Ini adalah pagi yang cerah, musik klasik My sweet and tender beast yang diputar dari Gramophone tengah mengalun nyaring ditelinga sang penikmat yang tengah duduk bersimpuh menghadap kearah terbitnya sang surya dengan kedua tangan yang dilipat diatas Footstool dan wajah yang bertumpu diatas sana. Kala itu cahaya sang surya sangat terang seolah menyoroti dirinya yang tengah merana, meratapi seonggok kenangan masa lalu semata tatkala sang pelipur lara tak urung tiba membawanya bangkit, menghapus duka lama.
Kala itu sang empu terpejam meresapi musik yang tengah mengalun, membawanya hanyut dalam damai dan mengulang memori indah semasa dulu. Detik demi detik ia habiskan untuk terus terdiam ditengah sunyi dalam kamarnya dan hanya ditemani oleh Gramophone yang menjadi satu-satunya pemecah kesunyian diruangan itu, sayup-sayup telinganya mendengar suara kicauan burung yang terdengar seolah semakin mendekat.
Maniknya yang bulat nan sayu terbuka, sehingga iris kelabu itu terpancar jelas seolah mengkilap yang kini terlihat berbinar karena cahaya sang surya yang begitu setia menyoroti dirinya. Sebuah senyuman mengembang dibibir plum yang telah dipolesi dengan lip gloss, bibirnya berwarna merah muda.
Indera pendengarannya ternyata tak salah, seekor burung kenari kecil berwarna kuning terang tengah bertengger dijendelanya, membuat bibir indah itu semakin melengkung, membentuk sebuah senyuman yang semakin lebar. Jemari lentik itu mulai bergerak menyentuh burung kecil itu, lantas mulai membelai kepala burung itu dengan jari telunjuknya. Namun burung itu terbang kembali menyisakan sang empu yang tengah terperangah kecewa menatap bagaimana burung kecil itu berhasil membuatnya tersenyum dan terbang setelahnya.
Helaan napas kecil terdengar dari belah bibir indah itu, dan beberapa detik setelahnya sang empu memilih berdiri dan berjalan menuju Gramophone, menatap sekilas lalu pergi begitu saja, entah apa tujuannya menatap benda itu sekilas.
Sepasang kaki jenjangnya membawa dirinya keluar dari kamar, melangkah tenang menuruni tangga dengan gaun panjang yang menjuntai ke lantai.
"Lalice Elvarette"
Begitu namanya disebut, sang pemilik segera menoleh kearah ruang tengah pada rumah itu. Punggungnya disentuh begitu ia sampai disana hingga membuat Lalice tersenyum membalas.
"Dia adalah keponakanku"
Itu adalah suara sang Bibi yang memperkenalkan Lalice entah pada siapa, seseorang yang Lalice perkirakan berusia dipenghujung lima puluh namun tak meninggalkan kesan berkelas dan mewahnya, wajahnya secerah mentari dan senyumnya seindah pelangi. Terlihat sangat cantik sehingga membuat Lalice tersanjung menjabat tangan halusnya.
Wanita itu memandangi Lalice dari ujung kaki sampai ujung kepala seolah tengah meneliti penampilan Lalice, lalu tersenyum ramah setelahnya dan berjalan mendekati Lalice. "Jika berkenan, aku ingin memperkenalkan putra tunggalku padamu Mademoiselle Elvarette"
Well, Lalice tak terkejut lagi mendengarnya karena ia sudah cukup hafal dengan kebiasaan sang Bibi yang hanya datang membawa orangtua salah satu pria dari manapun ataupun pria itu langsung, untuk menjodohkan Lalice.
KAMU SEDANG MEMBACA
IRIDESCENT [Taelice Oneshot]
FanficDon't trust too much. Don't love too much. Don't hope too much. Because that "too much" can hurt you so much. update according to mood Inspired from anywhere.