Januari, 2015
PUTRA'S POV
Aku mencuri pandang ke arah perempuan yang duduk di depanku, sedang asyik mengedit tulisan para reporter dengan komputer jinjingnya. Ya, aku dan dia adalah tim editor jurnalis fakultas. Wajah seriusnya terlihat menarik di mataku. Kacamata berframe bulat warna silver yang membingkai mata dan wajahnya terlihat sempurna padanya. Rambutnya diikat satu, menandakan bahwa ia adalah sosok yang rapi, tetapi santai. Ya, dialah perempuan yang selama ini mengisi relung hatiku. Ah, pikiranku terbang jauh sampai sebuah suara membangunkanku kembali. "Put, Putra?" panggil seorang perempuan dari arah samping.
DINA'S POV
Aku sedang memberi pengarahan kepada reporter jurnalis fakultas tentang menulis berita. Ya, aku adalah kepala tim reporter yang bertugas mengepalai reporter dan menyampaikan masukkan dari editor tentang tulisan yang dibuat. Hari ini, ada 3 anak yang bergabung menjadi tim reporter dan aku harus mengarahkan dan memberi contoh berita yang baik. Seluruh arsip berita ada di kepala editor yang artinya aku harus menduplikasinya. Aku meminta tolong pada Alda, sahabatku untuk menggantikanku menjelaskan tugas kepada reporter baru. Aku berjalan menuju meja kepala editor yang kebetulan adalah.. , "Put, Putra". Tidak ada jawaban. "Put, Putra?" Ia terperanjat mendengar panggilanku menandakan ia sedang melamun. "Eh, Din." jawabnya. "Mau minta file apa?" "Dasar cenayang. File acara pensi tahun lalu deh boleh. Itu bagus beritanya" ujarku seraya menyerahkan flashdisk padanya. Ia menerimanya dan menancapkan benda putih kecil tersebut ke komputer jinjingnya. "Berapa orang yang daftar?" ujarnya berbasa basi sambil mencari file yang kumaksud. "Tiga. Cukuplah buat nambah formasi orang jadi 5 orang yang kerja," jawabku sambil memperhatikan sahabatku itu berkutat dengan file yang ada. Bukan, dia bukan sekedar sahabat bagiku. Dia adalah orang yang membuat tidurku tidak nyenyak selama ini. Ia tidak tampan ataupun menarik dari fisiknya. Hal yang menarik perhatianku adalah caranya bicara pada orang lain, lembut dan halus didengar sekalipun suaranya berat. "Huh, jarang yang mau daftar editor. Nih sudah semua." ujarnya sambil tersenyum dan menyerahkan flashdisk, membuyarkan perhatianku. "Cobalah ngga terlalu perfeksionis, pasti banyak yang daftar. Dah Putra! Thanks ya," ujarku tersenyum dan menatapnya. Oh tidak lagi, tidak lagi. Tahan dirimu.
Agustus, 2015
PUTRA'S POV
Sudah sekian lama aku memendam rasa pada perempuan yang selalu berada di hadapanku itu. Johana, teman se tim editor yang selama ini kupuja dalam hati. Aku akan menjadikannya milikku hari ini. Aku menyiapkan kejutan kecil untuknya yaitu sekuntum bunga matahari favoritnya dan akan kuberikan ketika kunyatakan perasaanku. Seluruh rencana di kepalaku seketika terhenti ketika indera penglihatanku menangkap sosoknya tengah menggenggam tangan seorang lelaki dengan mesra di persimpangan koridor ruangan editor. Kebahagiaan yang terjadi di antara mereka seiring dengan remuknya perasaanku. Aku berpaling dan tanpa sadar menjatuhkan bunga matahari itu. Cintaku, sudah hancur, bertepuk sebelah tangan.
DINA'S POV
Aku berjalan menuju ruangan editor bermaksud memberikan tulisan reporter kepada tim editor. Mungkin sekaligus mengajak Putra makan siang? Aku tersenyum sambil melangkahkan kaki. Langkah kakiku terhenti ketika aku menangkap pemandangan yang meremukkan hatiku. Putra, menatap Johana dan kekasih barunya dengan pandangan terluka. Di tangannya tergenggam sekuntum bunga matahari yang tanpa sadar ia jatuhkan sembari pergi dengan tatapan terluka. Aku berjalan mendekati bunga matahari yang rebah di lantai dan mengambilnya. Dengan hati terluka aku menatap bunga matahari tersebut dan tanpa sadar, sebutir air mata mengalir dari mataku. Cintaku, sudah hancur, bertepuk sebelah tangan.
Malam harinya, aku memandangi bunga matahari yang sudah mulai layu itu. Bunga matahari adalah bunga favoritku. Biasanya aku akan sangat bersemangat bila melihatnya. Namun, baru kali ini, aku begitu terluka memandang bunga favoritku ini. Aku tidak menyadari keadaan di sekitarku sampai suara Alda memanggilku. Aku menoleh ke sumber suara dan tersenyum semampuku. "Eh, Da. Udah lama datengnya? Aku gapapa kok" jawabku sambil meletakkan bunga matahari yang nyaris layu tersebut di meja sebelah kasurku. "You're not okay, Dina. Tell me what happened!" ujar Alda mendesakku menceritakan segala kejadian yang tadi siang berlangsung begitu saja di depan mataku. "Apa aku salah jika aku berharap, orang yang selama ini mengisi relung hatiku kelak juga punya rasa yang sama denganku? Apakah aku terlalu tinggi berharap jika suatu saat nanti ia akan berpaling dan tersenyum untukku?". "Aku ngga ngerti, Din. Siapa orang itu? Kamu belum pernah sebut nama orang itu kalau cerita sama aku." ujar Alda semakin mendesakku. "Dia, saudaramu, Da. Lebih tepatnya kembaranmu," jawabku. Sepersekian detik kemudian, wajah Alda berubah menjadi pucat pasi. "A.. Apa, Din? Kamu suka sama Putra??" tanyanya memastikan perkataanku yang hanya kutanggapi dengan senyuman penuh luka. "Maaf ya aku ngga pernah bilang kalau aku ada rasa sama kembaranmu. Aku cuma merasa belum tepat waktunya. Dan tolong, jangan bilang ke Putra sampai saatnya tepat, dia juga lagi patah hati karena ditolak ngga langsung sama Johana," ujarku sambil senyum getir. "Oke, Din. Aku ngga akan bilang ke Putra. Maafin Putra ya, Din. Maafin karena dia bikin kamu sakit hati,". Aku memandang Alda dengan tatapan saudaramu-tidak-bersalah-karena-akulah-yang-terlalu-berharap. "Hahh... Yasudah. Apa boleh buat. Toh perasaan Putra tidak akan berubah kan? Ayo kita nonton film!" ajakku dengan nada yang dibuat ceria.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Navy
RandomBuah pikir, buah tutur, dan buah hati. Antologi Navy berisi tentang cerita pendek yang mungkin lekat dengan kehidupan sehari-harimu. Mungkin, kamu juga mengalami hal ini dalam hidupmu, entah menjadi sang tokoh utama atau yang tersingkir. Hidup mem...