6. Bicara

3 0 0
                                    

Bagas mengusap punggung tangan Nat yang masih terpejam. Perawat bilang efek samping dari obat alergi tadi adalah rasa kantuk yang berlebihan. Alhasil Nat masih betah tertidur di bilik kamar ini. Senyum tipisnya terpatri, setelah lima tahun berlalu Nat masih tetap sama. Selalu berusaha baik-baik saja padahal sedang sakit.

Nat menggeliat perlahan. Merasa kebas dengan tangan kirinya yang tertancap jarum infus. Hal pertama yang menyapa penglihatannya adalah langit-langit ruangan yang cukup asing dalam pandangannya. Setelah berhasil menyesuaikan pandangannya, Nat mengernyit heran. Aroma obat-obatan yang menyengat membuat Nat sadar bahwa ini adalah rumah sakit.

"Nat udah bangun, masih pusing?"

Nat mengatupkan bibirnya, perempuan itu melepas tangannya dari genggaman Bagas.

"Saya kenapa bisa di sini?"

"Kalau kamu alergi sama seafood bilang, nggak seharusnya menyiksa diri seperti ini."

Nat menghela napas kasar. Ia baru ingat bahwa tadi mengonsumsi hidangan laut yang jelas merupakan pantangannya. Belum lagi riwayat vertigo yang ia miliki ternyata kambuh di waktu yang bersamaan.

"Saya baik-baik saja, terima kasih sudah menasihati."

Bagas tersenyum tipis. "Kita nggak lagi berbisnis, Nat. Kamu bisa nggak, berhenti bicara formal dan bersikap seakan nggak kenal aku?"

"Kenapa harus?"

"Karena kamu lagi sakit, aku nggak mau berdebat sama kamu."

Nat berdecih lirih, lantas mengedarkan tatapannya pada sekitar. Ia tak menemukan barang-barang pribadinya ada di ruangan ini. "Dimana barang-barang saya?"

"Aku. Bisa ganti kata saya jadi aku, Dek?" titah Bagas penuh penekanan.

"Barang-barang aku mana?"

"Masih ada di Vasco, kenapa?"

"Aku mau pakai," ketus Nat.

Bagas mengeluarkan ponselnya, lantas menghubungi Ifan untuk mengantarkan barang-barang Nat ke rumah sakit. Nat sendiri mendadak dilema. Kenapa pula harus jatuh sakit di depan Bagas, pasti laki-laki itu akan besar kepala jika Nat memuji kebaikannya. Belum lagi pasti akan dianggap hutang budi. Dan Nat benci memiliki hutang.

"Kalau aku chat atau telepon, bisa dijawab kan. Jangan dianggurin," cecar Bagas.

"Karena nggak semua pesan yang masuk itu penting."

Bagas berhenti mengupas buah di meja samping ranjang Nat. Cukup tertohok dengan balasan telak dari Nat yang biasanya tak senang mendebat apalagi berkata pedas kepada orang di sekitarnya.

"Makasih sudah mau bawa aku ke rumah sakit."

Bagas mengangguk, lantas menyodorkan piring plastik berisi potongan buah pada Nat. "Sama-sama. Lusa kamu baru boleh pulang," ujarnya.

"Kamu bisa pulang. Aku baik-baik saja."

"Aku pulang nanti setelah Mas Ifan kemari, gantikan aku sebentar. Habis maghrib aku balik."

...

Bagas menepati ucapannya. Laki-laki itu kembali ke rumah sakit selepas magrib, dengan menenteng satu tas berukuran sedang berisi makanan buatan ibunya. Tentu saja di rumah, Bagas dicecar habi-habisan karena pulang pergi tanpa kejelasan. Begitu Bagas menjawab bahwa Nat yang dirawat di rumah sakit, Mira baru bisa diam dan membuatkan makanan untuk perempuan itu.

Pemandangan pertama yang ditangkap kedua manik selegam jelaga itu adalah sosok Nat sedang duduk membelakangi pintu. Menatap hujan malam hari di balik jendela. Sesekali perempuan itu melukis garis di jendela yang berembun terkena air hujan.

Another EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang