Racun Lembah Neraka Hijau

591 63 1
                                    

Gerimis membasahi batu dan dedaunan.Suasana lembab dan dingin terasa di reruntuhan istana Jalma Mati.  Langit masih gelap tetapi diujung sana mulai terlihat titik terang yang menandakan sebentar lagi sang surya akan terbit. Pertarungan yang melelahkan melawan ratu iblis telah menghabiskan waktu satu hari dua malam di dunia manusia, dan entah berapa bulan di alam Demit. Hari ini satu pemuja iblis telah berhasil disingkirkan dari muka bumi, alam seakan gembira,  menyampaikan restunya melalui lambaian dedaunan dan rintik hujan.

Dua sosok perlahan muncul dari bayangan gerbang istana yang gelap, terdengar suara siutan panjang dan sesosok gadis berbaju biru berkelebat di udara dan menancapkan senjata ke arah dua sosok tadi.

Trangg

Pedang Candika seperti menabrak dinding tebal dari baja, ia  terlontar mundur tiga langkah. Namun wajahnya yang cantik tidak marah, malahan ceria saat kedua sosok tersebut mulai terlihat jelas dibawah bayang rembulan.

"Kakang Larantuka!"

Para prajurit Kalingga dan warga desa Bakor yang sedari tadi menunggu dan bersiaga keluar dari semak-semak, mereka segera mengerubungi Larantuka bak semut menemukan gula. Darkun sang sepuh desa Bakor baru bisa bernapas lega melihat ada orang selamat dari reruntuhan Istana Jalma Mati.

Langkah Larantuka terseret  di punggungnya ia memanggul wanita berbaju kuning dengan mata terpejam. Disampingnya Murni berjalan dengan raut muka murung sementara di punggungnya memanggul buntalan entah berisi apa.

"Kakang kenapa dengan Candini adikku? apa ia terluka?"

Pendekar itu membaringkan Candini yang tergeletak lemas diatas sebuah batu granit besar. Tampak kulit Candini berwarna kebiruan pertanda ada racun ganas yang mengancam jiwanya.

Wajah Larantuka membesi terngiang kata terakhir dari Nagindi, Racun Tujuh Langkah dari Neraka Lembah Hijau. Pikiran lelaki mancung itu berkelana ke beberapa waktu lalu. Sebuah tempat teramat jauh dan amat ditakuti dari segala kalangan baik bangsa manusia maupun kaum demit.  Tak ada yang mau mendengar nama tempat itu apalagi menginjakkan kaki disana. Bagaimana bisa siluman ular itu menyimpan racun mematikan dari tempat terkutuk?

Candika memperhatikan dua titik di tangan adiknya, seperti akibat luka gigitan ular yang menyisakan lubang kecil berwarna biru dengan tujuh urat garis yang semakin memanjang. Gadis itu menoleh ke Larantuka dengan wajah penuh tanya.

Terdengar suara desisan.

"Tsk Bocah ini tak akan selamat, jika benar apa yang dikatakan siluman wanita itu maka nyawa gadis ini hanya tersisa tujuh langkah lagi." ujar Sancaka sambil berdesis  diantara jubah hitam Larantuka. Lidahnya bergetar diudara seperti hendak membaui suasana yang mencekam.

Seluruh orang disana terperangah ada ular hitam yang berbicara, mereka kembali bangkit waspada.

"Siluman! pasti kau yang meracuni pendekar Candini!" gertak seorang prajurit.

"Tolong Sabar! Ular ini adalah kawan! dia bukan musuh, dia sudah bersama pendekar Larantuka sedari awal" sergah Murni.

Prajurit itu saling berpandangan dengan rekannya sementara para warga desa melirik sambil berbisik-bisik seakan tidak percaya.

"Sebenarnya Racun apa yang begitu ganas ini kakang? kenapa dia tak juga sadar?" tanya Candika panik, tangannya memeriksa dahi adiknya yang panas.

"Itu adalah racun Tujuh Langkah dari Neraka Lembah Hijau, racun mematikan yang akan membunuh jiwa korban apabila berjalan dalam tujuh langkah. Gadis ini nasibnya ... pasti mati!" ujar Sancaka. 

Murni yang sedari tadi tertegun melihat kejadian ini membuka suara, "kakang Sancaka apa yang terjadi? Apakah racun itu sungguh mematikan? A-apa itu Neraka Lembah hijau?"

Sancaka menoleh kesal. "kau bocah bau kencur tak mengerti bahwa bisa ular itu sangat mematikan karena berasal dari tempat itu, Neraka Lembah Hijau adalah tempat dimana seluruh sumber Racun di dunia berasal. Tidak ada Demit ataupun manusia bisa menentang kehendak penghuni Lembah sialan itu apalagi menawarkan racun yang mereka miliki."

"Tidak adakah obat atau petapa sakti yang mampu menolong Candini?" tanya Candika.

Sancaka menggeleng, "Yang bisa mengobati tentu hanya kalangan mereka sendiri. Itupun jika mereka mau membuka diri setelah beratus tahun tinggal di tempat terpencil. Tempat itu sangat jauh, walaupun gadis ini tidak melangkah tujuh kali  aku percaya gadis ini akan menemui ajal dalam waktu tiga hari "

Suara Candika tertahan, ternyata racun itu begitu kejam dan berbahaya.

"Aku tidak akan membiarkannya terjadi, dengan segala kemampuan yang kumiliki aku akan menyelamatkannya." bisik Larantuka.

Lelaki itu segera menyesap pergelangan Candini dan meludahkan darah hitam bercampur racun ke tanah. 

"Dasar bodoh" bentak Sancaka terperanjat. Ular itu menggeliat dengan kesal. "Kau mempertaruhkan nyawamu sendiri dengan menghisap racun mematikan itu, ingat gadis ini tak berhutang apa-apa kepadamu. Dia sendiri yang menjemput maut. Cepat hentikan tindakanmu! Arrgghh"

Ular itu menggeliat gatal, karena tubuhnya ikut menyatu dengan Larantuka ia mulai merasakan efek racun yang dahsyat. Walaupun racun itu cuma sekedar lewat di mulut Larantuka yang sudah dilindungi tenaga dalam tetapi daya lumpuhnya masih terasa.

"Tobat! Gatal!"

Larantuka tak mengindahkan rasa kebas dalam mulutnya, ia segera bersila, telapak tangan diangkat ke atas dan ditempelkan ke dada kiri Candini. Perlahan hawa murni kitab Pusaka Langit mengalir ke lengan lalu ke dada Candini, kali ini pemuda itu tak main-main, ia berkonsentrasi sehingga asap mengepul dari belakang kepalanya.

Perlahan terlihat dengkus nafas dari Candini, dadanya bergerak naik turun, semburat merah di wajah terlihat, gadis itu mulai bernafas lemah. Matanya tetap terpejam.

"heh percuma tenaga dalammu kau berikan, hanya bisa mengusir racun itu sementara saja. Besok pasti akan lebih parah!" seru Sancaka.

"Lalu apa saranmu? bagai mana cara menyelamatkannya?" bisik Larantuka.

Ular hitam itu mengeliat dan memandang ke sekeliling penuh rasa kesal. Seluruh pasang mata terpusat pada ular hitam itu.

"Heh Racun lawan Racun! akan kuberikan racun hitamku yang berharga  pada gadis ini untuk melawan racun Neraka lembah Hijau. Jika dia mampu menahan keras racun Hitam maka Satu tetes racunku bisa menghalangi kerja Racun tujuh Langkah selama satu minggu. Jika kita bisa sampai ke neraka Lembah Hijau dalam waktu Enam Minggu maka nyawa gadis ini mungkin akan terselamatkan!" ujar Sancaka.

Murni terbelalak, menambah racun lagi bukankah akan sangat beresiko? tetapi  siluman ular hitam ini tampak sangat yakin akan perkataanya.

"Kenapa tidak kau beri lebih lama lagi pada Candini agar ia punya waktu lebih banyak?"

Ular itu menyeringai, "Manusia manapun tidak akan selamat dari tujuh tetes Racun Hitamku!"

Candika memandang ke arah Larantuka penuh harap, pemuda itupun mengangguk menyetujui usul Sancaka.

Tanpa menunggu waktu lama Ular itu menggigit lengan kanan Candini menyisakan dua titik kecil lubang berwarna hitam. dari kedua lubang itu lantas timbul urat hitam memanjang ke arah jantung lalu kemudian menghilang tanpa bekas.

Tiba-tiba sekujur tubuh Candini bergetar hebat, dadanya naik turun sementara keringat sebesar biji jagung mengalir deras di dahi. kedua pendekar itu memegangi pundak Candini agar tidak terjatuh. Beberapa saat Candini melemah tak mampu bergerak maupun bernapas lagi.

"Heh mati juga" desis Sancaka.

"Candini kau harus kuat!" teriak Candika dengan airmata penuh mengalir. "Ingat kau adalah wanita kebanggaan keluarga, kau lincah, selalu penuh semangat, pintar dan kuat. Bangunlah Adikku!" 

Gadis berbaju biru itu memeluk tubuh adiknya erat-erat. Suasana menjadi penuh haru, beberapa warga menghapus air mata dengan lengan baju masing-masing.

Gerimis jatuh, membasahi bebatuan
Tetesnya mengundang kesejukan

ujing sinar Matahari mulai terbit di ufuk timur.

Perlahan terlihat suatu keajaiban terjadi,   mata Candini mulai bergerak ke kanan dan kekiri, dan akhirnya kelopak mata gadis itu perlahan terbuka.

(Brersambung)

LARANTUKA  PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang