masih dalam jarak pandangku seketika meledak begitu saja. Sangat mengesalkan, aku tidak menyukainya, aku membenci orang yang memberi perundungan pada makhluk tidak bersalah.
Kang Oliv terlihat dengan wajah datar. Aku merasakan, dia sendiri ingin melakukan itu, tapi dia ragu. "Saya sudah melakukannya, kenapa kamu teh nggak lakuin dari dulu?"
"Saya tidak ingin melakukannya karena saya tahu itu dosa."
"Memangnya mereka teh membela kamu? Mereka sudah hancurin tempat berlindung kamu. Pagar yang hancur karena anak-anak. Mengambil hak tamanmu dengan dipakai sebagai kandang babi oleh peternak. Saya bisa melihatnya dari sini, penderitaan kamu yang harus dihentikan. Saya gak suka lihat orang merasa dibedakan, itu sakit."
Kang Oliv menatap sendu. Aku tahu kenapa dia tidak bergeming sekarang. Dia masih memikirkan apa yang harus dia selesaikan. Dan sekarang aku ingin mandi, bau anyir darah ini teh.
TBC
Joker? Apa itu? Ini mah Asep. Bagi yang merasa tidak suka kesadisan atau hal berbau gore, boleh berhenti baca di sini. Petualangan Kang Asep sama Kang Oliv mau dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Inner Eye And The Other World Volume 1[END]
FantasíaSendiri di dunia lain. Memiliki kastil besar juga megah seperti tiada artinya baginya. Terbangun dalam keadaan setelah bunuh diri, Asep tersadar dengan tubuh lain. Kesialannya bertambah ketika baru menyadari desa di sekitarnya tidak menerima keberad...