24. Asrama

104 21 0
                                    

Di kediaman Adel, keluarga itu berkumpul di ruang keluarga. Aeric, adik laki-laki beda ayah Adel yang kira-kira berumur empat tahun, duduk dipangkuan sang ibu.

Sementara di sofa single, papanya —Dyonasqa diam-diam menatap Adel dengan tatapan khasnya. Adel dibuat bergidik untuk kesekian kalinya, dirinya bersyukur setidaknya Aeric itu laki-laki.

"Kamu beneran mau tinggal di asrama sekolah aja? Nggak mau ikut ibu sama papa ke Jerman?"

Adel merespon pertanyaan sang ibu dengan anggukan tegas. "Iya, Adel nggak apa-apa kok. Ibu sama papa bisa balik lagi ke Jerman, dampaknya kan nggak terlalu bagus kalau papa lepas tangan dari perusahaan, terlalu lama ...." Adel menoleh pada Asqa seraya memasang senyum palsu, "ya, 'kan Paaa ...."

Asqa balas tersenyum manis. "Papa nggak masalah kok di sini lebih lama, perusahaan di Jerman bisa dikontrol dari jauh. Papa nggak benar-benar lepas tangan kok kamu tenang aja, kami juga nggak ngerasa direpotin kok ...."

"Iya, Del. Kami ini masih orang tua kamu, ibu nggak tenang kalau kamu sendirian di Indonesia." Linda menatap putrinya cemas.

Di pangkuannya, Aeric ikut menyetujui ucapan Linda. "Iya, Kakak ikut aja yaa ke Jerman. Kakak nggak suka yaa sama Eric, Kakak nggak mau lagi temenin Eric yaa?" Balita itu menatap Adel dengan mata berkaca-kaca, dia berbicara dengan bahasa Indonesia namun dengan dialek khas Jermannya.

Adel melirik sekilas pada Asqa, pria itu nampak diam-diam tersenyum miring. Adel menggeram pelan, benar-benar perang mental! Pikirnya.

Setelah meredakan emosi sesaat, Adel menoleh dengan senyum tipis pada adiknya itu. "Eric ... kakak nggak pernah ngomong gitu loh, kakak suka main sama Eric, kakak juga suka jadi temen Eric, tapi kakak udah nyaman di sini. Kakak tetep mau sekolah di sini, sekali-kali Eric boleh kok ketemu kakak, atau kakak yang nyusul Eric di Jerman, yaa ...."

Adel berusaha menjelaskan pada anak laki-laki itu, dia tersenyum tipis ketika melihat Eric yang kembali menatapnya setelah sedikit mengusap air matanya.

"Tapi Kakak janji yaa? Pokoknya Kakak harus nepatin," kata Aeric kemudian mengacungkan jari kelingking mungilnya.

Adel tersenyum tipis, dia menautkan jari kelingking. "Iya, kakak janji." Kemudian mengacak rambut Aeric gemas.

Walaupun keduanya tidak benar-benar sedarah, Adel menyayangi Aeric seperti adik kandung, dan begitupun sebaliknya berlaku bagi Aeric.

Linda menghela napas pelan. "Ya udah kalau kamu kekeh, mau tetap di Indonesia ibu bakal ngurus berkasnya ke sekolah nanti, dan juga ibu punya beberapa syarat yang harus kamu setujui," dia memberi jeda membiarkan Adel menatapnya dengan penasaran.

"Pertama, setiap libur semester kamu harus datang ke Jerman. Dalam setahun, ibu ataupun papa bakalan ngunjugin kamu empat kali dalam waktu seminggu." Di sana, Asqa bersorak dalam hati. Itu artinya dia bisa bersama Adel tanpa gangguan dari Linda satu minggu setiap dia mengunjungi gadis itu.

"Kedua, kamu harus telpon ibu atau Papa seminggu sekali. Ketiga, kami bakalan tetap biayain hidup kamu di sini, seperti iuran sekolah. Kami bakal langsung bayar ke rekening sekolah, kamu nggak usahlah nyari pekerjaan paruh waktu atau apalah namanya itu. Sebulan sekali kami bakal transfer uang ke rekening kamu, sebesar €882. Segitu cukup kan?"

Gila saja tidak cukup, 882 euro itu setara dengan lima belas juta kalau di rupiahkan, dan itu dalam jangka sebulan ditambah dirinya juga bukan orang yang boros.

Adel mengangguk mantap. "Cukup kok, bahkan bukannya itu kebanyakan untuk sebulan Bu?"

Linda menggeleng tegas. "Nggak, sama sekali. Kamu harus terima, tanpa protes sedikitpun! Dan pastiin kamu pake, kalau enggak ibu bakal marah sama kamu. Ibu bakal langsung terbang dari Jerman, buat ngomelin kamu!" Sementara itu Adel hanya bisa menghela napas pelan, kemudian mengangguk.

Senandung Kematian [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang