3. Migart Dan Senyum Aria

43 12 15
                                    

Hujan di pagi hari yang cerah. Kalau kata Asep, "wih hujan poyan ini mah."

Oliv mengerjap beberapa kali, sudah tidak terhitung matanya itu mengedip-ngedip ketika Asep menggunakan bahasa Sunda di dunia barunya. Bahkan Aria saja yang sudah mengintip ingatannya hanya sedikit tahu bahasa Sunda yang selalu digunakannya.

Hari ini Asep, Oliv, juga Aria telah menguburkan para korban yang dibunuh Asep di hari kebangkitannya. Tubuhnya dibuat utuh kembali oleh Aria sesuai keinginan Asep, agar dia tidak stres akibat rasa salah.

"Perempuan ini ...."

Oliv mengangguk lemah. Salah satu korban Asep adalah perempuan yang sekarang dalam tanah ini. "Semoga mereka berdua dipertemukan kembali, sebagai ibu dan anak."

Aria memayungi Asep selayaknya pendampingnya. Hanya Oliv saja yang tidak menggunakan payung karena tubuhnya saja dapat ditembus. "Aria, Kang Oliv, saya teh sudah menamatkan buku selama satu minggu ini. Hatur nuhun Aria, kamu sudah bantu-bantu saya memahami seluruh buku di perpustakaan. Pemahaman saya bertambah cepat, walau sihir yang saya keluarkan tidak sebaik diri kamu Aria."

Wajah Aria sedikit memerah. "Sama-sama Asep. Kekuatan saya mungkin tidak cukup banyak untuk membuat anda senang."

"Itu sudah cukup Aria. Saya sudah cukup senang. Ah iya, saya ingin mengunjungi rumah ibu Kang Oliv kalau bisa. Kalau saya boleh tahu, dimana sekarang dia tinggal?"

Kang Oliv sangat terkejut bahkan berteriak keras. "HEH! JANGAN KE SANA! SAYA TIDAK INGIN ANDA MENJADI GILA."

Asep bersidekap. "Saya hanya ingin balaskan penderitaan warga ini."

Aria berdeham, memecah perbedaan paham itu sejenak. "Saya tidak ingin anda bersikap naif untuk membunuh atau melakukan hal kejam lainnya pada keluarga Oliv. Lakukan hal yang seharusnya anda lakukan di umur anda."

"Apa itu?"

Aria mengubah pakaian berkabung miliknya menjadi sebuah seragam sekolah. Almamater putih dan warna rok yang sama, membuat aura Aria terpancar. "Sekolah."

Asep memandang luas kuburan di hadapannya. Desa yang diratakan, hanya ada banyak batu nisan di atas tanahnya. Selama dia hidup di dunia sebelumnya, seratus tahun, sebagai pemenang rekor usia hidup tertua, dia tidak pernah mengalami apa itu sekolah.

Walau sudah merasakan Perang Dunia 2, dirinya yang kesepian sampai akhir hayat tidak pernah merasakan senangnya sekolah.

Tubuh Asep tetiba terjatuh lemah. Kedua lututnya menahan tubuhnya. Keinginan selama hidup panjangnya, sekolah, itu termasuk impiannya selain menikah.

"Saya teh ingin sekolah. Saya miskin. Saya lontang-luntang cari cara untuk hidup. Barter makanan hanya untuk sebuah buku. Saya merasa senang jika akhirnya saya teh bisa sekolah."

Sudut mata Aria dapat melihat sorot mata sendu Oliv. "Saya juga ingin bersekolah."

Asep menengok cepat asal suara itu. Dia merasa Aria sedang mengada-ngada. "Di buku di ceritakan, para Dewi memiliki umur panjang, dan Aria ... kamu teh umurnya ribuan tahun, yakin belajar bareng sama anak sekolahan?"

Aria terkekeh. "Lalu umur seratus tahun juga yakin mau belajar sama anak beda umur?"

Asep tercengang. "Ya-ya sudah, jadi gimana cara sekolah?"

"Izinkan saya menggunakan kekuatan, Asep."

"Silakan, Aria."

Oliv menunjuk dalamnya hutan. Pohon-pohon yang berdiri kokoh itu menandakan seberapa luasnya daerah ini. Pada peta yang pernah dibaca sekilas oleh Asep, tempat ini termasuk terpencil, namun Kota Migart letaknya pun tidak jauh dari kastil. Hanya terpatok dua puluh lima kilometer.

Aria membentuk bintang horus di tanah. Menyebutkan seragam kalimat pemanggilan yang berpola, dengan kelihaiannya sebuah cahaya emas terbentuk. Itu menyorot lurus ke atas, sampai-sampai Oliv dibuat terkejut saat Aria menyebut kalimat terlarang bagi para roh. Hampir saja Oliv musnah.

"Kalian tahu? Surga menjadi tempat para Dewi berlatih. Lalu Neraka menjadi tempat para Dewa bertapa. Mereka terpisah alam, namun saat tingkatan psychì sudah sempurna, masing-masing Dewa dan Dewi harus menikah untuk melahirkan penerusnya sehingga mereka akan tenang saat reinkarnasi lagi."

Aria menarik lengan Asep lembut ke dalam lingkaran itu. Sebenarnya Asep sendiri agak bingung dengan kalimat terakhir, apakah dia melakukan kesalahan menjadikan Aria sebagai pendamping hidupnya? Hingga tidak menikah dengan Dewa.

Aria melihat mata merah suaminya. "Saya tidak keberatan setelah satu bulan merawat anda. Bahkan syarat resmi menjadi suami istri adalah tinggal satu rumah bersama. Jadi jangan meragukan keputusanmu, keputusanmu sudah termasuk keputusan saya Asep."

Asep terpaku memandang senyum Aria. Dia sangat manis dan pengertian, padahal sebelumnya dia stres bagaikan monyet liar masuk kandang.

Tubuh mereka semakin dekat dengan lingkarannya. Hingga terlahap lembut ke dalam sinarnya.

---(Ä)---

Kata Oliv, Asep itu terlalu ceria. Atmosfer saat dia berkeliling kota menggunakan pakaian sekolah membuatnya sedikit dipandang aneh warga Migart. Aira terkikik kecil kala Asep melompat senang sembari memeluknya.

"Hei nak, kalian ini siapa?"

Mereka bertiga berbalik. Orang-orang di pasar melihat tingkah kekanakan Asep hingga membuat beberapa orang risih. "Maafkan saya, saya tidak bermaksud membuat keributan di pasar."

Orang tua itu menggaruk pipinya. Pasalnya dirinya tidak terlalu risih, hanya beberapa pandangan orang yang langsung tidak suka menatap Asep. Kabar keluarga rambut putih belum terdengar ke telinga seluruh orang di dunia, namun kutukan saat menatap mata anggota keluarga itu akan menimbulkan ketidak sukaan orang di sekitarnya.

Aria sebenarnya sudah menutup pandangan orang-orang jika langsung berhadapan dengan mata suaminya, tapi kadang terlepas di beberapa kesempatan. Contohnya ketika Asep memandang langit cerah Kota Migart, pandangan orang secara tidak sadar akan mengarah ke matanya. Jadi tetap berbahaya.

Aria menyerahkan sebuah kacamata menggunakan kekuatannya. Tentu saja Asep sudah memberinya izin.

Kacamata itu dalam sekejap merubah pandangan orang di sekitarnya dan mereka berubah sikap. Entah sihir apa, keberadaan Asep dianggap tidak menganggu lagi. Pak tua yang menemui mereka bertiga juga sudah pergi dengan keadaan linglung.

"Saya akan membuatnya transparan."

Dan jadilah kacamata transparan buatan Aria. Asep memberi acungan jempol pada istrinya.

Walau kegiatan mereka hanya berkunjung ke Kota Migart, Asep bisa melihat seluruh area kota dari atas menara. Menara buatan yang dibuat pemerintah di sana ternyata tidak sia-sia. Suasana saat di atas juga menggambarkan indahnya Migart saat menjelang malam hari.

Lampu Kota Migart menyala sepanjang jalan. Ternyata aliran listrik sudah ditemukan di sini. Jika dilihat lebih teliti, Asep juga menyadari gaya berpakaian tiap-tiap penduduk berpakaian seperti orang Eropa dulu.

"Apa kita tidak akan istirahat dulu? Saya merasakan suami Dewi Aria sangat kelelahan. Udara di taman tidak baik untuknya."

Ya, Asep sangat lelah sampai tepar di pangkuan Aria. Aria memahami acara jalan-jalan yang dilakukan mereka sudah harus dihentikan. "Baiklah Oliv, kita akan ke penginapan Kota Migart."

"Pe-penginapan Kota Migart?"

TBC

Ini Asep kayaknya enak banget punya Aria. Mana ketiduran di pangkuan Aria kalau capek. Kasihan Oliv jadi bawang.

The Inner Eye And The Other World Volume 1[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang