Prolog

282 61 15
                                    

Langit pagi yang pucat terbentang di atas kota Jakarta yang selalu sibuk, seperti kanvas besar yang menampung hiruk pikuk manusia. Di tengah-tengah keramaian, di sebuah apartemen sederhana di pinggiran kota, Mada Sagara menatap pemandangan kota yang tak akan lama lagi menjadi kenangan. Suara kendaraan beradu di kejauhan, klakson yang membunyikan nada serupa simfoni kacau, dan orang-orang yang berlalu-lalang dengan tergesa-gesa seolah dunia ini tidak pernah beristirahat. Mada menghela napas panjang, membiarkan kesibukan di luar sana meresap perlahan ke dalam dirinya, berharap bisa membawa pulang rasa nyaman yang kian sulit ia temukan.

Mada bukan anak kota yang sempurna, namun ia telah tumbuh bersama darah metropolitan yang tak pernah berhenti mengalir. Setiap sudut jalan dan pusat perbelanjaan menyimpan kenangan; kenangan bersama teman-temannya, kehangatan hangout di kedai kopi, dan kegembiraan masa remaja yang serba cepat. Kepindahan keluarganya ke desa kecil yang tak pernah ia dengar sebelumnya, seolah menghentikan semua itu begitu saja. Terlalu mendadak. Terlalu asing. Terlalu jauh dari apa yang ia bayangkan sebagai rumah.

Keputusan untuk pindah bukanlah hal yang mudah, apalagi bagi Mada yang baru berusia tujuh belas tahun dan baru saja naik kelas tiga sekolah menengah atas. Ayahnya, Arion Sagara, bekerja sebagai pegawai kantoran yang sering lembur tanpa henti, sementara ibunya, Raya, seorang ibu rumah tangga yang selalu sibuk dengan pekerjaan rumah dan sesekali membuka usaha kecil-kecilan untuk menambah penghasilan. Hidup di Jakarta memang menantang, namun bagi Mada, tantangan itu sudah menjadi bagian dari kehidupannya yang ia terima dengan senang hati. Meski sering kali terasa melelahkan, ia tak pernah benar-benar membayangkan harus meninggalkan kota yang ia cintai ini.

Tetapi segalanya berubah beberapa bulan lalu. Sebuah pandemi global melanda, merontokkan segala yang dianggap pasti, termasuk pekerjaan dan kestabilan finansial keluarganya. Ayah Mada kehilangan pekerjaannya dalam waktu singkat, dan tabungan mereka semakin menipis untuk menutupi biaya hidup di kota yang terus meningkat. Dengan tekanan yang semakin besar, orang tua Mada memutuskan bahwa mereka perlu memulai kembali di tempat yang lebih sederhana, tempat di mana biaya hidup tidak menjadi momok yang mengintai setiap hari. Desa kecil di mana ayahnya dibesarkan tampaknya menjadi pilihan terbaik—terjangkau, tenang, dan jauh dari hiruk pikuk kota yang serba cepat.

Mada mendengar keputusan itu pertama kali ketika ia sedang makan malam bersama keluarganya, di atas meja makan kecil yang biasa mereka gunakan. “Kita akan pindah ke desa dalam sebulan,” ujar ayahnya tiba-tiba, seolah-olah itu adalah hal paling sederhana di dunia. Mada nyaris tersedak makanannya, menatap ayahnya dengan ekspresi bingung. Pertanyaan berkelebat di kepalanya, namun hanya satu yang benar-benar ingin ia tanyakan: Mengapa?

Ayahnya menjelaskan panjang lebar tentang penghematan, tentang kesempatan untuk memulai hidup baru, dan tentang bagaimana desa itu akan menjadi tempat yang lebih baik untuk mereka semua. Mada mendengarkan, namun tak satu pun kata-kata itu benar-benar menghapus kekhawatiran yang menggelayut di hatinya. Baginya, desa hanyalah tempat yang jauh dari semua yang ia kenal, tempat di mana impian masa mudanya mungkin tidak akan menemukan jalannya. Bagaimana mungkin ia menemukan hal yang menarik di tempat yang begitu jauh dari teman-temannya, sekolahnya, dan segala hal yang ia anggap penting?

Malam sebelum hari keberangkatan, Mada berdiri di balkon apartemen kecil mereka, menatap lampu-lampu kota yang berkerlap-kerlip seperti bintang di bawah sana. Rasanya ada sebuah tarikan kuat yang membuatnya ingin tetap tinggal, meski ia tahu bahwa pada akhirnya, ia harus melepaskan. Pindah ke desa bukanlah pilihannya, tetapi ia tahu bahwa ia tak punya banyak pilihan. Bagaimanapun, keluarganya adalah satu-satunya yang ia miliki, dan ia tak mungkin meninggalkan mereka.

Saat subuh tiba, Mada dan keluarganya mengemasi barang-barang terakhir mereka, memasukkannya ke dalam mobil sewaan yang akan membawa mereka ke desa itu. Perjalanan panjang menanti, dan semakin jauh mereka meninggalkan kota, semakin sunyi suasana di dalam mobil. Hanya suara radio yang samar terdengar, sesekali diselingi oleh isak napas Mada yang mencoba menerima kenyataan baru ini.

Bagi Mada, hari itu adalah awal dari sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya. Ia belum tahu apa yang menantinya di desa kecil itu, atau bagaimana kehidupannya akan berubah. Yang ia tahu, ia meninggalkan sebagian dari dirinya di kota ini, berharap suatu hari nanti bisa menemukannya kembali. Dan tanpa ia sadari, kepindahan ini adalah awal dari cerita baru yang akan membawanya ke arah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sebuah perjalanan menuju cinta, persahabatan, dan pencarian jati diri yang tersembunyi di balik warna-warna yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dibalik Warna & CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang