Kalau kalian baca cerita ini di platform lain kecuali KBM APP, hati-hati ya gaes. Soalnya sekarang itu ada miror web yang dimana karya kita di copy tanpa pertujuan kita, dan akan berisi malware yang bisa ngrusak ponsel atau laptop. So, bijaklah dalam menghadapi hama ini.
Rencananya dari empat cerita yang di miroring, aku tidak akan tamatkan disini. Sekali lagi aku minta maaf ya. Silakan baca ceritaku yang lain. Empat cerita yang di miroring ini ya. Insya Allah yang Titik Temu sampai TAMAT.
(Our Wedding, Aku, Dia, Kamu, Shaffira, Cinta Beda Usia)Selamat Membaca.
Setiap hari rasanya aku merasa dikejar-kejar waktu, entah dokumen ini itu yang dibutuhkan dalam pendaftaran pernikahan kedinasan. Sungguh sangat melelahkan, apalagi harus melakukan sidang pernikahan. Rasanya kepalaku pening sekali, belum lagi urusan KUA.
Menghela nafas perlahan ternyata semua proses itu sudah aku selesaikan, sekarang aku menatap tenda yang sudah terpasang di depan rumah. Ya, hari pernikahanku tinggal menghitung jam. Baik Kak Anik, Abang, Bapak, dan Ibu disibukkan dengan hajatan ini. Bahkan dari sini aku mampu melihat dekorasi yang sudah dipesan Kak Anik.
"Jangan ngelamun kamu, ikut Kakak saja ke salon. Buat perawatan kulit, selagi Kayla sibuk dengan anak tetangga." Ajak Kak Anik yang aku iyakan saja. Toh, aku disini tidak boleh melakukan apapun. Katanya pamali kalau calon pengantin melakukan hal itu. Yang aku bisa tangkap maksud mereka adalah mereka tidak ingin aku kecapekan nanti saat melangsungkan pernikahan.
Kami datang di sebuah salon yang tidak jauh dari rumah Bapak, disini banyak pilihan untuk memanjakan tubuh. Dari treatment wajah, tubuh, atau hanya sekadar rambut.
"Kamu nurut saja apa yang mereka bilang, ya. Kakak mau ke ruangan samping." Ujar Kak Anik saat aku disuruh masuk ke ruang ganti baju. Di depan ruangan ini ada dua orang perempuan yang akan melayaniku.
"Bisa kita mulai Mba?" Aku mengangguk mengikuti semua yang mereka perintah, dari ujung rambut sampai kaki aku merasakan pijatan bahkan kewanitaanku juga di treatment, katanya ini sudah satu paket, paket calon pengantin.
"Mba biasa saja, kami tidak akan berbuat macam-macam." Ucap wanita yang menyanggul rambutnya tinggi. Disini aku sedikit sungkan, karena untuk kali pertama aku melakukan ini. Bahkan bagian tubuhku yang aku jaga, harus mereka lihat dengan dalil perawatan.
Cukup lama aku disini, hingga tak terasa waktu menginjak malam. Kak Anik mengajakku untuk pulang istirahat, karena besok pagi akan menjadi momen sakral buatku.
"Enak enggak?" Tanya Kak Anik saat melajukan mobil meninggalkan salon. Aku mengerutkan kening, apa maksud perkataan Kak Anik? Enak apanya?
"Maksud Kakak?"
"Itu mu?"
"Biasa," jawabku saat aku menangkap topik pembicaraan.
"Saran dari Kakak ya, kamu pinter-pinter buat merawat diri. Terutama yang itu, bukannya nikah itu masalah hubungan badan saja ya. Tapi disini lebih ke menjaga keharmonisan, bagaimanapun namanya laki ya kalau lihat sesuatu hal yang membuatnya bangkit ya akan bangkit. Jadi kamu harus sedia setiap saat." Belum juga aku menikah, kenapa Kak Anik menasihatiku seperti ini?
"Iya tahu, tapi masa nasihatin kaya gini sih."
Kak Anik tertawa, "ya mungkin saja kamu mengabaikan Rian. Bagaimanapun Rian duda, jadi dia pasti menahan itu sudah lama. Ya, sebagai Kakak ipar yang baik aku nasihati kamu, biar Rian terpuaskan nanti." Ucapnya melantur.
"Ih, siapa coba yang tidak akan melayani. Aku juga tahu mana hal yang harus aku lakukan Kak." Jawabku kesal, memang aku anak sepuluh tahun yang harus dipaksa menikah. Huft.
"Ya, mungkin saja."
***
Keluarga Pak Rian sudah hadir disini, bahkan Bapak dan Abang yang sebagai wali nikah dan saksi sudah duduk manis di meja akad. Aku sendiri tahu dari perkataan Kak Anik. Budaya disini pengantin perempuan akan dipertemukan saat selesai akad.
Suara ucapan sah aku dengar. Aku berdiri dan berjalan menuju ke tempat akad. Sungguh disepanjang jalan, detak jantungku bertalu seakan jatung ini kesusahan untuk memompa darah. Hingga aku sendiri mampu mendengar suaranya.
"Ayo kamu duduk di samping Rian," ucap Kak Anik yang membawaku ke tempat duduk pengantin.
"Ini semua tolong ditandatangani." Ucap penghulu yang pagi ini menikahkanku dengan pria yang berada disampingku. Dengan cekatan aku membubuhi tanda tangan sebagai legalitas pernikahan kami.
"Sekarang pakaikan cicinnya!" Perintah Kak Anik disampingku, aku mengambil cicin perak yang khusus dibuat untuk Pak Rian, memasangkannya di jari manisnya begitu pula Pak Rian yang menyematkan cincin emas di jari manisku.
"Sekarang dilanjut mencium punggung tangan suami dan suami mencium kening istrinya." Aku menerima tangan Pak Rian, menyentuhkannya ke keningku. Begitu juga Pak Rian mengecup keningku lembut. Aku merasakan detak jantungku bertalu saat prosesi ini. Diriku tidak pernah bermimpi atau berharap ada di posisi ini dengan status baru kami yaitu suami istri.
"Terima kasih." Bisiknya saat ia menjauhkan bibirnya dan kami kembali duduk.
Sekilas aku menatap lelaki yang duduk di sampingku dengan binar penuh tanya. Kenapa lelaki ini yang ada di sini? Menjadi jodohku. Bahkan aku bisa melihat dua anak kecil yang duduk bersama Nenek mereka yang tak jauh dari tempat duduk kami.
Ya Allah apa ini takdirku?
Menikah dengan seorang duda yang kukenal beberapa bulan lalu."Ada apa?" Tanyanya datar. Tidak ada kesan romantis di sini. Kami layaknya pasangan yang terlahir dari proses perjodohan. Dingin, kaku, dan nampak tak tersentuh satu sama lain.
"Tidak, saya cuma malu."
"Malu karena saya seorang duda yang menikahi kamu? Begitu?" Menggelengkan kepala aku menampik semua asumsinya.
"Bukan, disini saya tidak pernah menilai orang dari statusnya. Mau duda atau tidak itu bukan hal penting bagi saya. Tapi saya yang seorang guru tidak pernah terlintas dipikiran saya akan berada di situasi seperti ini. Duduk di pelaminan dengan anda, wali murid saya."
Bibirnya tersungging ke atas, antara dia bahagia mempersunting diriku atau hal lain aku tidak tahu.
"Jangan menilai seperti itu, karena sekarang saya suami kamu. Ingat, saya sudah meminta kamu dari Bapak, dan saya sudah melakukan akad di depan Bapak kamu." Jawabnya dengan penuh penekanan.
Pria yang berada di sampingku inilah yang mengakadku tadi pagi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas sepuluh gram. Dialah pria yang berani memintaku kepada Bapak untuk dijadikan sebagai istrinya. Pria pertama dengan sifat dinginnya yang membuatku berubah status dari lajang menjadi menikah.
Ya, dia Rian Wijaya, seorang anggota TNI Angkatan Udara yang menjungkir balikan kehidupanku yang begitu nyaman. Menyandang status sebagai istri di usia muda seperti ini akan membuatku memiliki beban berat apalagi aku harus menjadi ibu sambung yang baik untuk dua anak yang tersenyum ke arahku.
Sesi foto pernikahan kami lakukan dengan adanya Qian maupun Quin. Dua bocah ini sudah rapi dengan kemeja dan gaun cantik yang selaras dengan warna pakaian yang kami kenakan.
"Qian Quin sini, nak. Biar Ayah kalian foto sama Bunda." Tegur sang Nenek yang mencoba mengajak si kembar turun.
"No, Qian mau sama Bunda." Ucapnya dengan menggandeng tanganku erat. Aku tersenyum dan mengangguk, aku tidak menikahi Ayahnya kecuali dengan alasan kedua bocah ini jadi aku tidak akan marah jika pesta pernikahanku akan semeriah ini dengan kehadiran mereka.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Shaffira ✔ (KBM & KARYAKARSA)
General FictionAku menatap lelaki yang duduk di sampingku dengan binar penuh tanya. Kenapa lelaki ini yang ada di sini? Bahkan aku bisa melihat dua anak kecil yang duduk bersama Nenek mereka tak jauh dari tempat duduk kami. Ya Allah apa ini takdirku? Menikah den...