Mobil Aidan berhenti di depan lampu lalu lintas yang menyala merah disana.
Di tengah macetnya kota Jakarta Platinum, Aidan terus terngiang-ngiang akan nama Dali yang selalu menyerukan sinyal bahaya di dadanya.
Perkiraan Miska di restoran tadi membuat Aidan terus berpikir kacau. Sementara Miska sendiri masih duduk anggun di kiri mobil Aidan sambil memainkan ponselnya.
Aidan menoleh ke arah Miska dengan tajam dan mengerutkan keningnya. "Lu lagi chatan sama siapa sih?" tanya Aidan.
"Hah?" engah Miska, sambil sadar. "Oh, ini Sita, nanyain jadwal cheers besok jadi di ganti atau enggak!"
"Oohh" kata Aidan segitu saja.
Miska turut melanjutkan berchat ria-nya di ponselnya. Sementara Aidan turut menjajakan pandangannya pada sekitar sambil bosan.
Sejurus mata Aidan terbuka lebar kala pandangannya jatuh pada tempat makan seafood sederhana di pinggir jalan. Dia terengah kala melihat Stefan disana sedang makan dengan helm yang terpasang di kepalanya.
"Stefan???" imbuh Julian tak percaya.
Miska yang mendengar Aidan menyebut nama Stefan itu turut menoleh seketika. Dia menekuk alisnya, "Itu Stefan?"
Aidan masih diam meneliti anak itu.
Miska melanjutkan, "Absurd banget si Stefan, makan kok pake helm"
Aidan masih terus memperhatikan Stefan dengan seseorang disana. Aidan sudah menduga, lelaki itu pasti Tori.
"Dia sama Tori ya, Beib?" tanya Miska lagi.
Sejurus Aidan pun keluar dari mobilnya dengan cepat. Dia pergi menghampiri Stefan disana.
Miska kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa karena lampu lalu lintas sudah berwarna hijau disana. "Beib!!!! Ini gimana??? Kok aku ditinggal???" teriak Miska.
Aidan sendiri berhenti di depan Stefan seketika. "Stefan"
Sejurus Stefan tercekat disana begitu melihat Aidan yang sudah berdiri dengan busana menawan di hadapannya.
"Aidan... lu ngapain kesini?" tanya Tori. Dia juga heran mengapa Aidan bisa tahu bahwa ia dan Stefan berada disini.
Aidan tak menjawab pertanyaan Tori, dia langsung menatap Stefan disana. "Fan, lepas helmnya, Fan!" cetus Aidan.
"Hah?" Stefan kebingungan. "Lo kenapa dah?"
"Lepas helmnya, Fan!" cetus Aidan.
"Eh, Dan! Nape lu? Laper? Sini ikut makan kalo laper!" cetus Tori.
"Diem lu, anjing!" teriak Aidan.
Dihardik seperti itu oleh Aidan, Tori seketika berdiri santai dari duduknya. "Lu kenapa sih, hah?"
"Fan, lu tuh cuma dikerjain sama nih anak bangsat, tau gak!" cetus Aidan pada Stefan. "Ngapain coba nyuruh lu makan pake helm? Dasar gak punya otak!"
PLAKKK!!! Satu tamparan keras mendarat di pipi Aidan.
Tori bahkan tercengang ketika melihat Stefan yang tiba-tiba menampar pipi Aidan.
"Fan, apa-apaan sih??? Kok lu nampar gua???" Aidan nampak terkesiap dengan perlakuan Stefan tersebut.
"Lo yang apa-apaan! Ngapain lo asal nuduh orang sembarangan??? Kalo gak tau apa-apa tuh, gausah sok caper!!!" tukas Stefan.
"Gua gak caper ya, Fan! Gua bener peduli sama lo! Si Tori ini tuh ngerjain lu, masa gue mesti-"
"Tori gak ngerjain gue, anjiiing!!!" potong Stefan seketika, geram. Kata-katanya barusan sukses membuat Aidan bungkam seketika. Stefan melanjutkan, "Helmnya macet di kepala gue, gue yang tetep pengen pake!!!"
Aidan menoleh ke arah Tori, dan dibalas dengan senyuman sinis olehnya.
"Kalo pun emang niat Tori pengen ngerjain gua, itu juga bukan urusan lo, Dan! Gua gak butuh sok perhatian lo itu. Lo kasih aja tuh sana sama si lonte satu itu!!!" Stefan menunjuk ke arah Miska di ujung sana yang sedang panik kelabakan dengan mobil Aidan juga para pengendara di belakang yang sudah marah-marah padanya karena menjadi sumber kemacetan.
Aidan terdiam di tempatnya, heran dengan sikap Stefan kini padanya
"Kayaknya ini adalah waktu terbaik lo untuk cabut deh, Dan! Sebelum lo tambah malu lagi" cetus Tori seketika. "Lagian lo yang bener aja dong. Masa masih aja ngurusin pacar orang. Lu kan punya pacar tuh! Cewek! Cantik, lagi. Gak malu apa sama kelamin lu?"
Aidan benar-benar seakan tak punya muka lagi dihadapan duo pasangan ini. Dia benar-benar merasa malu dan begitu rendah di depan Tori dan Stefan. Seiring dia pun beranjak dan meninggalkan mereka berdua disana.
~
Adrial dan Dali berlanjut dengan berjalan bersama di taman sekitar perumahan elite Dali.
Adrial yang tengah mengenakan jaket denim berwarna cokelat tua itu terlihat santai berjalan sambil merokok. Disisinya lagi ada Dali yang mengenakan kaus polos putih dan celana pendek menemani Adrial yang memaksanya untuk berjalan malam. Cari angin.
"Ngapain coba malem-malem keluyuran gini! Gak mutu banget" keluh Dali.
"Daripada belajar mulu. Pinter kagak, puyeng iya!" timpal Adrial.
"Seenggaknya itu jauh lebih bermanfaat!" cetus Dali.
Adrial tertawa sinis, "Pantes lu dimanfaatin sama si Aidan!"
Dali berhenti melangkah. Menatap punggung Adrial yang terus berjalan.
Adrial sadar bahwa Dali berhenti melangkah. Dia pun turut berhenti dan menoleh ke belakang. "Kenapa?"
"Kenapa sih omongan lu tuh selalu aja nyakitin!" tanya Dali.
Adrial tertawa lagi, "Gua gak niat nyakitin kok. Yang gua omongin kan fakta! Kenyataan!"
"Seenggaknya mikir kek perasaan gue dikit!" tukas Dali.
"Sama kayak Aidan yang selalu mikirin perasaan lo, gitu?" tandas Adrial. Nusuk.
Dali semakin geram, "Lo tuh ngeselin banget yah! Lo tuh gak pernah ngerasain yang namanya cinta sih, Yal! Makanya lo sinikel kayak gini!" Dali duduk di bangku taman saking kesalnya dengan Adrial.
Adrial kini menatap Dali disana. Dia kepikiran akan kalimat Dali barusan. Lalu dia berjalan dan duduk di samping Dali.
Dali masih sebal dengan Adrial. "Gada gunanya gua ikut lo keluar malem-malem gini!"
"Lo salah, Dali!" ujar Adrial seketika.
Dali melirik ke arah Adrial sebentar.
Adrial masih meneruskan kata-katanya. "Justru cinta yang bikin gua kayak gini!"
Dali mendadak salah tingkah mendengar ucapan Adrial barusan.
"Gue tau kok, Dal! Gue tau betapa kesiksanya nahan rasa sama orang yang lo cintai dari lama. Gua tau gimana rasanya itu! Dan gua juga tau, gimana sakitnya itu!" ujar Adrial.
"Ya kenapa gak lo ungkapin aja?" tanya Dali.
Adrial tertawa kecil, "Gak bisa"
"Karena?"
"Karena orang itu punya perasaan sama orang lain!" sambung Adrial, "Dan gue gak punya kekuatan apapun untuk mengubah itu dari diri dia! Saking cintanya dia sama orang itu!"
Dali ikut kepikiran, disatu sisi dia menyamakan apa yang dirasakan Adrial kini dengannya. Namun disisi lain, dia merasa bahwa orang yang dimaksud Adrial barusan adalah dirinya sendiri.
"Sekarang gue hanya bisa berdoa dan berharap... semoga orang itu bisa ngebuka hatinya buat gua. Seutuhnya" tandas Adrial.
Dali termenenung seketika. Memikirkan ucapan Adrial barusan dan bertanya-tanya. "Apa gua coba buka hati gua untuk Adrial?"
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
STUCK ON YOU 4 (END 18+)
De TodoWARNING : LGBT STORY HOMOPHOBIC, DILARANG MEMBACA CERITA INI. Aidan, si cowok dingin dan galak, masih di ambang rasa ragu akan jati dirinya yang terasa samar dia rasakan. Dali sendiri tak urung berani untuk mengatakan perasaannya terhadap Aidan yang...