'9

2K 278 58
                                    


Vote before you read

⊙︿⊙⊙︿⊙⊙︿⊙

"Park Jino, Berhenti memainkan ponsel mu saat sedang makan. Apa kau mengerti?."

Itu suara Jimin, sedikit membuat semua mendadak menghentikan aktifitas memakannya detik itu juga. Mereka sedang berada di meja yang sama, Acara makan malam Keluarga Park  Jimin seperti biasa. Walau Jira terpaksa memesan makanan dari luar karena tidak ada waktu untuk memasak—diingat, ia baru saja kembali dari Rumah sakit. Mereka tetap menyempatkan makan malam bersama, dengan suasana yang sedikit berbeda.

Park Jino lebih fokus memainkan ponselnya, entah untuk hal apa. Tindakan nya membuat Jira menyerngit, karena Jino bukan anak yang seperti itu. Terlebih Jimin, Malam ini terlihat begitu dingin—raut wajah nya berbeda, seakan memendam kekesalan yang sulit terlontarkan. Jira ingin sekali membahas hal itu, tetapi masih menghargai acara makan malam mereka.

"Maaf, Appa. Tadi hanya memeriksa sesuatu." Ucap si sulung, menutup ponsel nya seketika dan fokus melanjutkan kegiatan makan malam ini. Jina begitu tenang, mungkin mengantisipasi agar tidak kena marah juga seperti Jino.

No, Jina memang anak yang sangat tenang melakukan apapun.

"Bedakan waktunya. Apa ponsel mu lebih penting dibandingkan makanan—"

"Jimin....... Mari fokus saja untuk makan. Aku akan menasehati Jino nanti. Tenanglah, mengerti?." Seru Jira mendominasi. Wanita itu menghela nafas panjang seketika, menyorot mata Jimin dengan anggukan ketenangan. Pasalnya, Jira sangat mengerti bahwa ini tidak sebenarnya Jimin.

Ralat—Jimin tidak seperti itu. Hanya saja, keadaan yang membuatnya seperti itu. Jira mengerti, dia bahkan segera memanggil Ara—selaku assisten pengurus anaknya agar membawa Jino Jina pergi dari sana setelah beberapa suapan penghabisan makanan selesai.

Tidak lain, ingin mengajak bicara Jimin berdua saja dengannya. Pembicaraan yang penting.

Empat mata.

"Ingin berbicara dahulu, atau menungguku mengajukan ribuan pertanyaan, Jim?.." seru Jira  menegas namun juga teramat lembut. Menyorot mata Jimin dengan penuh ketenangan, padahal terlihat sekali.. Wajah Jimin yang tidak fokus dan penuh rasa kekhawatiran.

"Aku hanya memarahi Jino saja, Tatakrama dalam makan memang harus—"

"Menasehati atau melampiaskan emosi?, Mari berkata jujur, Apa kebohongan juga masuk dalam tatakrama kehidupan yang baik, Park Jimin?."

Jimin menggeleng serius, Posisinya mendekat, meraih tangan kanan Jira dengan penuh usapan hangat. Seperti meyakinkan istrinya bahwa semua itu tidak mungkin terjadi. Jimin memang tidak seperti itu. Alih alih meredam sumbu perpecahan ini.

Beberapa detik kemudian, Jimin menghela nafasnya panjang, saat melihat Jira yang tak mengubah ekspresi dinginnya sama sekali—benar benar penuh tatapan mengintimidasi.

"Baiklah, aku salah. Seharusnya aku tidak memarahi Jino saat itu. Maaf, ya."

"Ini bukan obrolan permohonan maaf, Jim. Tetapi upaya mencari kejujuran. Aku ingin tau penyebabnya.... Apa ada hal yang kau sembunyikan dariku..... lagi?."

Jimin kembali menggeleng! Ini sudah keluar dari jalur, bukan itu yang pria  tersebut maksud. Tetapi Jira, tetaplah Jira... seorang wanita yang penuh dengan rasa penasaran dan  juga sikap yang tegas. Jimin tidak akam semudah itu membuat Jira tenang—ditengah keadaan yang banyak menaburkan kelimat pertanyaan. Bukankah begitu?.

"Jimin..... Apa yang ku bicarakan—"

"Aku hanya sedang pusing sekarang, Park Jira. Banyak alasan, dan apa yang tengah kau fikirkan... anggap saja itu sebuah kebenaran. Semua beradu menjadi satu, tak terkendali, dan tak beraturan. Aku butuh waktu berfikir, Namun waktu tidak memberikan kesempatan itu. Haruskah kita menyerah dititik ujung masalah ini, Jira?."

Hiraeth • Pjm Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang