8. Satu Tahun

11 5 4
                                    

Apa tujuanku sekarang? Entahlah, aku ingin belajar lebih jauh di kelas. Walau aku menghindari sihir, aku berhasil naik kelas di akademi. Sistemnya sama persis seperti masa SMA yaitu belajar selama tiga tahun. Banyak yang mengenal namaku, namun aku tidak mengenal nama mereka, makanya kenalan dulu. Mereka langsung pergi, padahal Asep teh pengin kenalan.

Di pagi ini, di papan kayu yang berdiri di tengah lapangan sekolah, tercetak namaku di paling atas. Aku menyipitkan mata, dan ternyata aku berada di dalam bidang beladiri. Benar juga sih, banyak yang bilang gaya beladiri yang aku lakukan itu aneh. Begitu juga dunia ini, seperti beladiri zaman modern.

Aku kadang mencoba menyatukan ajian yang aku pelajari di tempat pelatihan sendiri. Menendang, menangkis, menahan segala serangan dari Aria. Aria rajin sekali ragu, namun aku meyakinkan aku bisa menahannya.

Serangan Aria dengan skala besar, aku tahan dengan ajian yang baru aku pelajari. Ajian Brajamusti, kekuatannya benar-benar mematahkan segala efek kekuatan Aria, sekali pukulan langsung musnah. Walau tanganku berakhir panas setelahnya.

Karena belajar lagi mengenai beberapa ajian baru, Aria juga membantu menciptakan ruang khusus agar mempercepat ilmunya menyerap. Nama ruangannya aku sebut Mutih.

"Kalian berdua, apakah ada waktu?"

Sudut mataku melihat seorang gadis yang baru datang. Rambutnya diikat satu cabang, matanya merah, senyumnya juga misterius. Dan, yang membuat aku resah adalah tinggi badannya.

Aria melirikku sejenak. "Ada apa? Ada yang bisa kami bantu? Eleona Kaguhime?"

Oh, jadi dia teh Eleona. Perempuan di hadapanku merubah wujudnya, menjadi menggoda tapi aku tidak tergoda sekali dengan bagian di atas perutnya. Aku menarik Aria pergi, tapi Eleona menghalangi, tentu saja dengan gerakan menggoda.

"Kamu teh punya adab? Jika iya, pergi. Pakaian kamu nggak ada gunanya, ketat dan terlihat buruk bagi para lelaki di sini. Apa kamu teh mau dicap penggoda? Saya sudah punya--"

"Pacar. Iya pacar," celetuk Aria.

Aria masih malu membukanya di depan umum. Wajahnya juga masih merah. "Eleona, aku tahu semua maksudmu, berhenti bersikap seperti itu. Kami berdua sudah sabar di dekati oleh dirimu setiap hari."

Aku mengangguk. "Betul yang dikatakan Aria, kesabaran kami selalu diuji, kedatanganmu sangat membuat kami sabar. Lihat, laki-laki sudah tidak bisa menahan birahi, hentikan kegiatan membuka auratmu."

Eleona tersenyum tipis. Tangannya membuka bagian itu hingga aku yang tidak tahan akhirnya menamparnya depan umum. Aku tak peduli jika dia salah satu keluarga bangsawan Migart, yang terpenting bisa menyadarkan kebodohannya.

Pasti kalian sudah tahu apa yang selanjutnya terjadi? Ya, pingsan. Dia pingsan tidak sadarkan diri. Aria menciptakan kain penutup agar pakaiannya tak terbuka. Aria juga sekarang aku perintahkan agar lebih menutup pakaiannya, rok-nya juga menutup mata kakinya, itu karena pandangan setiap lelaki hari-harinya membuat aku tepuk jidat.

Zoro juga Erina yang baru datang melihat Eleona pergi dibawa tandu tim medis. Erina hanya terkekeh karena melihat kelakuan bodoh itu. "Erina, apa kau tidak tergoda dengan kekuatan penggoda miliknya?"

Erina menggosok dagunya. "Tidak, aku malah merasa mual Kak."

Zoro tertawa kecil. "Sejak kecil, walau keluarga kami yang membantai beberapa warga Migart, tapi kami lebih paham perilaku sopan dan tidak. Ya, kadang, aku emosi hingga melampiaskan pada orang-orang."

Keluarga bangsawan ini, kadang membuatku tak paham maksud dimasukan setiap keturunannya ke akademi. Mereka mendidik dengan lembut namun lambat laun ajarannya semakin keras dan Zoro salah satu yang pernah menyerangku juga, mengalami ajaran para bangsawan sebelum masuk akademi.

Ada untungnya, si kembar kini punya tujuan mereka sendiri.

---(Ä)---

Sejauh mata memandang, para pedagang Kota Migart kini lebih maju. Kota yang luas dengan bersebelahan dekat Laut Ariona. Di hari libur, anak-anak dapat keluar dari akademi untuk mencari penyegaran sejenak di kala senggang. Lagian terlalu banyak belajar, siapa yang tidak gila bukan?

Aria berhenti di sebuah kios pedagang perhiasan. Kami hanya pergi berdua, Kang Oliv memilih tinggal di kamar akademi, katanya ada yang ingin diselidikinya soal tujuan Eleona.

"Apa kamu ingin itu Aria?" tanyaku lembut.

Pedagang perempuan langsung tersenyum sembari memegang pipinya. "Aku selalu melihat kalian selama satu tahun ini. Tapi aku sangat bersyukur bisa bertemu pasangan seperti kalian akhirnya menghampiri daganganku."

Aria sedikit terkejut. "Apa maksudmu, dirimu selalu mengawasi kami saat keluar dari akademi?"

Dia tersenyum hangat. "Di depan pelabuhan kapal, kalian selalu berjalan bersama. Menikmati sore hari kala libur tiba. Aku menjadi mengingat saat terakhir bersama suami dalam hidupku. Ah aku ada sesuatu, ini, ambilah!"

Aria terdiam ketika menerima sebuah cincin perak. Di motifnya ada emas yang membuatku agak kagum, pasti sulit sekali ketika proses pembuatannya.

"Apa ini untukku? Ini cantik sekali."

Aku menyentuh cincinnya, ada sihir hitam, Aria juga tahu itu. Ada yang tidak beres dengan pedagangnya.

Kami langsung berpamitan pergi. Cincinnya sama seperti cincin pemberian keluarga Kang Oliv, penuh aura gelap. Jika orang dengan energi rendah, pasti mati. Aria menetralkannya dan diisi kekuatan miliknya, tampak indah juga bersinar.

Lirikan mata Aria tertunjuk pada gang di samping sana. Ada yang mengawasi kami. Merasa tidak aman, Aria menggenggam tanganku. "Asep, aku merasa ada yang berniat membunuh kita. Sebaiknya kita pulang ke akademi."

Aku mendekat ke telinga Aria. "Satu ... dua ... tiga! Menunduk!"

Napas kami tercekat. Anak panah aura merah darah. Energinya sangat mengerikan. Nafsu pembunuh berantai.

Aria mengangkat tangannya, menenangkan para warga yang berlarian. Dengan menutup matanya Aria bisa membuat perasaan mereka tenang. Aku juga terkena efeknya, mumpungnya energi milik Aria bukan energi gelap melainkan energi positif.

Pemanah itu menembakan bola api beruntun. Aku memukul sihirnya hingga berbalik arah ke si penyihir. Ya, di atas bangunan ada penyihir yang membantu para pemanah.

Aku memusatkan energi ke pukulan, sontak saat meteor api dari langit Kota Migart muncul, Aria menerbangkan tubuhku ke atas. "Hati-hati, walau kekuatanku tak terbatas, aku tidak bisa melihat pergerakan musuh selanjutnya. Aku mengandalkanmu Asep."

Mataku semakin dekat. Atmosfernya sangat berat. Tubuhku terasa ditahan mundur. Ajian Brajamusti belum aku sempurnakan, tapi kekuatan meteor ini mengguncang nalarku. Tangan yang aku gunakan terasa panas. Aria menyuruhku menemukan titik temu bintang dari pusat bolanya.

Aku mencarinya sampai tangan kiriku menemukan pusatnya. Tanganku menyerap energinya, Aria juga membantu agar bisa terserap habis. "Saya teh gak tahan Aria!!!"

Di bawah, Aria langsung bersila. Membuat guncangan ke seluruh area Kota Migart. Menggerikan sekali ketika Aria membuka sihirnya. Dia pernah bercerita tiap kekuatan dalam tubuhnya ada sepuluh gerbang. Yang dibukanya adalah gerbang pertama, dan gerbang terakhir guncangannya bisa membuat dunia hancur. Gilanya Dewi ini.

"Gerbang pertama: Energy heaven!"

Tubuhku memberat. Aku menyerap banyak energi sampai bolanya hilang seperti ilusi. Tapi, sungguh, aku tidak menyangka jika bola meteor yang aku lalui akan menjadikan permasalahan lainnya bermunculan.

"Bola meteornya ... muncul menjadi banyak."

TBC

Apakah Asep dan Aria bakal menyelamatkan Migart dari para penyusup? Tunggu kelanjutannya besok.

The Inner Eye And The Other World Volume 1[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang