Aku mengemas barang-barangku ke dalam koper setelah sampai di kontrakan. Aku ingin pulang ke rumah, lalu menjadi putri Papa yang akan dibacakan dongeng-dongeng indah sebelum tidur. Menyerah. Aku tidak sanggup mempertahankan hubungan rusak ini. Aku tidak ingin menghabiskan waktu dengan laki-laki yang tidak mencintaiku.
Seseorang pernah bilang, bahwa aku telah salah mencintainya. Jay memiliki banyak kekurangan yang tertutupi oleh ketampanan dan kecerdasannya. Seharusnya, aku bisa memposisikan diri sebagai manusia yang adil, setidaknya untuk diriku sendiri agar tidak dibutakan oleh seseorang. Aku menyeka air mataku saat mengingat sesuatu, bahwa akulah yang nekad membawa hubungan sakit ini ke arah yang lebih jauh, lebih pekat dan tanpa ujung.
Aku mengabaikan rasa perutku yang keram. Sebelum malam menjemput, aku harus sudah sampai di rumah. Jika Papa belum ada di rumah, aku ingin menyembunyikan diriku ke balik selimut. Hatiku perlu rehat. Dia tidak bisa dipaksa untuk selalu kuat. Sekalipun aku akan menjadi seorang ibu tunggal tanpa memiliki hubungan yang sah dengan seorang pria di mata hukum dan agama, aku tetap akan menjaga anak-anakku—yang entah siapa ayahnya—semaksimal mungkin.
Pintu kamar yang sebelumnya tertutup tiba-tiba terbuka lebar karena seseorang memaksa masuk dengan menendangnya. Aku terkejut setengah mati. Mata itu penuh kilatan amarah yang perlahan memangkas jarak, membuatku menjauhkan diri hingga punggungku membentur serat lemari.
Jay mengunci rahangku dengan jarinya. "Lo nggak boleh keluar dari rumah ini!" tegasnya sambil menatapku dari jarak dekat, bahkan napasnya terasa menyapu wajahku.
"Pernikahan besok nggak boleh gagal!"
Apa maunya? Setelah dia marah-marah dan berkata kasar sampai membuat luka di hatiku terasa ditaburi cuka asam, kenapa dia malah ingin melanjutkan hubungan ini?
Air mataku kembali menetes, seakan tidak bisa kering meski dikeluarkan terus-menerus. Rahangku nyeri, tapi Jay tidak mengendurkan kekuatannya. "Sa... kit."
"Lo pikir gue peduli? Apa lo nggak mikir kalau hati gue lebih sakit karena udah lo paksa menjadi ayah dari anak-anak sialan itu?!" Jay memindai tubuhku yang ringkih. "Lo udah bikin dunia gue hancur, perek! Lo sadar, kan, kalau lo udah bikin semuanya berantakan? Huh?!"
"Jangan panggil mereka anak sialan! Mereka anak aku!" balasku dengan suara yang berusaha keras untuk aku keluarkan. "Kamu boleh membenci aku, kamu boleh nggak menganggap mereka sebagai anak kamu. Tapi, aku mohon, jangan benci mereka. Mereka nggak ada salah apa-apa. Semua ini murni kesalahanku!"
Jay membuka mulutnya hendak berbicara, tapi urung saat melihat tubuhku bergetar karena ketakutan. Iya, aku sangat takut. Sosok di hadapanku ini monster, bukan lagi seseorang yang mencintaiku seperti dulu.
Jay melepaskan tangannya lalu mengamatiku dengan arah pandangan tak menentu. Aku merasakan distorsi waktu. Sepertinya akalku telah berkurang banyak. Jay mengusap wajah sebelum mengambil paksa koper-koper yang belum tertutup sepenuhnya itu. Dia meletakkannya ke atas kasur lalu kembali mengeluarkan isinya dengan brutal. Tidak peduli aku telah menyetrika baju-baju itu dengan segenap kekuatan yang kumiliki.
"Lo nggak boleh pergi."
"Tapi kamu juga akan pergi, kenapa nggak kita akhiri aja hubungan ini sekarang?" Pertanyaan itu refleks meluncur dari mulutku, membuat tatapan elang Jay mencabik wajahku.
Tawa ejekan itu kembali muncul. Persis seperti pertama kali aku melihatnya berkelahi dengan rivalnya. "Menurut lo, semuanya bertambah baik-baik aja kalau kita akhiri hubungan sialan ini? NGGAK, GOBLOK! BOKAP KITA BERDUA YANG BAKAL JADI KORBANNYA!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Sebelum Pagi
Roman pour Adolescents🔞(YOUNGADULT - ROMANCE) Jatuh cinta padamu adalah harap yang selama ini kudamba; berada di dasar hati; diselimuti oleh imajinasi liar yang semakin membara. Kita tahu, seharusnya kita saling mencinta dalam diam saja, tapi ternyata kita tak semudah...