3. Secangkir Kopi Pahit dan Lagu Sedih di Malam Minggu

3 1 0
                                    

Zeva menatap jalanan di depan sana tanpa minat. Bahkan Greentea Latte hangat yang dipesannya tadi sudah dingin lantaran terlalu lama diabaikan. Pikirannya melanglang-buana pada pertemuan tak terduganya kemarin. Zeva bukannya tak mengenal laki-laki itu, hanya saja pikirannya tak sejalan dengan hatinya. Dan saat itu, ia tak menuruti kata hatinya.

Malam ini gerimis turun, tak begitu deras namun mampu membuat siapapun menggigil kedinginan. Atensi Zeva teralihkan begitu suara petikan gitar di stand Live-Accoustic mulai terdengar.

Sabtu malam, sudah lumrah apabila tempat bersantai ini ramai daripada biasanya. Banyak sekali pasangan muda-mudi yang datang dan pergi. Namun Zeva sudah duduk manis di sini sejak dua jam yang lalu. Tak ada kegiatan menarik yang ia lakukan di sini, hanya memandang lalu lalang kendaraan di depan sana.

"Wih, Mami bengong aja nih!"

Zeva mengedarkan pandangannya. Salah satu temannya di kantor tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Theo darimana?"

"Jemput Rama, Mam. Sendirian?"

Zeva hanya tersenyum tipis, lantas menyeruput minumannya. Sudah dingin.

"Mam, gabut nih. Ngamen yuk!" kali ini Rama yang bersuara.

Remaja tanggung itu langsung saja menarik tangan Zeva untuk mendatangi stand musik. Terlihat tidak sopan, tapi Zeva sudah sering mendapat anak buah rese. Seperti Rama.

"Mau nyanyi apa Mam? Rama hapal semua chord lagu, alhamdulillah."

"Lagunya Rossa - Tega, bisa?"

"Oke, hayuk gaskeun!"

Sementara di sisi lain, Bagas yang mulai mencari tahu semua tentang Nat kini sedang berdiri di balik meja tempat Crew kafe beristirahat. Kebetulan kafe ini pemiliknya cukup mengenal dirinya dengan baik, dan bisa diajak bekerja sama. Alhasil ia bisa tahu jika Nat sering menghabiskan waktu sengangnya di tempat ini.

Petikan senar gitar yang dipetik oleh laki-laki di samping Nat, tiba-tiba saja membuat giginya bergemeletuk menahan amarah. Namun, suara lembut Nat yang mengalun membuat kepalan tangannya mengendur. Suara itu.

Nat bahkan selalu menolaknya ketika ia minta barang sekadar menyanyikan sepenggal lagu untuknya, dulu.

Menjelang hari bahagiamu
Kau tak pernah tahu aku bersedih
Kau lupakan semua kenangan lalu
Lalu kau campakan begitu saja

Tega ...

Aku tahu dirimu kini telah ada yang memiliki
Tapi bagaimanakah dengan diriku
Tak mungkin aku sanggup untuk kehilangan dirimu

Aku tahu bukan saatnya untuk mengharap cintamu lagi
Tapi bagaimanakah dengan hatiku
Tak mungkin kusanggup hidup begini tanpa cintamu

Tak ingatkah kau dulu pernah berjanji
Bahagiakan diriku selamanya
Tak berartikah kita yang lalu
Hingga kau bersama dengan dirinya

Tega ...

Zeva memejamkan matanya. Sekelebat ingatan yang ingin ia kubur rapat-rapat justru muncul kembali. Memang bukan salahnya ataupun sosok lain yang terlibat dengan masalalunya. Tapi Zeva masih belum sanggup untuk bertemu laki-laki itu lagi. Karena kepindahannya ke Kota Kacang memang memiliki kemungkinan besar untuk kembali bertemu, mengingat kota ini tak sesempit yang ia kira.

Suara riuh tepuk tangan ternyata menjadi bentuk apresiasi yang diterima Zeva dan Rama malam itu. Kedua manusia itu lantas kembali ke meja masing-masing setelah Zeva terlebih dahulu mengambil ponselnya.

Another EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang