Aku menyandarkan bahu di kursi. Melihat pemandangan yang sangat asing, tempatnya begitu gelap hingga menyadari ini bukan di akademi atau kastil. Cahaya dari kejauhan menghampiriku, lalu membentuk wujud manusianya. Dia.. Orion, makhluk yang sekarang membenci keberadaanku.
Orion berbalik, tertawa keras dan mencekik leherku dengan ganas. Mata merahnya seolah benar-benar menandakan aku itu musuh besarnya. Jika begitu, sekarang aku bisa mengambil peran bukan? Menjadi Asep sesungguhnya, yang bertahan di antara penjajahan, membunuh menggunakan ilmu kanuragan turunanku. Waringin Sungsang.
Tanganku menyerang dengan ajian yang pernah diajarkan temurun ini. Aku sebenarnya tidak pernah melakukannya di dunia ini, tapi sekarang situasinya membuatku benar-benar dipojokkan.
Sebercak darah segar keluar dari ulu hatinya. Benar, Orion belajar ilmu hitam. Orion kesusahan bernapas di ubin tak kasat mata yang dibuatnya.
Apa seharusnya aku tidak belajar sihir? Aku merasakan efek saat ajian ini dikeluarkan, sama-sama merasa melemah. Pantas saja, setiap aku mengeluarkan sihir, itu tidak bekerja berulang kali, selain meminjam atau mencuri energi dari lawan atau kawan.
Ruangannya berubah putih. Aku bersila di depannya. Orion berteriak serak menunjuk-nunjuk wajahku marah. "Kau! Kau puas! Membalikkan kekuatanku dengan kekuatanmu! Walau di dunia mimpi, kau selalu selangkah lebih maju dariku Oliv. Kau puas hah?! Puas?!"
Aku tak mengerti. Sangat tak mengerti. Aku menatapnya sendu. Mematahkan sihir hitamnya dengan sekali serang telah membuatnya selemah ini. Jika aku tidak pernah belajar dari buyut dan kakekku, mungkin aku bisa disiksa di alam buatannya.
"Saya teh nggak pernah mengerti maksud tujuan kamu setelah menemukan saya di akademi. Saya gak pernah ada maksud untuk melangkahi kamu sedikitpun. Tapi, menginjak kamu untuk merasakan kepedihan Kang Oliv, itu harus dilakukan."
Orion berdiri lemas. Kakinya menopang tubuhnya yang mati-matian untuk bertahan. "Kematian keluargaku karena salahnya. Karena dibunuh petinggi keluarga Oliv akibat fitnah. Aku melihatnya, keluarganya tersenyum di atas penderitaan kami. Bagaimana menderitanya aku sendirian di pesta saat hujan salju itu."
Aku mengangguk pelan. Sial, perutku sangat panas karena hasil mengeluarkan ilmu sihir hitam yang pernah aku pelajari. Aku sangat menyesal sekarang.
"Dan kamu? Kamu juga membalaskan dendam agar impas?"
Orion tersenyum lalu terkekeh. "Itu menyenangkan. Memakan kewarasan mereka karena mimpi buruk. Apakah kau mengerti penderitaanku Oliv? Sangat menyakitkan bukan?"
Aku menggeleng pelan. "Hukum tidak boleh bertemu itu karenamu bukan? Apa para petinggi yang menyihir semua anggota keluarga tidak boleh saling bertemu? Hingga sampai sekarang belum ada keturunan selanjutnya?"
Aku mengetahui itu dari Kang Oliv saat bercerita di kamar sebelum tidur. Keluarganya benar-benar rumit, sampai aku harus memahami berulang kali. Para petinggi keluarga itu seperti para buyut, hidup mereka dibilang panjang dan ilmu sihirnya benar-benar sangat tinggi. Aku harus menghindari bertatap muka dengan keluarga Kang Oliv yang lain.
"Iya. Itu karena aku, Oliv. Aku menang, aku membuat kedamaian Oliv. Darahku sampai mendidih nikmat melihat gilanya ibumu di kamar. Membanting semuanya dan sekarang tinggal di kastil jauh sendirian. Itu dosamu, Oliv."
Jika saja Oliv mendengar ini, entah seberapa gilanya dia sekarang. Mungkin akan membunuh makhluk di hadapannya. Tapi aku mencoba menahan kekuatan miliknya keluar, aku tak bisa membunuh banyak orang lain lagi dengan satu kali lihat.
"Sudah?"
"Huh? Sudah apa bodoh?"
"Sudah bicaranya dong. Kamu teh nyadar atuh bloon! Saya nahan-nahan terus buat pergi dengerin ceramah gak logis dari mulut kamu. Keluarin saya atau saya yang bunuh kamu di sini?"
Orion tersenyum. Aku langsung berdiri membanting tubuhnya. Ulu hatinya memanas kembali, bajunya sampai basah oleh semburan darah segar. Aku menotok bagian penting penyalur sihirnya. Ilmunya ditutup, bahkan aku membuat sihir pada bagian matanya hancur. Ini sepadan dengan nyawanya tetap aku pertahankan.
Aku sangat yakin, ini bukan alam mimpi, melainkan alam kenyataan yang dijaga oleh sihir miliknya agar tetap bertahan. Alam ini tetiba runtuh dan aku sadar berada di kamar. Ada Orion yang rubuh di sampingku. Aku juga baru menyadari keronganku sangat kering akibat darah di kasur.
Orang-orang di kamar terbangun karena suara yang dihasilkan Orion. Aku terpaku, meminta teman-teman sekamar mengambil minum.
Kang Oliv menangis hebat, dia menyuruhku bangun berulang kali. "Saya teh baik-baik saja. Bawa Orion pergi, dia sudah hancur."
"Ma-maksud anda apa?"
Aku mengelus rambut Kang Oliv. Ini seperti sedang berbicara pada diriku sendiri. "Pembalasan kamu tidak usah dilanjutkan. Orion sudah menjadi manusia biasa tanpa sihir. Sekarang Orion tidak bisa apa-apa lagi."
Kang Oliv terisak. Dia memeluk tubuhku. Walau tak terasa hangat ataupun dingin, aku bisa merasakan betapa khawatirnya dia padaku. Sial, aku merasakan seperti punya adik saja.
Aria sudah datang ke kamar sebagai anggota tim medis. Perempuan di kelas juga berombongan ke sini, aku tak menduga beberapa anak di kamar ternyata bangun dari pingsan. Seniat ini kah Orion agar aku mati?
Aria memeluk tubuhku, tentu saja Kang Oliv menyingkir agar tidak tersentuh olehnya. Bisa-bisa Kang Oliv musnah.
"Sudah aku bilang Asep, aku saja yang melindungi kamu."
"Tak apa Aria, setidaknya saya bisa menyelamatkan yang lain dengan usaha saya."
Salah satu penghuni kamar ini berterima kasih padaku setelah keluar dari mimpi buruknya. Aku hanya mengangguk sebelum tak sadarkan diri karena kehilangan darah.
---(Ä)---
Dunia ini tak pernah semulus nasib karakter utama yang bahagia lahir batin tanpa masalah. Aku sangat tahu, hidup itu pasti ada ujiannya. Contohnya, di kedua mataku sekarang Orion terbaring lemah. Ujian hidupnya sedang terjadi, melawan efek tertutup aliran sihirnya olehku.
Angin hangat dari jendela seolah menyambut datangnya Aria ke ruangan medis. Aria duduk di sampingku sembari memperhatikan wajah Orion yang masih tidur panjang. Cahaya matahari pada sore hari menyorot wajah pucatnya, kulitnya saat kusentuh masih terasa hangat.
"Aku bisa menyembuhkan Orion. Tapi aku tidak bisa memaafkan perbuatannya pada kamu."
Aku menepuk puncak kepalanya. Apa ini tidak sopan pada orang yang disembah para manusia?
"Dewi Aria, akhirnya Hakim Surga memutuskan keputusan kami. Terasa berat rasanya, tapi saya harus menyampaikan kabar buruk sekaligus bahagia ini. Dewi Aria, Hakim Surga memutuskan untuk mencari penggantimu, dan sekarang kau bisa hidup selayaknya manusia dengan umur yang sama seperti suamimu. Juga kekuatanmu tidak akan ditarik kembali, itu kami beri sebagai hadiah. Terima kasih atas perjuangan ratusan tahun memberi berkah pada dunia. Kami menunggu berkah lain pada kehidupanmu juga. Salam, Hakim Surga."
Jantungku berdebar. Aria memelukku. Dia menggoyang-goyang bahuku sembari tertawa senang. "Aku sekarang sama sepertimu Asep! Aku manusia sepertimu!"
TBC
Kalau dijadiin anime, mungkin senyum Aria yang paling bikin senang.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Inner Eye And The Other World Volume 1[END]
FantasySendiri di dunia lain. Memiliki kastil besar juga megah seperti tiada artinya baginya. Terbangun dalam keadaan setelah bunuh diri, Asep tersadar dengan tubuh lain. Kesialannya bertambah ketika baru menyadari desa di sekitarnya tidak menerima keberad...