|1| Lavinia

75 7 2
                                    

Pantulan seorang gadis di dalam cermin, berambut putih panjang, serupa kulitnya juga tampak putih seperti salju, mengenakan piama sutra. Lalu iris mata biru yang transparan, dinaungi bulu mata lentik tampak indah. Dia bertanya-tanya, tentang siapakah itu-lebih tepatnya, tubuh siapa yang tengah ia rasuki.

Menebak tempat dia berada sekarang. Coba lihat kamar ini. Karpet lembut yang terlihat mahal. Jendela-jendela tinggi menambah kesan mewah. Belum lagi kertas dinding yang menempel dengan motif-motif cantik. Hampir semua furnitur di sana berhiaskan ukiran.

Aku tahu ini mimpi, tapi kapan aku bisa bangun? Gumamnya dalam hati. Sambil menghabiskan waktu, dia berpikir untuk melihat-lihat ruangan. Kamar itu memang cukup luas untuk dikelilingi.

Sampai akhirnya seseorang membuka pintu di sana, dan berseru.

"Nona Lavinia, Anda sudah bangun?"

Wanita berseragam abu-abu dengan renda di sekitar roknya, tampak seperti pelayan, di tangannya terdapat bejana berisi air.

Jadi, tubuh ini bernama Lavinia? Terdengar ... tidak asing.

"Anda baik-baik saja?" belum mendapat respons berarti, pelayan itu pun bertanya.

"Oh? Saya? Saya ... tidak apa-apa," jawabnya segera, kemudian mengikuti pelayan itu meletakkan bejana di nakas.

"Baiklah, saya akan menyiapkan air untuk Anda mandi."

"Tunggu," serunya kikuk, melihat pelayan itu hendak pergi, "ini untuk apa?"

Dua alis pelayan itu tampak menyatu, heran melihat telunjuk nonanya mengarah ke bejana. Dia pikir sesuatu yang penting.

"Untuk membasuh wajah Anda.." jawab si pelayan ragu, masa iya beliau bertanya hal konyol, pikirnya. Namun melihat kepala itu mengangguk-angguk, membuatnya kian bingung, sang nona terlihat aneh.

Membiarkan pelayannya pergi, gadis yang mendiami tubuh orang bernama Lavinia menyiduk air dari bejana, lantas mencuci muka. Tepat di depan dindingnya, berdiri cermin yang tadi sempat lama ia amati, karena sosok tampilannya kini.

"Hai, Lavinia," gumaman pelan terdengar, seolah ia sedang mengajak bicara pantulan cermin di sana. "Sepertinya aku ber ... isekai. Ha ha ha!" mulut itu pun tertawa hambar.

Sebuah buku berjudul 'Lavinia Harvey Abilio', tercetak begitu jelas di depan sampul, membuat siapa saja pasti mudah mengingat tampilannya. Buku aneh itu, buku yang tak pernah ia pinjam dari perpustakaan, namun tiba-tiba ada ditumpukan buku miliknya.

"Ya ... aku akan memainkan permainan ini, setidaknya sampai aku bangun," ujarnya, pantulan di cermin itu menyungging senyum, ketika ia menarik sudut-sudut bibirnya.

***

Ruangan yang sama kembali tampak saat kelopak matanya terbuka. Bukan kamar kecil dengan kasur lipat usangnya, melainkan ruangan megah ini--lagi.

"Aku benar-benar masuk ke dalam dunia isekai, begitu?" tangannya terangkat, seraya mengurut kening pelan.

Di luar jendela, cahaya matahari mulai terang. Dia masih tak beranjak dari ranjang, termenung cukup lama akan kondisi saat ini. Satu malam sudah ia lewati di sini, hal demikian kiranya sudah membuktikan situasi sekarang adalah nyata. Tidak mungkin seseorang tidur di dalam mimpi, kemudian bangun lagi di dalam mimpi yang sama.

Argh! Ini membingungkan! Gerutu batinnya, lalu mengacak rambut putih panjang itu akibat frustrasi.

"Nona Lavinia, Anda baru bangun?"

Ah, suara itu!

Seorang wanita paruh baya membawa bejana, persis seperti pagi kemarin.

Baiklah, baiklah ... panggil saja aku Lavinia.

The White Lady Want to DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang