1. Night in Berlin

256 26 2
                                    

DISCLAIMER
Semua unsur dalam karya ini adalah fiksi dan tidak sesuai dengan apa yang terjadi di dunia nyata.
Selamat membaca!
•••
Berlin, Musim Dingin 2020

Bip Bip Bip
Suara pintu sebuah apartemen terbuka diikuti derap langkah cepat dua pasang kaki.

"Uh! Dingin sekali!"
Yang lebih tinggi mengeluh sembari melempar coat tebalnya di atas sofa, kemudian dibalas decakan oleh lelaki yang mengekor di belakangnya.

"Taruh coatmu di tempat seharusnya, Seokmin."
Lelaki manis itu berseru malas sembari mengambil coat coklat tebal di atas sofa, lalu menggantungnya di gantungan depan pintu, tepat di sebelah coat abu-abunya.

"Jisoo sayang, mau coklat panas?"
Yang diajak berbicara hanya berdehem kecil, mengambil sebuah tas hitam berisi berkas bernilai milyaran dan menatanya dengan rapi.

"Aku mandi dulu."

"Pakai heater! Cuacanya dingin sekali."

"Aku juga tau ini dingin Seokmin-ah, siapa juga yang mau mandi tanpa heater di cuaca sedingin ini?"
Jawaban ketus lelaki manis di ambang pintu kamar mereka membuat Seokmin hanya terkekeh kecil dan membuat gestur mengusir, menyuruh suaminya untuk segera mandi.

———

"Kamu ngapain sih? Lama sekali."
Jisoo dengan wajah segar—sehabis mandi—datang menghampiri suaminya yang nampak berkutat dengan sesuatu di pantry.

Yang ditanya kemudian berbalik dengan tangan membawa dua cangkir berisi cokelat panas, menaruhnya di meja makan.

"Ayo minum bareng."

Jisoo hanya merotasikan matanya melihat senyum bodoh lelaki tampan yang sudah duduk di kursi putih yang senada dengan meja makan itu. Meneguk sedikit cokelat panas, setidaknya menghangatkan tubuh mereka berdua.

"Hari ini ada badai."
Jisoo membuka pembicaraan setelah melihat tayangan berita di televisi, yang menunjukkan beberapa video angin kencang dan salju berguguran.

"Pantas dingin sekali. Di lorong Apartemen juga masih terasa dinginnya, padahal biasanya lorong Apartemen hangat."

Jisoo hanya mengangguk kecil, kemudian menenggak cepat seluruh isi cangkir yang ada di genggamannya.

"Cepat habiskan minumanmu dan mandi, aku mau tidur."

"Tidur duluan saja, nanti aku yang bereskan."

"Dingin jika tidur sendiri."
Satu kalimat singkat dari Jisoo menyebabkan semu merah di pipi Seokmin. Mereka bukan pasangan baru menikah—tentu saja—tapi hal-hal yang menyebabkan kupu-kupu beterbangan di perutmu masih terus ada.

"Kan ada heater di kamar kita."
Jisoo merotasikan bola matanya mendengar tanggapan pria di hadapannya yang sedang tersenyum bodoh.

"Yasudah, kau tidur di sofa ruang tengah saja ya? Aku nyalakan heater disitu."
Jisoo bangkit dari duduknya dan berjalan cepat menuju pintu bercat hitam, kamarnya bersama Seokmin.

Yang ditinggalkan hanya tersenyum geli, puas mengejek pujaan hatinya.

———

Berbalut selimut, kini Jisoo sedang bersandar di headboard ranjang, bermain handphone sembari menunggu lelaki yang tengah konser di kamar mandi itu menyelesaikan konsernya.

"Huft, masih saja dingin."
Seokmin memeluk tubuhnya sendiri, bergerak cepat menuju ranjang untuk segera bergabung dengan suaminya dalam balutan selimut tebal dan hangat.

"Jiiiicuuu-yaaaaa!!"
Begitu tubuhnya terbaring sempurna di sisi kosong tempat tidur, Ia langsung membawa tubuh seseorang di sampingnya ke dalam pelukan erat.

"Seokmin! Lepas! Aku ga bisa napas!"
Pelukan erat itu akhirnya longgar. Jisoo bangkit dari tidurnya, meletakkan handphonenya di atas nakas samping tempat tidurnya, kemudian mengambil remote untuk mematikan lampu.

Setelahnya, Ia menelusup masuk ke dalam pelukan hangat lelaki bangir yang sedari tadi merentangkan tangannya, seolah bersiap untuk mengungkung sesuatu.

"Seokmin-ah."
Panggil Jisoo pelan, dapat Ia rasakan jemari lelaki yang mendekapnya perlahan menyisir surai hitamnya.

"Hm?"
Yang dipanggil hanya berdehem pelan mengiyakan, menunggu Sang Pujaan melanjutkan kalimatnya.

"Tadi Ayah meneleponku."

"Ayah? Ayahku?"

"Tidak mungkin Ayahku, kan? Di alam kubur tidak ada handphone."
Jawaban ketus ini mengundang tawa pelan dari Seokmin. Dapat Jisoo rasakan pelukannya mengerat.

"Iya, terus? Kenapa tidak hubungi aku langsung?"

"Saat jam kerja biasanya Ayah menghubungiku dulu. Ia menelepon pas kamu meeting tadi."
Ada sedikit jeda di antara kalimat Jisoo,
"Kita disuruh kembali."

"Ke?"

"Ke mana lagi Lee Seokmin bodoh?"
Walau tak terlihat, Jisoo mengatakannya dengan alis berkerut. Tak bisakah suaminya ini serius saat ngobrol dengannya?

"Hehe. Memangnya pekerjaanku disini sudah selesai?"

"Mungkin? Katanya besok malam kita sudah harus duduk di kursi pesawat."
Jawaban Jisoo membuat Seokmin melepas pelukannya, menatap lurus ke arah wajah lelaki manis itu.

"Besok malam? Tidak ada perpisahan dengan orang-orang kantor?"

"Besok pagi perpisahan, siang kita berkemas, malam ke bandara."

"Wow. Sekertarisku memang yang terbaik."

"Maka naikkan gajiku."

"Astaga. Gajiku juga kau yang atur Jicu-ya. Belum cukup kah?"

"Cukup dan lebih dari cukup, aku hanya bercanda. Ayo tidur, besok jadwal kita padat."
Jisoo menarik Seokmin untuk kembali mendekat, dan meletakkan tangan kekar Seokmin di atas pinggangnya. Memejamkan mata, kini mereka berdua bersiap untuk menghadapi hari esok.

TBC

Hi! Ini work pertama yang aku publish di wattpad! Please give me a feedback yaa❤️

WE, Live Our Life - SVT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang