Naya memasukkan buku-buku tebal ke dalam tasnya sambil menjepit handphone diantara telinga dan bahunya.
"Ingat sarapan, pokoknya kamu nggak boleh sampai nggak sarapan. Jangan telat makan, vitaminnya juga jangan lupa diminum. Obat-obatan kamu semuanya masih ada?" Sri terus saja berceloteh dari seberang telepon sana, mengingatkan Naya akan banyak hal. Sri masih saja memperlakukan Naya seperti anak kecil."Iya bu, aku udah sarapan sama minum vitamin. Semua obat aku juga masih ada semua jadi ibu tenang aja. Sekarang aku mau ke kampus dulu yah, Assalamualaikum." Terang Naya agar ibunya tidak terus-terusan khawatir padanya yang jelas-jelas sudah menjadi gadis 20 tahun.
"Waalaikumussalam."
Naya menyambar kotak bekal di meja belajar dan segera memasukkannya ke dalam tas. Di depan kamar Naya menoleh ke kamar di sebelahnya, sepertinya Dalisha belum bangun karena memang hari ini dia tidak ada kelas. Kakinya mulai berlari kecil ke tepi jalan raya untuk menemukan angkot yang akan membawanya ke kampus.
Di dalam angkot seorang nenek yang mungkin umurnya sekitar 70 tahun dilihat dari warna rambutnya yang sudah dominan putih mengajaknya berbincang. "Sudah semester berapa nak?"
"Semester 5 nek." jawabnya dengan senyum.
Si nenek mengangguk mendengar jawaban Naya pertanda mengerti. Angkotpun berhenti di pinggir jalan dan nenek itu hendak keluar. Saat sedang berdiri di pintu angkot, belum sempat nenek itu turun dari angkot namun sang supir langsung menjalankan angkotnya membuat nenek itu hampir terjatuh. Naya dengan sigap memegang meraih tangan nenek itu agar tidak terjatuh. "Pak nenek ini belum turun, tolong hati-hati. Kalau jatuh kan bahaya." Tegas Naya yang geram melihat supir angkot itu.
"Maaf dek, maaf yah nek"
Setelah turun dari angkot nenek itu kembali melihat Naya mengatupkan tangannya dan tersenyum untuk berterima kasih. Naya tersenyum kembali, senang rasanya bisa membantu. Nenek tadi mengingatkan Naya pada neneknya yang sudah meninggal ketika ia masih berusia 12 tahun.
"Naya!" seseorang memangil Naya dari arah belakang. Itu Yasa teman kampus Naya yang sebenarnya tidak sejurusan tapi selalu sibuk berseliweran di sekitar Naya.
"Bukannya lo ada olimpiade sains hari ini?" tanya Naya.
"Ada, tapi gue mau minjem pulpen lo dulu. Punya gue ilang." ujarnya berbohong. Yasa ingin melihat Naya sebelum memulai aktifitas belajarnya, Naya menjadi semacam jimat keberuntungan baginya.
"Kantin jauh lebih dekat buat cari pulpen dari pada ke sini jauh-jauh." Naya masih tidak mengerti tingkah temannya itu, yang ia tahu Yasa memang konyol.
Sudah 2 tahu lebih sejak Yasa bertemu Naya untuk pertama kalinya. Waktu itu mereka bertemu di ruang kemahasiswaan sebagai mahasiswa baru yang sedang mengumpukan berkas-berkas kemahasiswaan mereka. Yasa yang lupa mengisi lembar formulir offline kelabakan karena pulpennya hilang dan tidak ada yang bisa meminjamkannya di sana. Naya yang mengetahui Yasa dalam kesulitan sengaja meningalkan pulpennya setelah mengumpulkan berkasnya untuk Yasa. Meski Naya tidak mengatakan apa-apa, Yasa tahu Naya menolongnya. Sejak saat itu Yasa selalu menjadikan pulpen sebagai alasannya untuk selalu bertemu Naya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabitah : Sang Bintang Penunjuk Arah
Dla nastolatkówSetelah perjalanan jauh di dunia yang luas dan buas, menyusuri setiap setapak ego, pasti akan ada satu tempat untuk pulang dan amnesia sesaat -Jenggala