I pretty much fucked up the whole thing, didn't I? I fucked up my wife's life too much.
Gue cuma tau, apa yang kita tanam itulah yang akan kita tuai. Apa yang telah kita lakukan, ya terima apa resikonya. Termasuk resiko apa yang telah gue lakukan pada Ning—setiap luka yang gue gores di hatinya yang lembut. Otak tolol gue emang nggak bisa sinkron saat tangan gue melayangkan beberapa pukulan ke tubuh Ning sebelum gue rutin meminum obat dari rumah sakit.
Setelah pergi ke makam mama, dengan menaburi bunga dan mendoakan mama agar tenang di akhirat, yang akar rumput tanamnya mulai menguat itu, gue menangis sambil merangkul tubuh istri gue. Dia senantiasa menemani gue, menepuk punggung gue beberapa kali untuk menenangkan serta memberikan kalimat-kalimat agar gue bisa menerima semuanya.
Gue udah mengikhlaskan, sungguh, lalu di sela tangis gue mereda, tiba-tiba Ning berkata bahwa si kembar dalam perutnya tidak lagi menendang seperti biasanya. Untuk pertama kali, gue cemas mengenai anak gue. Padahal sebelumnya gue nggak pernah memikirkan kesehatan mereka, paling nggak cuma menyuruh mereka merebut makanan Ning. Kemudian, di saat gue menyetir mobil untuk pergi ke rumah sakit, gue nggak henti-hentinya melihat ke arah Ning, yang juga cemas. Dia bilang, anak kami nggak akan pernah berhenti menendang. Ini tidak normal, kami tahu. Ditambah Ning merasakan keram yang teramat dari dalam perutnya. Karena itulah gue nggak berhenti menyalahkan diri gue sendiri karena udah tolol jadi seorang suami sekaligus ayah dari si kembar.
Pasti semua ini salah gue.
"Bukan salah kamu kok." Ning seakan bisa membaca isi otak gue sekarang. "Jangan menyalahkan diri lagi ya? Aku yakin, ini cuma kesalahan biasa."
Lihatlah gimana indahnya istri gue bertutur. Di saat dia cemas, dia juga bisa mengendalikan situasi agar semuanya kembali kondusif, tapi jelas buat gue yang hina ini, yang gila ini, semua yang terjadi pada Ning, pasti efek yang ditimbulkan dari kekerasan yang udah gue perbuat ke dia.
Gue cuma menggenggam jemarinya sampai tiba di rumah sakit.
Tanpa sempat gue memberikan kesempatan Ning bergerak, gue lebih dulu menggendong istri gue agar cepat sampai ke ruang ICU. Beberapa perawat mengenal gue dan tanpa banyak babibu, Ning seketika diperiksa oleh satu dokter dengan dua suster sekaligus. Sejam kemudian Ning diinduksi agar bisa melahirkan hari itu juga untuk mengetahui apakah mereka masih bisa diselamatkan karena kemungkinannya pergerakan si kembar terhenti karena sang ibu terlalu letih dan dibenarkan oleh Ning bahwa semua pekerjaan rumah memang dia yang mengerjakan sendiri—bahkan nggak pernah berhenti menyapu rumah, membersihkan debu di kamar gue yang jarang terpakai itu, dan mencuci baju-baju kotor.
Gue speechless, nggak tau mau terharu atau marah, tapi yang gue pahami dari kejujuran Ning, dia melakukan itu karena peduli terhadap kesehatan dirinya sendiri—pun ditunjang karena beberapa dokter menyarankan agar dia aktif untuk bergerak. Tapi, Ning, bukan juga sampai berlebihan, 'kan? Ah, shit, bisa-bisanya gue menyalahkan Ning dalam kondisi seperti ini.
Posisi dua jagoan kecil di perut Ning nggak sungsang, hasil tes darah Ning pun bagus, ketubannya juga udah pecah jadi diputuskan agar Ning melahirkan normal. Gue langsung mengangguk ketika diminta persetujuan itu tanpa sempat memberi tahu Papa dan juga Papa Wirya.
Jam setengah lima sore, setelah akhirnya bukaan Ning cukup, kami memasuki ruang bersalin. Dokter dan suster itu tersenyum, mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Tapi, nggak buat hati gue sendiri. Gue sulit untuk menerima semuanya akan baik-baik saja setelah apa yang udah gue lakukan pada istri gue. Sialan lo Jay, lo udah bikin anak orang sengsara, tolol!
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Sebelum Pagi
Fiksi Remaja🔞(YOUNGADULT - ROMANCE) Jatuh cinta padamu adalah harap yang selama ini kudamba; berada di dasar hati; diselimuti oleh imajinasi liar yang semakin membara. Kita tahu, seharusnya kita saling mencinta dalam diam saja, tapi ternyata kita tak semudah...