Ayahku adalah seorang yang narsis dan
temperamental. Selama 22 tahun, dalam setiap
harinya ayah terus berteriak bagaimana tidak
bergunanya aku. Bahwa aku hanyalah seonggok
sampah yang tak berarti.
Ayah yang seharusnya melindungi, menjaga, menjadi
panutan, dan sosok teladan. Hanyalah mimpi bagiku.
Ibuku sudah lama meninggal. Jadi hanya tersisah aku
dan ayah. Aku tidak terlalu merasa sakit hati saat dia
mengucapkan kalimat yang mengancam, karna
bagiku kalimat ancaman yang dia keluarkan sama
saja dengan ancaman-ancaman yang dia lontarkan
saat lampu merah atau pada orang-orang yang
memotong jalannnya.
Semakin hari semakin memburuk, bagai lingkaran
setan yang tak berujung. Mengenai tidak cukup baik,
tidak cukup pandai, tak cukup sama dengan dirinya
hingga tak layak untuk mendapatkan cintannya.
Temperamen, emosional, tidak sabaran, dan cuek.
Memang sudah sifat ayahku, namun kini saat melihat
dia sekarang menangis sesenggukan dan meneriakan
kalimat umpatan pada seorang pria yang hanya diam,
berdiri memandang kami. Hal itu membuatku merasa
puas. Kepuasan yang ganjil.Kemudian suara lain saat dia melakukan penawaran
atas nyawaku. Di dalam ruangan berdinding coklat
kusam berbauh apek, kami disekap. Entah dimana,
aku'pun tak tau ini dimana. Mungkin ini tempat tinggal
si pria pendiam tadi, yang mungkin juga akan menjadi
kuburan kami. Aku tak peduli lagi akan hal itu, jika
memang aku harus mati. Hidupku tak terlalu
menyenangkan.
"Kau mau uang? Kuberi semuanya! Kulakukan apapun
yang kau minta! Tapi tolong... Kumohon, jangan
lakukan ini pada putriku."
Mendengar itu, air bening langsung luruh membasahi
pipiku, seumur hidup untuk pertama kalinya aku
merasakan ketakutan ayah akan kehilangan aku.
Kalimat yang kuimpikan sejak dulu.
Sosok yang kasar dan gemar menyakitiku, egois, yang
selalu menganggap dirinya paling benar, pusat
perhatian, ayahku yang seorang narsis tulen sampai
ke bulu-bulunya itu, benar-benar memohon pada
seorang yang asing. Demi aku.
Pertama kalinya, dalam hidup kulihat ayah
menunjukan sisi kebapakannya padaku. Sejujurnya,
itulah kali pertama aku merasa layaknya seorang
anak.