13

1.9K 149 0
                                    

Hola, selamat hari minggu gaes. Mau ingetin kalau cerita ini sudah update sampai Bab 21 di KBM APP ya.
Buat kalian yang mau hemat silakan mampir di Karyakarsa ya gaes, murce 6K 5 Bab.

 Buat kalian yang mau hemat silakan mampir di Karyakarsa ya gaes, murce 6K 5 Bab

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Selamat Membaca

Aku menatap Bapak Ibu yang berdiri mengantar kami sampai di depan mobil. "Fira pulang dulu ya, Pak Buk. Jaga kesehatan Bapak Ibu. Fira sayang Bapak Ibu."

Nampak genangan air mata di mata Ibu, bagaimanapun ini perpisahan kami untuk pertama kali dalam seumur hidupku. Ibu mendekat dan memelukku, mengusap punggung ini lembut. "Ibu akan jaga kesehatan disini, kamu disana jangan lupakan status baru kamu, ingat sekarang tanggung jawab kamu ada di pundak suami. Jadi jangan membantah apa yang diucapkannya kalau itu sebuah kebenaran."

"Iya, Fira janji."

"Bagus." Aku berganti ke Bapak, mengucapkan izin untuk membangun rumah tangga sendiri.

"Doa Bapak hanya satu, jadilah istri yang sholehah. Buatlah rumah tangga ini sebagai pintu kebaikan buat kalian." Aku merengkuh tubuh pria yang menjadi cinta pertamaku, pria yang mengajarkanku tentang manis pahitnya hidup.

"Insya Allah, Pak." Air mata yang sudah aku tahan akhirnya tembus juga.

"Jaga anak Bapak ya, nak Rian. Maaf kalau selama disini nak Rian tidak nyaman. Bimbing Fira layaknya sebagai guru, bagaimanapun Fira anak Bapak yang paling cengeng dan manja." Ucap Bapak ke Pak Rian saat Pak Rian meminta izin untuk pulang.

"Itu sudah kewajiban saya Pak." Keduanya berpelukan hangat, aku yang masih tergugu akhirnya melangkah masuk ke mobil. Aku tidak kuat kalau harus melihat peristiwa ini.

"Bunda, kenapa?" Tanya Quin saat aku baru saja masuk. Mereka memang sudah masuk ke mobil terlebih dahulu. Mengusap air mata aku memandang mereka, "tidak papa, Bunda hanya bahagia saja."

"Kata Ayah, kalau menangis itu sedih bukan bahagia." Kata polos Qian menimpali alasanku. Sungguh aku bingung harus menjawab apa.

"Bunda sedih mau pisah sama Kakek Nenek, tapi Bunda juga bahagia bisa bersama Qian dan Quin." Potong Pak Rian saat ia bergabung di dalam mobil.

"Oh begitu. Yasudah, nanti kita sering kunjungi Kakek Nenek kalau begitu." Aku mengangguk saja, menatap jalanan ke depan karena mobil sudah melaju meninggalkan halaman rumah Bapak.

***

"Bun!"

"Bun!" Teriak kembar saat aku sedang sibuk dengan pakaian yang harus aku tata di almari. Aku berdiri dan berjalan keluar untuk melihat apa yang dilakukan Qian dan Quin.

"Ada apa?" Tanyaku saat melihat mereka sibuk memakan makanan yang dibawakan Bapak Ibu di depan televisi.

"Qian mau makan ini lagi." Ucapnya dengan menunjukan kue kering rasa susu. Aku mendekat dan mengusap rambut Qian lembut.

"Besok ya, kita beli di swalayan. Kan tadi cuma bawa sedikit." Bibir Qian nampak mengerucut seolah ia tidak terima dengan jawabanku.

"Ada apa?" Tanya Pak Rian saat masuk dan melihat interaksi kami.

"Qian mau makan ini Yah." Tunjuk Quin ke sisa makanan Qian.

"Yasudah, kalian ganti baju. Ayo Ayah antar ke swalayan." Qian Quin berjalan meninggalkan kami menuju kamar mereka. Aku juga harus berganti pakaian.

Tanganku sibuk memilih baju yang baru saja aku tata rapi, kesibukan ini membuatku tidak mendengar langkah Pak Rian.

"Kamu baru mandi?" Tanyanya saat melihatku mengenakan piyama mandi. "Iya, tadi aku gerah. Jadi mandu dulu."

Dia mengangguk, seolah paham alasanku. Aku kembali mengambil baju yang tadi sempat aku ambil dan berjalan menuju kamar mandi. Meskipun kami suami istri, aku masih sungkan untuk menampakan tubuhku dihadapannya.

"Ayo, anak-anak sudah selesai." Ia berjalan meninggalkanku di dalam kamar tidur kami. Tidak ada ajakan romantis meskipun status kami sudah berubah, aku menghela nafas perlahan meskipun aku sudah mengenalnya tetapi ia masih sama saat aku pertama datang sebagai pengasuh kembar. Tidak ada interaksi lain yang menunjukkan kedekatan emosional dengannya.

"Ayo, kita berangkat." Kataku saat melihat Qian dan Quin sudah di depan mobil Ayahnya. Aku mendudukan tubuh mungil mereka di jok masing-masing, baru aku melangkah untuk duduk di samping Pak Rian.

"Bun, nanti malam Quin mau bobok sama Bunda ya?" Pandanganku yang sibuk menatap ke depan sontak menatap Quin lewat pantulan cermin di depan. Aku sempat mencuri pandang ke wajah Pak Rian.

"Quin bobok sama Qian saja." Perintah yang keluar dari mulut Ayahnya sontak membuat bibir si cantik maju lima senti. Jujur, aku disini dilema, satu sisi aku bingung harus bersikap di depan kembar tapi satu sisi aku juga sadar jika aku disini istri Pak Rian, harus menurut dengan perintahnya.

"Quin mau bobok sama Bunda!" Aku membalik tubuhku dan tersenyum ke kedua bocah ini. Aku mencoba mencari alternatif atau jalan tengah disini. "Iya nanti Bunda tungguin sampai Quin bobok ya?"

"Iya, yeyeye," ucap mereka serempak dengan tangan yang keatas seolah inilah yang mereka inginkan. Syukur masukanku diterima kembar dengan baik.

Mobil yang kami tumpangi berhenti di swalayan yang tidak jauh dari rumah. Pak Rian dengan sigap membuka pintu untuk mengeluarkan kembar dan kami berjalan bersama memasuki swalayan ini.

"Saya tunggu disini ya." Ucapnya dengan menunjuk sebuah kafe. Aku merasa bingung karena ini kali pertama aku pergi dengan Pak Rian.

"Apa tidak ikut masuk ke dalam, aku takut nanti tidak bisa mengawasi kembar." Jawabku jujur, apalagi mengingat tingkah kembar yang kelewat aktif membuatku khawatir jika pergi di tempat seperti ini.

"Baiklah, saya ikut." Akhirnya batinku bersorak bahagia. Kami berbelanja bahan makanan, bumbu, sayur bahkan makanan instan. Semua ini aku beli sebagai persediaan satu minggu kedepan tidak lupa makanan yang Qian inginkan.

"Bun, Qian mau es krim." Goyangan aku rasakan saat aku sibuk memilih penyedap masakan. Memasukan penyedap itu ke ranjang belanjaan, aku menatap Qian. "Dimana? Ayo kita beli."

"Disana." Jari telunjuk kecil itu mengarah ke sudut ruangan yang ada sebuah kotak es. Quin tadi memilih untuk pergi dengan Ayahnya.

"Ayo pilih, ambil seperlunya saja. Jangan banyak-banyak." Perintahku ke Qian, Qian mengangguk dan memilih membeli lima es krim dan memasukannya ke ranjang. Semua bahan belanjaan sudah aku masukkan ke ranjang tinggal membayarnya di kasir.

"Qian!" Aku dan Qian yang bergandengan tangan sontak mencari sumber suara yang memanggilnya. Pandanganku tertuju ke sudut ruangan yang berdiri seorang wanita dengan setelan formal menatap Qian dengan binar bahagia.

"Mama." Ucap lirih Qian. Qian disini seolah dilema mau mendekat ke arah Mamanya atau tidak. Aku yang mengerti mencoba memberikan pengertian, berjongkok dan menatap tepat di wajah Qian. "Kalau Qian mau ketemu Mama ayo Bunda temani. Bagaimanapun Mama itu Ibu yang melahirkan Qian dan Quin." Qian akhirnya mengangguk, sedangkan wanita itu berjalan mendekat ke posisi kami.

"Qian Mama rindu sama kalian." Ucap wanita itu dan memeluk tubuh kecil Qian. Aku yang melihatnya merasakan haru yang terselip dengan rasa sedih.

Tbc

Shaffira ✔ (KBM & KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang