Chapter - 15. Patience

416 49 9
                                    

HAPPY READING 📖

-------------------------------------------

Tak ada angin, tak ada hujan, Zeus dan Bree tampak akrab di taman. Awalnya sempat berdebat karena Bree semula di taman, malah didatangi Zeus dengan alasan malas di kamar. Kini, mereka saling membantu dengan memotong tanaman menjadi bentuk lingkaran atas usulan Bree, meskipun masih terselip debat-debat tak jelas.

"Kau potong bagian situ, aku bagian sini. Kan, sudah kubilang!" protes Bree tak terima saat Zeus berdekatan, bahkan tepat di sampingnya sembari memotong dedaunan yang jelek.

"Aku sudah selesai di situ. Jadi kubantu di sini." Bree menarik napas kemudian berjalan cepat ke posisi yang sudah ia berikan untuk Zeus. Saat melihat hasil pekerjaan Zeus berantakan, ia membuang napas kasar dan kembali mengomel.

"Kau memang tak punya telinga dan mata, ya? Lihat, pekerjaanmu belum selesai! Masih banyak dedaunan yang kering dan batang-batang tak berguna di sini!"

Zeus hanya terkekeh tak peduli. Ia masih sibuk menggunting batang kecil di tempat Bree.

Malas berdekatan dengan Zeus, Bree memilih mengambil pekerjaan di posisi Zeus. Namun, belum beberapa menit, Zeus sudah berpindah tempat di sampingnya. Ia menoleh dengan alis menukik tajam.

"Kan, sudah kuduga kau memang sengaja!"

Tawa Zeus meledak. Ia memegangi perutnya karena tergelitik dengan ocehan Bree. Ternyata Bree sudah menduga terlebih dulu.

"Kau memang cerdas sekali, Sayang." Masih dengan tawa, Zeus mengacak rambut Bree dengan tangan kirinya. "Gemas sekali!"

Bree menghindar, kemudian memalingkan wajah. Entah mengapa, ia merasakan pipinya memanas. Suara tawa, senyum, dan mengamati mata itu agak menyipit, seperti tidak asing. Ia merasa pernah mendengar tawa nyaring itu. Apalagi Zeus sempat menatapnya dengan senyum yang aneh. Bukan, bukan senyum Zeus yang aneh, melainkan sensasinya. Ia pernah mengenal senyum itu, tapi kapan?

Zeus menghentikan tawanya. Ia meyentuhkan tangannya ke dagu Bree kemudian menghadapkan tepat ke arahnya perlahan. "Jangan malu. Tidak mungkin kau terpana dengan wajah jelekku, kan?"

Sudut bibir Bree terangkat, membentuk ejekan. "Ya, tidak mungkin aku terpana. Malah aku ingin menggunting wajahmu agar lebih buruk! Dasar jelek!"

Kekehan geli mengalir dari bibir Zeus. "Iya, Sayang. Aku memang jelek. Kenapa? Kau mau melihatku dulu saat masih tampan?"

Sadar dengan perlakuan Zeus, Bree menjauhkan wajahnya sembari berdecih. "Tidak perlu! Ada suamiku yang lebih tampa dari kau!"

"Kau takut berpaling?"

"Tidak. Kau pikir, kau setampan apa? Lagi pula, itu dulu! Ingat, d.u.l.u!" tekan Bree sembari melanjutkan kegiatannya.

"Kalau aku tidak jelek, kurasa kau akan langsung jatuh cinta, kan?"

"Kau pikir aku semurahan itu?"

Zeus mengangkat bahunya. Ia juga melanjutkan aktivitasnya kembali tanpa membuka suara. Keheningan melanda dalam beberapa menit. Tak tahan dengan kesunyian, Zeus kembali membuka mulut.

"Aku tahu mantan suamimu itu gay."

Bree menegang sesaat. Sial! Hal pribadi tentang mereka pun, Zeus tahu? Ia tidak menyangka Zeus benar-benar membuntutinya begitu dalam. "Kau benar-benar penguntit, ya? Itu urusan pribadi! Lagi pula, itu tidak benar. Gosip dari mana itu? Cih, sampah sekali!"

Zeus tersenyum kecut. "Aku tahu semuanya. Dia tidak bisa memenuhi kebutuhanmu, ya, karena itu. Keluarga mereka sengaja menutupi aib Lewis pada keluargamu sebagai perkembangan bisnis sekaligus membuat Lewis terhindar dari omongan publik. Kau dan keluargamu sudah ditipu." Kekehan kecil mengalir dan itu terdengar terpaksa. "Hanya karena keluarga kalian berteman, tega sekali menyakiti anak-anaknya."

"Kau tidak tahu apa-apa, jangan berbicara jelek tentang keluargaku! Aku akan mencungkil mulutmu dengan ini kalau kau masih tidak menghentikan semua omong kosongmu!" Bree mengacungkan gunting taman tepat di depan Zeus, mengancam dengan mata melotot karena ia tidak suka keluarganya dibawa-bawa, meskipun apa yang Zeus katakan memang benar. Ia tidak mau berita yang mungkin saja tersebar dan akhirnya terdengar oleh Zeus, membuat pria ini malah menjelekkan keluarganya.

Zeus menghadap Bree. Dihela napas kemudian menatap sendu Bree yang masih belum tenang. "Sampai kapan kau mau membela mereka? Sampai kapan kau mau menutup fakta yang menyakitkan itu? Tinggallah bersamaku selamanya. Aku bisa menjamin kau tidak akan lagi mendapat tekanan batin itu."

"Tahu apa kau tentangku, hah? Jangan karena aku sedikit berbaik hati, kau sudak melunjak!"

Zeus kembali menatap tanaman. Ia ingin menjelaskan semuanya, namun ia benar-benar tidak bisa. Semua ini sulit. Astaga, kenapa Bree tidak menurut saja? Kenapa wanita ini semakin keras kepala?

"Kau akan mengerti maksudku." Zeus berbalik, hendak pergi karena ia merasa perbincangan ini akan menyakiti keduanya. Namun, ia berbalik lagi menghadap Bree sembari berkata, "Ayo, kita ke ruang makan." Tangannya terulur, berharap Bree tidak mengabaikannya.

Bree melihat tangan itu kemudian beralih ke wajah Zeus. Tiba-tiba ia terserang pusing. Kilasan buram menyentaknya hingga ia mematung. Kenapa ia lagi-lagi merasa tak asing? Kenapa ia seperti mengenali postur itu? Kenapa ia seperti pernah mengalaminya? Apakah ini reinkarnasi dadakan?

Matanya mengamati postur berdiri Zeus, kemudian secpat kilat ia berjalan, melewati Zeus karena ia tidak bsia lagi melihat pemandangan itu. Ia ingin berteriak, melontarkan makian karena Zeus membuatnya sakit.

Zeus menatap nanar tangannya yang diabaikan. Ini adalah ujian terbesarnya. Kesabaran. Entah sampai kapan ia harus bersabar, karena kesabaran ini cukup menyakiti. Ia meneguk saliva, kemudian mengikuti Bree dari belakang sembari berteriak, "Kau akan mencintaiku, Bree!"

Ya, ia percaya, tak lama lagi, mungkin saja Bree akan mencintainya tanpa diperintah. Dengan senang hati ia menerima. Ia terkekeh, karena Bree mengacungkan kedua jari tengahnya ke udara. Setidaknya, ia tak lagi kesepian di rumah sebesar ini.

.

.

.

TO BE CONTINUED

Ugly Kidnapper ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang