Chapter 21

28.5K 3K 111
                                    

Begitu membuka mata, aku menoleh melirik jam di atas nakas yang menunjukkan pukul tujuh pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Begitu membuka mata, aku menoleh melirik jam di atas nakas yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Setelahnya aku menyadari satu hal, kepalaku tak berada di atas bantal, sontak aku bangkit lalu melihat tangan Sean berbalut perban lah yang menjadi bantalku.

"Oh shit, tangannya berdarah," pekikku panik langsung turun ranjang dan berlari mendekati lemari, mengambil kotak obat.

"Bang, bangun!" Ku tepuk-tepuk pelan pundak Sean. "Bangun, ish, luka lo berdarah."

Bukannya bangun Sean justru mengubah posisi menjadi memunggungiku. Bagaimana cara membangunkan Sean? Siram air—no! Dia lagi sakit, kasihan. Dicium—itu juga ide yang buruk, mana ada orang tidur bisa bangun karena dicium.

Aku menghela napas sejenak, aha, aku dapat ide. Segera aku berpindah posisi, mendekat ke arah wajah Sean lalu memencet hidungnya agar ia tidak bisa bernapas.

Berhasil, tiba-tiba Sean membuka mata cepat seraya berkata. "Lo mau bunuh gue?" Ia menarik napas rakus.

"Jangan sembarangan nuduh ya! Gue cuma mau bangunin lo."

"Mana ada bangunin! Yang ada lo mau gue mati."

"Ada lah, buktinya lo bangun kan? Nggak mati."

"Udah ah ngomelnya, sini tangan lo."

Sean melirik tangannya yang diperban berdarah. "Kenapa tangan gue berdarah?"

"Nggak sengaja gue tindihin. Sini, gue obatin." Aku meraih tangan Sean. Membuka perlahan perbannya, mengobati, dan membungkusnya kembali dengan perban baru.

"Tuh, udah." Aku beranjak menyimpan kotak obat ke tempatnya semula. "Lo istirahat aja di sini kalau nggak mau balik ke kamar lo yang panas itu. Nanti gue suruh Pak Willy panggil tukang AC buat benerin AC kamar lo."

"Istirahat apaan? Gue mau ke sekolah."

"Nggak usah sekolah dulu! Badan lo pasti masih sakit kan? Lo juga luka-luka."

"Gue—"

"Udah nggak usah ngeyel! Diam aja di rumah." Aku menyela.

Aku turun ke lantai dasar lalu menemukan Daddy di meja makan.

"Pagi, Dad," sapaku lantas duduk di hadapan Daddy.

Daddy membalas sapaanku selanjutnya ia bertanya. "Kamu nggak sekolah? Kenapa belum siap-siap?"

Aku menggeleng. "Kasian abang, Dad, ditinggal sendirian di rumah."

A or A [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang