Prolog

506 55 146
                                    




Bukan video trailer, hanya video biasa yang bisa menggambarkan sedikit tentang sosok Damar.






Suara teriakkannya terdengar ke seluruh penjuru Bandung. Siapa yang berani menggores sang cakrawala itu? Sampai membuat air matanya tumpah-ruah. Seperti akan terjadi sebuah bencana yang mengguncang, gelap dan sunyi, para kurcaci bersembunyi di balik rumah pohon yang teduh. Harap-harap cemas badai segera usai.

Cahaya dengan gaun putih selututnya berdiri sembari memegang payung di sisi pantai. Sneakers yang dipakai basah terkena percikan air. Obsidian jernihnya bergerak menyusuri sudut pantai tak berpenghuni. Hanya ada dia di sana. Ia ingat pergi bersama rombongan ke Banyuwangi. Menggunakan bus, di mana ada Papa, Mama, Kakek, Nenek, Dara, dan juga Maya. Mereka bersama-sama menyanyikan lagu-lagu dari band kenamaan Indonesia, Seventeen. Terngiang jelas di telinga saat ia ikut bernyanyi lagu Menemukan mu.

Ke mana semua orang? Mama tidak mungkin meninggalkannya. Payung yang sedari tadi digenggam terjatuh. Cahaya berlari mencari orang-orang itu. Membiarkan seluruh badan basah kuyup. Melawan dorongan angin yang berhembus kuat. Menerjang hujaman air langit yang jatuh bersamaan.

"Mamaaaaa." Teriakan frustasinya tak kunjung mendapat respon. Terduduk lemas Cahaya di sisi pantai. Berderai air mata menyatu dengan rintik hujan.

"Berisik!"

Cahaya spontan menoleh dan menemukan Damar. Teman sekolahnya yang selama ini ia hindari. Gadis itu berdiri menatap Damar nyalang. Kedua tangan ditaruh di pinggang seolah menantang. Damar yang semampai menjadikannya mendongak.

"Konon katanya, mereka yang ada di sini orang buangan. Sama kayak penyu ini, habis dilahirin terus dibuang gitu aja." Damar menarik tangan Cahaya lalu menaruh bayi penyu di telapak tangan gadis itu. "Aku juga sama."

"Dibuang gara-gara aneh maksud kamu?"

Damar mengernyit. "Aneh?" ucapnya mengulangi kata yang Cahaya ucapkan.

"Nggak suka hujan.  Emang kamu pikir itu nggak aneh?"

"Kata siapa aku nggak suka hujan?"

Cahaya mengembalikan bayi penyu pada Damar. Ia melengos mengambil payungnya yang hampir terbang terbawa angin tanpa membalas ucapan terakhir Damar. Tubuh ringkihnya sudah mulai mengigil. Bisa sakit ia jika terus dipaksa berdiri tanpa ada payung yang menghalangi.

"AKU EMANG NGGAK SUKA HUJAN!" Lantang Damar berteriak mengalahkan deburan ombak. Gulitanya cakrawala tak dapat mengalahkan segaris pelangi yang terpancar di bola matanya. Senja yang tak bisa datang terbit di antara senyuman Damar. "TAPI AKU SUKA KAMU!"

Bak melihat kilatan petir di awang-awang. Berdegup kencang jantung tak senyalir. Sialan, ia tidak mungkin jatuh cinta pada laki-laki aneh di depannya. Cahaya ingin langsung menolak tapi bibir terkunci rapat. Kakinya juga terjebak. Tiba-tiba saja kedua kaki terperosot ke dalam pasir hisap. Panik ia setengah mati saat pasir mulai melumpuhkan saraf-saraf kaki. Memenjarahkan setengah dari tubuh. Sampai secara tiba-tiba tubuhnya tersentak hebat.

Matanya melotot menatap langit-langit kamar. Deru napasnya terdengar berat dan tak beraturan. Tubuh terbungkus selimut itu dipenuhi peluh. Cahaya melongok ke luar jendela yang tak tertutup tirai, masih hujan. Sepertinya ia ketiduran.

Pesawat KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang