Bahagian Tujuh

5 3 0
                                    

Gatra berjalan lunglai menuju rumahnya. Perasaannya masih kalut karena fakta yang baru saja didapatnya. Belasan tahun sudah ia menunggu, ternyata semesta memang mempermainkannya dengan mengambil Sang Ayah.

"Gatra, ada apa?" tanya seorang wanita paruh baya yang menyambut kepulangan Gatra.

Gatra menggeleng pelan. Tanpa mengeluarkan sebuah kata dia langsung menuju kebiliknya. Jelas saja, ini membuat Sang Ibu mengkhawatirkannya. Rasanya berangkat tadi putranya tampak ceria, mengapa saat pulang menjadi tak ada rasa?

Waktu berselang, kini saatnya makan malam. Karena sekarang weekend, suasana makan malam ini terasa lengkap. Ayah yang sedang libur bertugas dan masakan bunda yang pastinya sangat lezat.

"Gatra, ayo cerita. Kamu tampak murung, tak seperti biasanya." Sang Bunda membuka suara.

Helaan nafas dalam terulun dalam diri Gatra. Siap tak siap memang harus diceritakan 'bukan? Agar dirinya merasa lega. Gatra menatap lekat kedua orang tua angkatnya. Netranta sudah berkaca-kaca sebelum memulai ceritanya.

"Ayah ternyata sudah meninggal. ." Pekik Gatra lirih dengan menunduk.

Tak kuasa menahan tangisnya, kini air matanya sudah pecah membasahi pipinya.

"Maksudmu?" tanya Sang Ayah angkatnya.

"Ya. . Ayah kandungku ternyata sudah meninggal dua tahun lalu. Setelah aku menanti kembalinya, ternyata dia benar-benar kembali. Kembali kepelukan Tuhan.." ujar Gatra.

"Dari mana kau tahu?" Kini Sang Bunda kembali bertanya.

"Dunia sepertinya memang sempit Bun. Ibu dari sahabatku ternyata istri barunya. Yang mungkin saja ayah meninggalkanku karena tak mau repot saat hidup dengannya. Mereka melahirkan anak kembar. Eri dan Hano ternyata adikku.." Ucap Gatra.

"Benarkah?" Tanya sang Bunda.

"Benar. Jadi apa yang harus aku lakukan jika ku bertemu dengan Eri? Tak mungkin jika aku langsung mengaku sebagai kakaknya. Dia tak akan percaya," pekik Gatra.

"Sebaiknya memang tidak dalam waktu cepat kau mengatakannya. Tunggu saat yang pas Gatra, tapi karena kau sudah tahu mereka adik-adikmu. Lindungi mereka ya, jangan sampai mereka terluka." Kini Sang Ayah yang memberi wejangannya.

Gatra mengangguk lalu menyeka air matanya sendiri. Perlahan dia tersenyum. Kali ini tujuannya bukan lagi sang Ayah, melainkan melindungi adik-adiknya. Dia juga tak lupa jika sebelumnya pernah berjanji dengan Hanasta.

...

Hari ini cerah secerah senyum Hanasta pagi ini. Moodnya sangat baik, dan ini tak seperti biasanya. Entah apa yang terjadi hari ini, dia merasa senang.

"Gatra!" Panggilnya sembari berlari kecil mensejajarkan langkah sahabatnya.

Sang pemilik nama menoleh, namun tak memberikan ekspresi apapun pada si pemanggil. Dia mempercepat langkahnya, membuat sahabatnya merasa heran dengan sikapnya.

"Gatra, hari ini cerah ya. Selamat pagi," Sapa Hanasta yang masih berusaha menyamakan langkahnya.

"Pagi juga. Lebih baik jangan dekat-dekat denganku hari ini jika tak mau hari cerahmu rusak," Jawab Gatra dan langsung meninggalkan Hanasta.

Hanasta menghentikan langkahnya. Mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh sahabatnya, aneh pikirnya. Sepertinya dia tak memiliki salah dengannya.

"Ada apa?" gumam Hanasta sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal lalu menggelengkan kepalanya dan menyusul sahabatnya menuju kelas.

"Loh, tempat dudukmu disini Gatra." Pekik Hanasta saat melihat sahabatnya berpindah tempat duduk.

"Aku hanya ingin sendiri. Jangan ganggu diriku hari ini," jawab Gatra lalu merebahkan kepalanya diatas meja yang sudah beralaskan dengan tasnya.

Hanasta mengehela nafas dalam dan menunduk sembari menganggukkan kepalanya pelan. "Baiklah."

Dia berpikir jika memang tak ada yang mau berteman dengan seorang akromasi sepertinya. Dengan lunglai dia menuju kebangkunya dan duduk. Hari cerahnya kini benar-benar rusak.

"Semoga harimu menyenangkan Gatra," gumam Hanasta pelan.

Sayup-sayup suara Hanasta terdengar dari telinga Gatra. Dan senyuman tipis berhasil tercipta dari bibir manisnya.

°°°°°°°°

RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang